Menengok Privatisasi Listrik Victoria

Kalau bisa memilih ingin rasanya menyudahi pembicaraan via telfon saat itu. Kepala sudah mulai terasa nyut-nyutan, matapun berkunang-kunang dan telinga terasa panas ketika harus berkonsentrasi penuh mendengar penjelasannya. Meski pernah tinggal dua tahun di negeri ini berbicara via telforn dengan native speaker tetap saja serasa mengerjakan test listening. Sayang saya tidak punya kosa kata dan cara untuk segera mematikan hp meski pembicaraan telah berlangsung selama setengah jam. Bahkan saya pun menurut saja ketika di minta untuk menunggu sementara ia sedang mengkalkulasi angka-angka dan melakukan pengecekan kesana-kemari. Atau ketika saya disuruh mencari pulpen dan mencatat angka-angka saya hanya menurut. Hingga akhirnya saya putuskan untuk mengiyakan saja apa yang ia katakan sembari berharap bisa segera menyantap makan siang menjelang sore hari itu.

Continue reading “Menengok Privatisasi Listrik Victoria”

Jer basuki mawa bea

“As you know that you have already commenced late, to be running errands at the expense of IAP is not taken lightly”

Jujur saya tidak tau persis apa isi email tersebut. Kalimat awal pastinya merujuk pada keterlambatan saya selama 2 minggu di kampus ini. Untuk kalimat berikutnya saya tidak tau persis. Awalnya saya berniat untuk tidak mempedulikannya. Tapi entah kenapa ada rasa tidak enak. Feeling saya mengatakan bahwa nada email tersebut adalah teguran. Makanya, begitu rekan saya tiba saya coba pastikan. Hahai..ternyata benar itu surat teguran karena saya tidak hadir sesi pagi itu. Komplit sudah derita hari senin. Dari pada jadi derita mending diolah lagi saja biar tetap enak disantap.

Continue reading “Jer basuki mawa bea”

EAP: Saatnya Refreshing

Akhirnya tiba juga saat untuk memasuki babak baru petualangan. Jadi, kalau anda seorang PNS saran saya adalah kejarlah beasiswa ke luar negeri. Mengapa?

Hahai, pertama karena kesempatan untuk melanjutkan studi ke sana terbentang luas, apalagi untuk AUSAID yang saat ini memberikan kesempatan 400 mahasiswa Indonesia untuk belajar ke Australia. Bagi PNS barangkali belajar adalah hal yang kurang populer. Ah..mungkin ini hanyalah tuduhan saya saja. Hmmm mungkin juga karena realitas yang ada saat ini motivasi PNS melanjutkan sekolah bukanlah untuk belajar alias mencari ilmu. Sekali lagi maaf kalau ini juga satu tuduhan buat para PNS termasuk saya sendiri. Kalau memang seperti itu, mengapa harus mengejar beasiswa ke luar negeri.

Continue reading “EAP: Saatnya Refreshing”

Tips Mengejar Beasiswa ADS: Mencari Supervisor

Dalam tulisan sebelumnya, khususnya untuk melanjutkan ke jenjang S3, telah saya sampaikan bahwa hal yang paling krusial untuk dipenuhi adalah mendapatkan persetujuan dari calon supervisor yang akan menjadi pembimbing penelitian kita. Pada tulisan tersebut juga sudah saya sampaikan triks memilih topik penelitian. Kali ini saya mencoba berbagi pengalaman soal mencari calon supervisor.

Continue reading “Tips Mengejar Beasiswa ADS: Mencari Supervisor”

Tips Mendapatkan Beasiswa S3 Program ADS

Tulisan kedua saya ini akan lebih berfokus pada tips and triks mendapatkan S3. Tips and triks di tulisan pertama pada dasarnya juga tetap berlaku di sini. Hanya saja memang ada hal yang harus lebih diperhatikan untuk aplicant S3. Mungkin karena semakin tinggi jenjang pendidikannya maka semakin lebih ‘rumit’ pula pengisiannya. Ah..sesungguhnya bukan rumit tapi butuh kesabaran yang ekstra. Saya sendiri dengan kondisi sebagai pegawai pemerintah yang harus bekerja dari jam 8-17 ditambah lagi peran sebagai ibu rumah tangga membuat saya membutuhkan dua bulan untuk isi mengisi formulir. Karena kesibukan tersebut saya hanya punya waktu tengah malam untuk berfikir dan merancang isian termasuk proposal dan lain sebagainya.

