Pete-pete Representatif? Siapa Takut…

“sayang, aku bukanlah bang toyib
yang tak pulang-pulang
yang tak pasti kapan dia datang

sabar sayang, sabarlah sebentar
aku pasti pulang karna aku bukan
aku bukan bang toyib”

Siapa yang saat ini tidak kenal lagu di atas? Dengan lirik yang cukup menggelitik lagu tersebut mampu menyedot pecinta lagu Indonesia hingga akhirnya menjadi hits. Saya sendiri sebenarnya bukan lagi penikmat lagu-lagu terkini. Hanya saja karena hampir tiap hari di televisi disiarkan beragam acara musik jadilah lagu itu terasa enak didengar. Sama seperti kemarin sore saat saya harus naik pete-pete (angkot-red) tanpa sengaja mendengar bahkan menyaksikan aksi panggung Band Wali.

Bahasan saya kali ini sebenarnya bukan pada musiknya tapi lebih pada pete-pete-nya. Beberapa bulan silam sebuah harian kota ini meliput fenomena baru di kalangan supir angkot. Fenomena apa itu? Konon katanya untuk meningkatkan atau setidaknya mempertahankan muatan para supir memasang televisi yang disambungkan dengan dvd player. Sopir lain menggunakan DVD player portable. Canggih bukan?

Beberapa kali yang saya temui adalah media kedua, DVD player portable. Kualitas gambar tidak terlalu bagus dan suara tidak didukung speaker yang bagus. Jadi saya tidak terlalu terpengaruh meski tetap berdecak juga. Berbeda dengan kemarin, dengan media televisi dan speaker yang mantap saya sangat menikmati. Bahkan saya sempat menyesal karena terlalu cepat turun.

Saking terkesannya saya pun menulis-nya di wall FB. Beberapa teman mengomentari. Satu komentar yang kemudian menggoda saya untuk berimajinasi: “Dampaknya bs ngurangi macet krn kawan2nya mbak Ana pd pilih naik angkot…”. (Makasih Pak Sugeng inspirasinya). Hmmm saya jadi ingat strategi-strategi yang telah ditempuh beberapa kota besar termasuk Jakarta untuk mengurangi kemacetan. Busway yang diadopsi dari Bogota tak hanya ada di Jakarta. Di Semarang pemerintah kota mulai mengembangkannya meski transportasi belum separah Jakarta. Di Makassar konon hal ini juga sudah menjadi agenda meski hingga saat ini belum terlihat jadi tidaknya proyek ini dilaksanakan.

Saat ini kemacetan menjadi hal yang lumrah di bumi anging mammiri. Satu hal yang menjadi kambing hitam adalah tidak adanya jalan alternatif. Dari Kota menuju BTP anda akan menemui banyak titik-titik kemacetan. Ditambah lagi jika ada demo. Wow..anda bisa melewatkan berjam-jam di jalan. Yang paling sering terjadi setiap pagi dan sore tentu di dekat tempat tinggal saya, jembatan tello. Untung saja saya berangkat ke kantor jam 6.30 jadi tak perlu terjebak kemacetan. Kalau jam 8? Hmmm.. Alasan kedua, terlalu banyak pete-pete. Dan yang pasti ulah para sopir yang seenaknya semakin membuat lalu lintas makin runyam. Bayangkan, konon yang tau kapan ia belok atau berhenti hanya sopir dan Sang Pencipta. Rambu-rambu tak pernah ditaati. Berhenti di mana mereka suka. Ya..meski kadang kalau di telusur ini pasti ulah penumpang juga yang ‘nyegat’ dan berhenti sak enake dewe.

Mari kembali ke masalah inovasi sopir pete-pete yang menambahkan aksesories DVD dan sound sistem. Saya fikir, he..he..hanya imajinasi saya saja, kalau hal ini di garap dengan baik mungkin bisa jadi benar komentar mantan kepala bidang saya. Bisa jadi fasilitas pete-pete yang maksimal bisa menarik pengendara mobil untuk kembali menggunakan fasilitas umum tersebut. Ya..bayangkan seandainya pete-pete tersebut tidak hanya menambahkan fasilitas musik dan televisi. Bayangkan jika pete-pete dilengkapi dengan AC? Hmmmm…saya pasti bersedia berpete-pete ke mana saja.

Di banyak negara, public transport dikelola oleh negara. Makanya, pengaturannya pun mudah. Sopir di berikan gaji tetap tidak berdasar setoran. Hasilnya, mereka lebih tertib dan yang jelas ada kepastian waktu kapan ia harus berhenti di halte-halte. Sehingga, penumpung tinggal menyesuaikan kapan waktu-waktu bus akan membawanya ke tujuan.

Terkadang, saya pun mengaminkan betapa efektifnya kalau public transport dikelola oleh negara. Tapi, dengan kondisi yang sudah ‘kadung’ seperti ini, bisakah, hal itu diwujudkan. Kalau iya, bagaimana nasib para sopir dan para pengusaha angkutan? Bisa jadi, satu masalah terpecahkan sepuluh masalah muncul alias gugur satu tumbuh seribu. Termasuk, ide adanya busway di kota ini. Saya sendiri tetap berharap suatu saat kelak akan ada angkutan kota yang nyaman sehingga masyarakat tidak perlu mengalokasikan dana untuk membayar kredit mobil. Di satu sisi, kemacetan adalah indikator pertumbuhan ekonomi suatu kota, di sisi lain masalah kualitas hidup khususnya lingkungan dan sosial tentu menjadi permasalahan tersendiri.

Ide saya kali ini yang diinspirasi dari mantan kabid saya, bisa jadi aneh atau bahkan gila. Ya..sekedar membayangkan saja. Tidak dilarang kan? Atau anda juga akan mendukung saya?

Seperti yang saya bayangkan tadi. Pemerintah kota tidak perlu membuat sarana transportasi lain tapi mendayagunakan yang sudah ada. Caranya ya itu tadi. Menyulap pete-pete menjadi angkutan umum yang nyaman dan mendidik para sopir untuk berlalu lintas yang benar. Tentu saja, masyarakat pun perlu dididik untuk taat dan patuh dengan aturan kapan dan dimana ia harus ‘nyetop’ dan ‘berhenti’. Permasalahan yang mungkin timbul adalah masalah kemampuan pengusaha angkot untuk mempercantik pete-petenya. Apa mungkin mereka bersedia melakukannya? Apakah akan ada peningkatan penghasilan jika mereka melengkapi pete-pete dengan AC dan home theater?  Mungkin tak ada sopir yang tertarik dengan ide saya. Ya karena cost-nya terlalu tinggi.

So, bagaimana solusinya? Pada dasarnya pemerintahlah yang bertanggunjawab untuk menyediakan public transport. Di masa lalu kita mengenal Bis Damri. Tapi sayang tak berumur lama. Mungkin karena kondisi bis yang tidak memungkinkan penumpang enggan naik. Hasilnya bisa ditebak, gulung tikar. Nah, bagaimana jika pemerintah memberikan subsidi atau apapun namanya yang pada intinya untuk meningkatkan kualitas layanan pete-pete? Dari pada memikirkan ongkos yang besar untuk membangun infrastruktur busway ataupun monorail mungkin anggaran untuk memberikan subsidi peningkatan kualitas pete-pete jauh lebih ekonomis. Hal lain yang juga bisa dilakukan untuk mendukung suksesnya impian saya ini tentu harus dilakukan pendidikan kepribadian para sopir. Setidaknya dari tertib berlalu lintas dan tata cara melayani penumpang. Nah, yang terakhir tentunya juga harus difikirkan bagaimana menciptakan sistem penerimaan pendapatan selain dengan setoran. Bisa saja pemerintah memberikan honor yang mendorong mereka untuk patuh pada lalu lintas. Di sisi lain, dalam pelaksanaannya harus ada pemantauan kinerja sopir yang ketat. Artinya, barang siapa yang melanggar harus dikenakan sanksi secara tegas.

Gimana? Masuk akal kah khayalan saya ini?

Pengalaman wawancara ADS

Hari ini, senin 9 Januari 2012, adalah bagian dari hari bersejarah dalam hidup saya. Sebenarnya bukan cuma hari ini tapi ini sejak dua hari lalu. Dan dari tiga hari tersebut hari ini lah yang paling menentukan. Entahlah isyarat apakah ini yang jelas sabtu lalu jempol dan kelingking kanan saya kena air panas sewaktu menuangkan air ke termos pagi sebelum berangkat test. Cukup mengganggu aktivitas meski tak terlalu signifikan. Rasa perih untung berakhir sehari kemudian. Tapi, di hari yang sama entah kenapa ujung telapak jempol dan telunjuk saya tergores. Biasa…kecelakaan ringan di dapur menjadi hal yang lumrah bagi ibu rumah tangga. Tetap saja, rasa perih terasa saat harus cuci piring. Terpaksa saya mendayagunakan tangan kiri. Senin hari, pagi-pagi sekali tenggorokan saya begitu gatal dan terasa ‘nggreges-nggreges’.