Continue reading “Tips Mendapatkan Beasiswa S3 Program ADS”

Tips dan Triks Mendapatkan Beasiswa Autralian Development Scholarship (ADS)

Beberapa kali saya ditanya tentang tips and trik mendapatkan Beasiswa Ausaid. Alhamdulillah, tahun 2006-2007 saya mendapatkan beasiswa tersebut untuk melanjutkan program master saya. Tahun ini saya kembali diberikan kesempatan untuk melanjutkan S3 dengan beasiswa yang sama. Apa sebenarnya kiat-kiatnya? Di sini saya mencoba berbagi pengalaman tentang isi mengisi formulir dan wawancara yang pernah saya jalani yang mungkin bermanfaat untuk rekan-rekan sekalian.

Continue reading “Tips dan Triks Mendapatkan Beasiswa Autralian Development Scholarship (ADS)”

IT’S NOT ABOUT SORRY..

5 tahun lewat sudah kata-kata itu diucapkan. Tidak akan pernah hilang dan mungkin akan selalu melekat dalam fikiran saya. Ya..karena dibalik kata-kata itu sebuah peristiwa yang cukup membuat panik, kuatir dan seolah sebuah malapetaka besar menimpa saya sekeluarga telah terjadi. Begini ceritanya…

Saat itu kami sekeluarga sedang hunting mobil. Di Canberra mobil menjadi kebutuhan yang vital karena transportasi umum, yaitu bis, tidak terlalu banyak meskipun cukup nyaman. Sistem transportasi yang bagus di kota itu belum membuat orang fleksibel untuk pergi sekehendak waktu.  Selain karena jumlah yang terbatas, bis pun hanya lewat berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan dan hanya bisa berhenti di halte sesuai dengan jadwalnya. Jadi kalau suatu saat terlambat satu menit saja sampai halte bisa-bisa harus menunggu hingga lebih dari setengah jam lagi untuk diluar jalur utama. Sehingga, hampir seluruh pelanggan bus mempunyai jadwal-jadwal yang dibagikan secara gratis oleh pengelola bis pemerintah ini.

Hingga akhirnya kami memutuskan untuk membeli mobil bekas karena harganya sangat murah untuk ukuran di sana. Dengan AUD$ 1.000 pun bisa mendapatkan mobil. Selama tiga bulan sejak menginjakkan kaki di Canberra itulah kami   sudah mulai mengencangkan ikat pinggang. Bagi kami, mobil tidak hanya untuk kenyamanan tapi juga asset. Maksudnya, tujuan kemi ke Canberra tidak hanya untuk belajar dan menikmati hidup di negara maju, tetapi yang sesungguhnya adalah untuk mengumpulkan dolar. Dengan mobil jam kerja yang bisa diperoleh lebih panjang dan bisa bekerja di beberapa tempat dalam sehari. Tapi begitulah…

Pengalaman suami untuk mengendarai mobil di negeri sendiri sesungguhnya belum banyak kecuali  mengikuti dua kali kursus. Saya sendiri…apalagi…  Tak heran, pengetahuan permobilan kami pun sangat minim. Yang bisa kami lakukan waktu itu hanyalah menandai iklan-iklan penjualan mobil bekas yang harganya sesuai dengan kantong kami kemudian menelfon mereka kapan bisa bertemu untuk melihatnya secara fisik. Setelah itu, kami akan menghubungi salah satu rekan untuk menemani kami. Beberapa penjual sudah kami hubungi namun belum ada yang cocok.