Ya hari ini adalah saat dimana saya akan memperjuangkan masa depan dalam waktu sekitar 30 menit. Sebelum dimulai kami para calon-calon ‘korban’ dikumpulkan dan diberikan pengarahan sesaat oleh interviewer yang berasal dari universitas cendrawasih dan dari canberra. Payahnya saya mendapat urutan ke-7 untuk diwawancarai. Padahal, saya sudah tiba di tempat pukul 7.10. Artinya, saya harus memperluas rasa kesabaran saya karena harus menunggu hingga pukul 13.30. Ah…biarlah..semoga semua ada hikmahnya.

Pertanyaan pertama yang ditanyakan begitu saya duduk di kursi pesakitan adalah research background. Alhamdulillah bisa saya jawab dengan lancar ditambahi bumbu-bumbu penyedap. Ternyata, sang interviewer punya concern yang sama dengan tema riset yang saya ambil. Hampir semua pertanyaan saya jawab dengan lancar karena kebetulan riset saya tentang pengukuran kinerja. Ya..paling tidak sudah hampir tiga tahun saya bergelut dengan masalah itu. Pertanyaan hanya seputar hal itu.

Dua hal yang mungkin agak diluar dugaan adalah saat sang interviewer menanyakan ‘do you know about Slemen?’. ‘Duh..siapa lagi orang itu?’ Prediksi saya Slemen adalah seorang peneliti terkenal yang pendapatnya menjadi acuan periset pengukuran kinerja. Mungkin fikiran saya masih terbawa pada diskusi dengan teman-teman sesama ‘korban’. Ya….beberapa jam sebelumnya saya sempat membincangkan tentang penyebutan nama tokoh ketika kita berbicara menjawab interviewer. Seorang teman mengatakan bahwa penting sekali untuk ‘menggenggam’ sebuah nama untuk nantinya di sebutkan ketika kita mengeksplorasi jawaban. Setidaknya biar kelihatan mantap, begitu menurutnya. Saya ulang lagi ‘Slemen?’ dengan sorot mata tak pasti saya menatapnya. Sambil menoleh pewawancara menanyakan ke interviewer 2 untuk menyakinkan bahwa dia telah mengucapkannya dengan jelas.

Tapi sebelum dijawab rekanna…Aha…Sleman..yeah..Sleman…Hmmmm…beberapa detik kemudian tenggorokan saya tercekat. Apa yang saya tau tentang Sleman ya? Diam sesaat..Masak saya mau jawab ‘Hmmm I know Sleman. It’s close to my hometown’. Ah pasti klo saya jawab begitu akan mengancam kans saya karena saya dianggap orang ‘barat’. Pikiran saya pun berkelana memutar kembal ingatan saya pada masa tiga tahun yang lalu. Alhamdulillah, samar-samar gambaran Sleman muncul di otak saya. Sleman adalah salah satu kabupaten yang telah mempunyai dokumen perencanaan yang berorientasi pada hasil.  Tiga tahun lalu saat mendapat penugasan asistensi penyusunan RPJMD saya sempat search di internet dokumen perencanaan yang disusun oleh pemerintah daerah. Saya mendapati bahwa diantar dokumen2 perencanaan yang disusun oleh pemerintah daerah Sleman lah yang telah memasukkan indikator kinerja yang memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik. Rupanya ‘Tangan Tuhan’ telah bekerja dengan sempurna.

Pertanyaan kedua yang membuat saya terperangah adalah soal PBB di pemda yang realisasinya masih rendah. Pertama dia lontarkan pertanyaan itu sebenarnya saya paham benar apa yang dia tanyakan. Tapi saya tidak punya cukup pengetahuan untuk menjawabnya. Pura-pura tidak bisa menangkap maksud pertanyaannya, saya pun mengatakan …sorry…sambil menatapnya dengan sorot mata memohon pertanyaan diulang. Ya..setidaknya bisa mengulur waktu dan berharap ada ilham yang melintas.

Lagi-lagi ‘tangan Tuhan’ terulur untuk menjembati fikiran saya dengan apa yang telah saya lakukan beberapa tahun silam. Yup……saya jadi ingat kisah waktu menjadi narasumber pajak daerah tiga tahun silam. Pengalaman yang bener2 nekat karena berani menjadi narasumber padahal saya tidak cukup menguasai masalah. Hanya karena didampingi senior dan berharap menambah wawasan saya terima tantangan itu. Ya..kalau tidak dipaksa jarang-jarang saya mau belajar.

Akhirnya saya coba ingat-ingat kembali dan syukurlah akhirnya fikiran saya mampu mengeluarkan kembali ‘file’ PBB dari otak saya. Akhirnya saya jelaskanlah beliau ini dengan panjang lebar masalah yang dihadapi pemda. Dari sulitnya mencari tax payers yang tidak bermukim di wilayah pemda yang bersangkutan hingga ketidakmampuan masyarakat miskin untuk membayar PBB.

Tangan Tuhan…dua kata itu selalu saya ingat sejak dosen saya menyinggungnya sepuluh tahun lalu. Saat itu saya tidak tau bahwa istilah tangan Tuhan mulai marak saat Diego Maradonna berhasil menggolkan gawang lawan melalui tangannya (bener gak sih). Dalam konteks yang lebih luas dosen saya ini mengistilahkan tangan Tuhan atas petunjuk-Nya yang datang tiba-tiba saat ujian. Pernahkah anda rasakan bahwa di detik2 terakhir jelang ujian berakhir tiba-tiba tangan anda begitu lancar menjawab pertanyaan bahkan hingga anda meminta lembar jawab tambahan.

Tangan Tuhan atau pertolongan Sang Pencipta selalu datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Sama halnya suatu ketika saya diberi amanah untuk mengajar SAKD atau sistem akuntansi keuangan daerah. Sebenarnya saya tidak terlalu menguasai. Secara teori saya bisa memahami. Hanya saja saya belum pernah mendapat tanggung jawab untuk melakukan penugasan terkait dengan penyusunan laporan keuangan kecuali dulu tahun 2002. Lagi-lagi saya terima tugas mengajar tersebut. Alasannya pun sama dengan saat penugasan menyampaikan materi pajak daerah. Bagi saya yang punya background akuntansi, memahami akuntansi keuangan daerah tidaklah terlalu susah. Hanya saja, peserta ajar saya ini punya background pendidikan macam-macam yang karena selembar SK mereka diamanahi untuk menjabat sebagai kasubbag keuangan. Memahami debet dan kredit serta konsep dasar akuntansi bagi insinyur ataupun tenaga kesehatan mungkin sama beratnya ketika saya harus belajar tentang fisiologi tubuh manusia ataupun struktur bangunan. Sebelum hari-H tiba saya konsultasikan hal ini dengan rekan saya yang terbiasa memberikan pelatihan ke pemda. Karena beliau bergender laki-laki maka teknik yang ia gunakan adalah dengan menggunakan kantong kiri kemeja dan kantong kanan celana panjangnya. Debet ia terjemahkan sebagai kantong kiri. Sebaliknya, kantong kanan celananya ia namakan kredit. Untuk menggambarkan siklus keluar masuk uang ia gambarkan dengan kedua kantong tersebut.

Bagaimana dengan saya? Jujur awalnya saya hampir terjebak dengan memberikan penggambaran yang membuat sakit kepala. Saat saya tatap peserta, jelas tergambar sorot mata kebingungan ketika saya hanya menjelaskan konsep debit dan kredit. Lalu saya pun terfikir untuk mencoba mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari peserta dengan meminta voluntir yang kebetulan mempunyai usaha. Sayang, tak ada yang mengaku. Saya pun akhirnya mengarang cerita. Misalnya saya punya kios di pasar. Modal awal saya, untuk memudahkan, 50 ribu. Lalu untuk memulai usaha saya beli barang dagangan anggap pakaian dengan harga 20 ribu rupiah. Apa jurnalnya? Saya coba jelaskan satu persatu kenapa jurnalnya begini kenapa begitu. Kenapa kredit kenapa debet. Tapi, tetap saja masih membingungkan. Jujur, saya pusing harus dengan cara apa lagi harus saya jelaskan ini semua. Entah bagaimana ceritanya, saya tiba-tiba mengatakan ke seorang peserta. Pak, pinjam uangnya 50ribu. Si peserta nampak kaget, mungkin dikira saya main-main. Tenang saja pak pinjam ji pak nanti saya kembalikan, kalau tidak ada 50 ribu 5 ribu juga tidak apa-apa, kata saya sambil becanda. Dengan uang itulah, saya tertolong. Ternyata pengajaran dengan praktek punya pengaruh lebih dahsyat dari pada hanya dengan kata-kata. Modal 5 ribu itu tadi kemudian saya bawa ke dunia nyata bahwa jika saya meminjam uang 5 ribu, bagaimana jurnalnya? Saya tanyakan kepada peserta sambil menunjukkan uang 5 ribu tadi. Nah, kalau kemudian saya mau beli barang dagangan 3 ribu ke ibu (salah satu peserta) apa jurnalnya? Sambil saya sodorkan 5 ribu dan meminta uang kembalian 2 ribu.