Suatu ketika sepulang kuliah sekitar pukul 17.00, saya melihat sebuah mobil di unit yang saya tinggali tertulis for sale termasuk nomor hp yang bisa dihubungi.  Begitu bertemu suami langsung saya sampaikan informasi itu. Kebetulan dari unit yang saya tinggali di lantai 2 kami bisa melihat secara jelas mobil yang saya maksud. Begitu suami menyatakan persetujuan, langsung kami kontak pemiliknya. Selang satu jam kemudian kami pun bertemu. Pria pemilik mobil berasal dari Malta itu tak lain adalah tetangga saya sendiri. Namun, seperti biasa kesibukan masing-masing penghuni membuat kami jarang bertemu. Bahkan dengan tetangga yang berhadapan pintu keluar pun dalam satu bulan bisa dihitung dengan jari berapa kali kami bertemu. 

Satu jam kemudian kami pun bertemu. Setelah menanyakan sekilas tentang kondisi mobil kemudian diberikan penjelasan lengkap pria itu pun menawarkan kepada kami untuk mencobanya. Antara ragu dan ingin mencoba. Ragu apakah suami mesih mengingat teori dan cara mengendarai. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengiyakan. Saya duduk disamping suami dengan memangku amira. Padahal, apa yang saya lakukan sesungguhnya sebuah pelanggaran berat. Di australia anak dibawah lima tahun harus duduk dengan car seat apalagi masih 9 bulan seperti Amira. Entahlah, kami juga tidak tau kenapa kami akhirnya memutuskan begitu. Ditambah lagi, Pria dari Malta yang telah menjadi penduduk australia yang pastinya lebih paham hukum juga tidak mencegah kami.

 

Begitulah, akhirnya kami coba juga mobil itu meski kami belum begitu hafal jalanan di sekitar wilayah kami. Dengan hati yang berdegup duduk disamping suami saya harus menjadi navigator menunjukkan kemana jalan yang akan kami lalui. Prinsipnya, jangan sampai ke jalan poros. Jika tidak, risikonya…banyak…selain jalanan ramai yang tentu saja akan menjadi masalah besar buat suami kami juga tidak membawa car seat untuk amira. Kalau sampai didapat oleh polisi bisa jadi kami ditahan.

Setelah beberapa menit kami melintasi jalanan, entah kenapa saya lupa mengingatkan bahwa kami harus berbelok ke kiri hingga beberapa meter sebelum belokan terakhir yang menghubungkan ke jalan poros. ‘Belok..belok kiri’ teriak saya untuk mencegah risiko yang lebih besar. Mobil pun berbelok mendadak tanpa melihat sebelah kiri. Pada saat yang sama melintas sebuah mobil hingga tanpa sengaja kami menabrak bagian kiri.

Lemas..bingung..sekaligus pasrah yang kami rasakan. Deg-degan dan penuh fikiran yang buram tentang segala masalah yang harus kami hadapi. Terlintas dalam angan saya…polisi..tahanan..hmmm seram…. Masih terasa sekali bingung yang saya alami setiap saya mengingat peristiwa itu. Keluar dari mobil, suami saya reflek mengatakan ‘sorry..sorry’ dengan muka pucat dan lunglai. Lelaki yang kemudian kami ketahui ternyata juga tetangga kami itu pun segera mengatakan ‘no..no..no…IT’S NOT ABOUT SORRY’ begitu dia mendapati mobilnya yang penyok.

Tanpa amarah..tanpa makian…dia mengatakan ‘I’ll call the police’. Semakin pucatlah kami. Saya sendiri bingung harus bagaimana. Apalagi saya membawa amira yang jelas-jelas itu merupakan suatu pelanggaran berat. Sambil menepi, lelaki itu mendekati kami dan menanyakan kepada suami saya ‘are you drinking?’ beberapa kali dengan tatapan penuh keprihatinan melihat kami. Sepertinya dia bisa melihat pucat, ketakutan dan kekhawatiran yang terpancar dari muka kami. Bagaimana tidak, pertama mobil itu bukan mobil kami. Yang kedua, kami menabrakkan mobil itu dan membuat masalah dengan pihak lain. Terbayang denda-denda yang menggunung yang mungkin akan menjerat kami.. atau bahkan mungkin bisa memenjarakan kami. Tak putus2nya saya sendiri meruntuk kesalahan dan menyesalkan apa yang telah terjadi ‘kenapa ini terjadi..baru tiga bulan di negeri orang sudah bikin masalah…’.