Begitulah.. akhirnya akuntansi menjadi mudah dipahami. Saya tidak pernah terfikir teknik itu. Lagi-lagi Tangan Tuhan lah yang telah bekerja membantu saya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Hingga akhirnya memunculkan ide untuk mengajak peserta bermain monopoli saja jika suatu saat kelak mendapat penugasan yang sama. Pasti lebih mengasyikkan.

Yohanes Suryo dengan teorinya Mestakung alias Semesta Mendukung pun pada prinsipnya memperkenalkan konsep yang sama dengan istilah Tangan Tuhan. Di saat-saat terdesak, manusia bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan jika ia berada dalam kondisi normal. Atau sama juga dengan hukum gravitasi yang dalam konsep modern mengatakan bahwa  ketika kita mempunyai suatu keinginan atau hasrat untuk kemaslahatan maka alam semesta akan mendekatkan dirinya kepada kita dan mengantar kita menjemput asa. Lalu apa hubungannya dengan cerita awal saya tadi ya (hmmm dihubung-hubungkan sajalah..he..he…).

SISTEM ATAU MANUSIANYA?

“Ketaatan penduduk indonesia terhadap Tuhan mencapai 90%. Tapi kenapa korupsinya juga tinggi?”

Miris? Atau biasa saja? Bisa jadi dua-duanya….

Ya..karena sebenarnya pertanyaan di atas sering kita dengar. Saya yakin anda pun demikian. Bahkan mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu pertanyaan senada juga sudah sering dilontarkan. Namun, kali ini pernyataan dari mantan rektor sebuah Universitas Islam menjelang berbuka puasa di hari pertama bulan Ramadhan tersebut memancing saya untuk memberikan respon yang berbeda dari sebelumnya.

Memprihatinkan memang…negeri yang mayoritas taat beribadah justru menjadi negeri yang selalu menempati rangking tertinggi dalam rating korupsi. Apa yang salah? Banyak yang mengatakan karena sebagian besar berpredikat Islam KTP sehingga nilai-nilai agama yang dijalankan tidak menyentuh esensinya. Atau, efek sekularisasi yang memisahkan antara agama dengan aspek duniawi? Akibatnya, kesalehan individu tidak membentuk kesalehan sosialnya. Bisa jadi benar. Tapi saya sendiri juga kurang yakin kalau kedua faktor itu dianggap sebagai trigger orang untuk melakukan korupsi.

Mau tau jawabannya?

Hingga saat ini saya sering angkat tangan jika disodori permasalahan ini. Saya paling hanya bisa berkomentar sebatas apa yang pernah saya amati dan pelajari. Dulu saya lebih sering menyoroti aspek manusia-nya. Setiap ada diskusi yang membahas masalah tersebut lebih sering saya mengatakan ‘tergantung manusianya’. Anda pun berpendapat demikian? Tapi, saat ini saya lebih suka mendekati permasalahan ini dari aspek ke-sistem-an. Memang benar dan diakui bahwa akar permasalahan korupsi dan konco-konconya terletak pada manusia yang menjalankan sebuah sistem. Namun, manusia yang tidak profesional dan korup itu sendiri pun sebenarnya terbentuk dari sebuah sistem yang lemah. Ya..Menyandingkan manusia dengan sistem memang mirip dengan menanyakan mana yang lebih dulu: telur atau ayam.

Saat ini saya mulai meyakini bahwa membangun manusia harus dimulai dari sebuah sistem yang kuat. Lihat saja, ketika mengunjungi Singapura orang Indonesia mendadak menjadi orang yang peduli pada lingkungan: tidak membuang sampah sembarangan. Sama halnya dengan ketika mereka membuat janji untuk bertemu dengan rekannya di Australia, Inggris atau negara maju lainnya. Tiba-tiba mereka membuang jam karetnya entah ke mana. Singkatnya, orang yang buruk bisa tiba-tba menjadi orang baik ketika masuk ke dalam sebuah sistem yang sudah terbangun dengan baik. Sebaliknya, orang yang baik-baik ketika masuk ke dalam sitem yang buruk lambat laun akan menjadi buruk. Tidak perlu jauh-jauh untuk mengambil contoh. Berapa banyak aktivis-aktivis kampus yang tiba-tiba menjadi ‘biasa-biasa’ saja ketika masuk menjadi PNS dan larut dengan keadaan? Atau, yang terjadi mereka tidak sanggup menerjemahkan ‘perjuangan’ mereka di mimbar-mimbar demonstrasi dalam konteks kinerja abdi negara yang sesungguhnya.

Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah bangsa dalam kerangka ke-sistem-an?

Pendekatan kesisteman pada dasarnya adalah pendekatan yang melihat dari aspek yang lebih luas, bukan orang perorang. Oxford Dictionary menerjemahkan sistem sebagai: group of parts that are connected or work together atau sekumpulan bagian-bagian yang terhubung atau bekerja secara bersama-sama. Dalam tubuh manusia sendiri ada banyak sistem. Untuk bernafas saja diperlukan hidung, trakea , paruparu , tulang rusuk , otot interkosta, bronku, bronkiol, alveolus dan diafragma. Manusia bisa menikmati udara segar karena berjalannya seluruh bagian-bagian tubuh yang membentuk sistem pernafasan. Jika salah satu bagian tersebut bermasalah maka terganggulah seluruh proses pernafasan. Tenggorokan yang radang saja bisa mengganggu proses pernafasan. Apalagi jika yang bermasalah paruparunya tentu dampak terhadap proses pernafasan lebih besar. Sama halnya dengan sistem penyelenggaraan negara yang menjadi satu kerangka besar dalam tata kelola pemerintahan. Dari satu sistem tersebut diturunkan menjadi sistem-sistem yang lebih kecil. Keseluruhan sistem tersebut secara integral bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bernegara. Sistem-sistem tersebut diantaranya adalah pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan keuangan negara, hingga sistem pemilihan kepala daerah/negara. Kalau kemudia timbul suatu penyakit atau permasalahan akibat tidak berjalannya sistem tersebut secara benar maka pengobatannya pun harus menggunakan pendekatan kesisteman pula. Makanya, melihat korupsi tidak bisa dilihat dari aspek ‘beriman’ tidak-nya seseorang. Memang, seharusnya orang-orang yang ‘beriman’ idealnya mempunyai integritas dan profesionalisme yang lebih dibanding yang tidak. Tetapi, permasalahan runyamnya tata kelola pemerintahan lebih kepada belum terbangunnya sistem penyelenggaraan negara yang baik. Pertanyaan selanjutnya, jika sistem tersebut telah terbangun kuat apakah sudah dijalankan secara konsisten? Mari kita coba lihat dari aspek pengelolaan sumber daya manusia saja…

Tau PGPS? PGPS adalah akar permasalahan buruknya kinerja PNS. Percaya? 90% saya yakin anda akan sepakat dengan saya. Tidak adanya kejelasan reward dan punishment jelas tidak memberikan insentif bagi para PNS untuk berkinerja baik. Atau malah sebaliknya, yang malas dan tidak punya kompetensi justru mendapat jabatan sebagai kepala SKPD karena kedekatannya dengan kepala daerah. Kalau saya yang menjadi staff-nya, jelas saya pasti akan sakit hati. Kalau sebelumnya saya begitu bersemangat untuk bekerja secara ikhlas lambat laun keikhlasan tersebut akan luntur. Bukan karena bernafsu mendapatkan jabatan tapi secara psikologis pastilah setiap orang ingin dipimpin oleh orang yang layak memimpin. Itu baru satu kelemahan pengelolaan SDM, belum lagi rekrutmen yang amburadul dan penempatan pegawai yang tidak berdasarkan kompetensi.

Bagaimana dengan sistem tata pemerintahan yang lain? Pemilukada? Hmmm… untuk yang satu ini justru banyak yang mengatakan bahwa kinerja pemerintah daerah semakin buruk sejak diterapkannya pemilukada. Intervensi politik dalam birokrasi semakin kental karena sistem pemilihan kepala daerah yang baru ini. Lagi-lagi sistem….

Ya.. permasalahan seperti ini lazim terjadi di negara-negara berkembang. Korupsi dan konco-konconya sesungguhnya bukanlah monopoli negara-negara yang penduduknya ‘beriman’. Namun, disebabkan oleh kesalahan membangun dan menegakkan sistem yang bisa jadi sengaja dibangun secara lemah oleh beberapa gelintir manusia.