Lelaki itu tetap tanpa amarah menanyakan dimana kami tinggal dan apa yang kami lakukan. Saya jelaskan bahwa saya orang baru di australia dan saya mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintahnya. Setidaknya ini untuk meyakinkan bahwa kami bukanlah pengangguran seperti yang sekilas mungkin dia perkirakan. Kalau kami pengangguran, tentu itu menjadi masalah besar buatnya. Singkat cerita kami pun terpaksa harus mengganti rugi kerusakan mobil pria tersebut yang jika disetarakan dengan rupiah maka nilainya sama dengan tiga bulan penghasilan saya di indonesia. Untuk menyelesaikan urusan dengan pria dari Malta kami pun harus membeli mobil tersebut dengan cara mencicil selama tiga bulan. 

Begitulah… Yang ingin saya cermati disini adalah tentang “It’s not about sorry” dan ekspresi tanpa amarahnya. Kejadian-kejadian seperti ini sebenarnya tidak hanya kami yang mengalami. Seorang kawan ketika menabrak mobil penduduk setempat pun juga sama. Malah ketika itu pemilik mobil mengatakan “menangislah jika kamu ingin menangis” sambil menenangkan dan merangkul teman saya ketika mendapatinya begitu pucat dan panik.

Tentu tanggapan atau respon semacam itu menjadi unik jika kondisi yang sama terjadi di negeri ini. Bahkan dalam beberapa kasus, sudah jelas bahwa penabrak yang melakukan kesalahan malah dia yang marah-marah kepada korban. Hmmm barangkali sekedar mencari alasan agar ia tidak disalahkan.

Kembali kepada pertanyaan “apa yang membuat respon berbeda atas kejadian yang sama?”. Kuncinya bukan pada sisi kemanusian dimana orang australia lebih baik hatinya dibanding orang indonesia tapi pada penegakan hukum dan kesadaran pentingnya berasuransi. Dengan penegakan hukum masyarakat tidak perlu takut jika ada pelanggaran karena aparat akan menindak pelanggar sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam kasus kami sudah jelas kesalahan kami bahkan pelanggaran yang lebih besar pun kami lakukan. Jika mau, pria tersebut bisa melaporkan tidak hanya penabrakan tersebut tapi juga kelalaian kami yang membawa bayi tanpa car seat. Kedua, selain kesadaran berasuransi pemerintah pun telah menciptakan sistem yang mau tidak mau memaksa masyarakat untuk berasuransi, tidak hanya mobil tapi juga kesehatan dan yang lainnya. Seseorang berasuransi mobil lebih didasarkan pada tingginya ongkos perbaikan mobil. Bahkan untuk yang memiliki mobil second dan tua pun berasuransi. Kalaupun bukan mobil sendiri yang diasuransikan dia akan mengasuransikan mobil pihak ketiga jika terjadi kecelakaan.

Makanya, pria tersebut atau dalam kasus rekan saya tidak perlu merasa khawatir. Meskipun ada opportunity cost yang harus dibayar setidaknya waktu dan fikiran untuk menyelesaikan dan memperbaiki kerusakan. Kami sebenarnya juga yakin sekali bahwa mobil pria yang saya tabrak tersebut pasti diasuransikan. Dia pasti akan mendapatkan ganti rugi dari perusahaan asuransinya. Seandainya kami telah memiliki mobil tersebut seharusnya saya pun tidak perlu sekhawatir itu karena pasti kami akan mengasuransikan kerusakan pihak ketiga dan tidak perlu membayar denda setinggi itu. Jadi..bukan masalah baik hati…

Mengingat kisah ini saya jadi teringat ucapan salah seorang tokoh dalam Meteor Garden..’Kalau ada maaf buat apa ada polisi?’ Tapi di negara yang sistem hukumnya amburadul seperti ini rupanya maaf jauh lebih ampuh…makanya masyarakatnya pun dikenal sebagai masyarakat yang pemaaf dan enggan berurusan dengan hukum karena jelas akan menjadi lebih panjang urusannya… @nasejati-April 2009

Indonesia VS Australia di Bis (?)

 

Apa bedanya orang Indonesia dengan orang Australia ketika naik bis?

Pertanyaan ini bukan sekedar teka-teki yang jawabannya ‘nganeh-nganehi’ tapi bisa jadi jawabannya memang rada ‘aneh’ bahkan sampai sekarang untuk menjawab mengapa berbeda pun saya belum tahu jawabannya. Apa tebakan anda?

Hmmmm…begini ceritanya…

Pertanyaan tersebut mengemuka setelah seminggu saya tapakkan kaki di Canberra dan terpaksa harus tinggal agak jauh dari kota tersebut tepatnya di Queanbeyan. Queanbeyan bisa dibilang depoknya Jabodetabek. Artinya, banyak warga Queanbeyan ini yang berkantor atau bersekolah di Canberra. Kalau memakai mobil pribadi jarak dari Queanbeyan ke City Center-nya Canberra bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Sedangkan, jika ditempuh dengan bis kota diperlukan sekitar 50 menit-an.

Alasan saya memilih tinggal di Queanbeyan selain karena sewa tempat tinggal lebih murah juga karena saya ingin cepat-cepat mendapat tempat tinggal yang tetap. Mencari tempat tinggal di Canberra tidak hanya dibutuhkan kemampuan membayar sewa tetapi juga track record yg baik. Makanya, untuk orang yang baru menetap di negara kangguru ini sangat sulit karena harus ada rekomendasi. Rekomendasi yang paling kuat adalah rekomendasi dari landlord atau pemilik rumah/unit yang kita sewa. Untuk lebih detil tentang hal ini akan saya ceritakan lain waktu. Begitulah…meskipun jauh saya sangat menikmati tinggal di Queanbeyan.

Nah…apa hubungannya dengan pertanyaan saya di atas? Sebagai pendatang baru yang belum mempunyai cukup modal untuk membeli mobil saya terpaksa harus naik bis pulang pergi ke kampus. He..he.. meskipun hingga kembali ke Indonesia pun  kami tidak punya mobil alias menjadi penumpang bis yang setia. Untuk sampai tempat pemberhentian bis saya harus berjalan kaki sekitar 10 menit.

Di Deane’s busline(DBL), bis yang selalu membawa saya ke kampus, saya temukan hal-hal yang sulit pahami.  Apa itu? Di Indonesia, setiap kali saya naik bis, lebih sering saya memejamkan mata alias tertidur. Aktivitas ini, selain karena memang mengantuk, saya fikir cukup lumayan untuk melewatkan waktu dari pada bengong di bis. Terlebih lagi, yang saya rasakan ketika terbangun badan terasa segar untuk memulai aktivitas di kantor ataupun di kampus. Saya sendiri masih ingat ketika pagi-pagi harus ke stasiun Gambir untuk mudik hampir seluruh penumpang bis yang membawa saya tertidur pulas. Tak hanya di pagi hari, siang atau bahkan sore pun tidak susah saya temukan penumpang yang tertidur di bis.

Tapi, pemikiran ini sepertinya harus saya buang jauh-jauh setelah apa yang saya lihat di bis DBL yang selalu saya tumpangi. Saya tidak menemukan satu orang pun yang terkantuk-kantuk apalagi tertidur di bis kecuali rekan saya yang sama-sama dari Indonesia. Kalau bukan membaca buku, mereka menikmati headset yang selalu dibawa kemana-mana atau sekedar melihat-lihat keluar melalui jendela. Dari situlah saya bertekad untuk tidak akan mengantuk apalagi tertidur. Tapi, ternyata untuk mewujudkan tekad saya itu tidaklah mudah. Tetap saja saya merasa sulit untuk berdamai dengan mata saya. Saya hanya tidak ingin ada kesan bahwa orang Indonesia itu ngantuk-an, apalagi saya memakai jilbab. Sejak kasus bom Bali image orang Australia terhadap Indonesia kurang begitu bagus. Makanya, saya tidak ingin image itu bertambah buruk karena saya.

Sebenarnya banyak hal yang bisa saya jadikan apologi. Bisa saja saya berdalih bahwa saya bangun lebih pagi saat mereka masih asyik dengan selimutnya. Di pagi hari saya sudah banyak melakukan aktivitas dari memasak hingga memandikan anak. Sedangkan mereka, mungkin baru bangun setengah jam sebelum menjangkau bis kota. Jadi wajar kalau saya mengantuk dan mereka tidak. Tapi, siapa yang peduli dengan alasan saya karena dialog itu hanya terjadi dalam self-talk saya. Yang jelas mereka mendapati saya mengantuk dan tertidur dan itu cukup untuk menyematkan image lebih buruk tentang Indonesia.

Hingga saat ini pun saya masih mencari jawaban bagaimana hal itu bisa terjadi. Mengantuk dan tertidur tidak hanya terjadi di dalam bis di Indonesia. Di kelas-kelas, di gedung-gedung pemerintah, di gedung DPR banyak orang yang tertidur. Termasuk saya sendiri yang paling susah disuruh bertahan mendengarkan orang berbicara kalau topiknya tidak terlalu menarik buat saya.

Ketika saya masih menjadi mahasiswa atau sewaktu masih sekolah saya sering sering dijuluki ‘ngantuk-an’ karena seringnya teman-teman mendapati saya mengantuk. Saya sendiri tidak tau kenapa frekwensi ‘ngantuk’ saya di kelas selama mengambil program master agak berkurang, entah karena tekad, malu, dosen yang menarik, atau terlalu konsentrasi mencerna bahasa inggris sang dosen. Ternyata fenomena di bis yang saya ceritakan tadi juga terjadi di kelas. Setiap mata saya mulai kurang bersahabat dan mulai menunjukkan 5 watt saya menyapu pandang ke seluruh ruangan kelas. Ajaibnya saya tidak menemukan rekan-rekan dari australia mengantuk. Untuk hal yang satu ini ada satu cerita tersendiri.

Suatu ketika saya mengambil kuliah intensif yang dilaksanakan selama 5 atau 6 hari dari pagi hingga sore. Saat itu, tugas menulis paper mata kuliah lain pun menumpuk dan deadline sudah hampir menjelang. Saya pun terpaksa begadang hingga pagi. Saya sebenarnya sudah menyadari bahwa kehadiran saya di kelas pagi itu bakal tidak efektif karena saya yakin akan kondisi mata saya yang tidak rela untuk dipaksa terbuka hingga sore. Tapi, begitulah…saya putuskan masuk kuliah. Benarlah..dari pagi hingga menjelang dhuhur rasa kantuk tidak bisa saya tahan. Mata saya hanya terbuka dengan baik ketika coffee break, 5 menit sebelum sesi dimulai dan 5 menit sebelum sesi berakhir. Akhirnya, saya memilih untuk pulang meski sebenarnya tetap ingin bertahan. Dari pada menyiksa diri dan tak satupun pelajaran yang masuk mungkin lebih baik sejenak pulang terlelap. Namun, yang lebih penting dari itu adalah rasa malu dan tidak enak. Kembali terbayang bagaimana image mereka terhadap orang Indonesia.

Hingga saat ini saya belum menemukan jawaban mengapa orang Indonesia sering mengantuk dan kurang bergairah sementara mereka tidak. Jawaban lain yang menjadi perkiraan saya: pola makan dan konsumsi kopi. Tapi..entahlah..mungkin anda punya jawaban lain?