“sayang, aku bukanlah bang toyib
yang tak pulang-pulang
yang tak pasti kapan dia datang
sabar sayang, sabarlah sebentar
aku pasti pulang karna aku bukan
aku bukan bang toyib”
Siapa yang saat ini tidak kenal lagu di atas? Dengan lirik yang cukup menggelitik lagu tersebut mampu menyedot pecinta lagu Indonesia hingga akhirnya menjadi hits. Saya sendiri sebenarnya bukan lagi penikmat lagu-lagu terkini. Hanya saja karena hampir tiap hari di televisi disiarkan beragam acara musik jadilah lagu itu terasa enak didengar. Sama seperti kemarin sore saat saya harus naik pete-pete (angkot-red) tanpa sengaja mendengar bahkan menyaksikan aksi panggung Band Wali.
Bahasan saya kali ini sebenarnya bukan pada musiknya tapi lebih pada pete-pete-nya. Beberapa bulan silam sebuah harian kota ini meliput fenomena baru di kalangan supir angkot. Fenomena apa itu? Konon katanya untuk meningkatkan atau setidaknya mempertahankan muatan para supir memasang televisi yang disambungkan dengan dvd player. Sopir lain menggunakan DVD player portable. Canggih bukan?
Beberapa kali yang saya temui adalah media kedua, DVD player portable. Kualitas gambar tidak terlalu bagus dan suara tidak didukung speaker yang bagus. Jadi saya tidak terlalu terpengaruh meski tetap berdecak juga. Berbeda dengan kemarin, dengan media televisi dan speaker yang mantap saya sangat menikmati. Bahkan saya sempat menyesal karena terlalu cepat turun.
Saking terkesannya saya pun menulis-nya di wall FB. Beberapa teman mengomentari. Satu komentar yang kemudian menggoda saya untuk berimajinasi: “Dampaknya bs ngurangi macet krn kawan2nya mbak Ana pd pilih naik angkot…”. (Makasih Pak Sugeng inspirasinya). Hmmm saya jadi ingat strategi-strategi yang telah ditempuh beberapa kota besar termasuk Jakarta untuk mengurangi kemacetan. Busway yang diadopsi dari Bogota tak hanya ada di Jakarta. Di Semarang pemerintah kota mulai mengembangkannya meski transportasi belum separah Jakarta. Di Makassar konon hal ini juga sudah menjadi agenda meski hingga saat ini belum terlihat jadi tidaknya proyek ini dilaksanakan.
Saat ini kemacetan menjadi hal yang lumrah di bumi anging mammiri. Satu hal yang menjadi kambing hitam adalah tidak adanya jalan alternatif. Dari Kota menuju BTP anda akan menemui banyak titik-titik kemacetan. Ditambah lagi jika ada demo. Wow..anda bisa melewatkan berjam-jam di jalan. Yang paling sering terjadi setiap pagi dan sore tentu di dekat tempat tinggal saya, jembatan tello. Untung saja saya berangkat ke kantor jam 6.30 jadi tak perlu terjebak kemacetan. Kalau jam 8? Hmmm.. Alasan kedua, terlalu banyak pete-pete. Dan yang pasti ulah para sopir yang seenaknya semakin membuat lalu lintas makin runyam. Bayangkan, konon yang tau kapan ia belok atau berhenti hanya sopir dan Sang Pencipta. Rambu-rambu tak pernah ditaati. Berhenti di mana mereka suka. Ya..meski kadang kalau di telusur ini pasti ulah penumpang juga yang ‘nyegat’ dan berhenti sak enake dewe.
Mari kembali ke masalah inovasi sopir pete-pete yang menambahkan aksesories DVD dan sound sistem. Saya fikir, he..he..hanya imajinasi saya saja, kalau hal ini di garap dengan baik mungkin bisa jadi benar komentar mantan kepala bidang saya. Bisa jadi fasilitas pete-pete yang maksimal bisa menarik pengendara mobil untuk kembali menggunakan fasilitas umum tersebut. Ya..bayangkan seandainya pete-pete tersebut tidak hanya menambahkan fasilitas musik dan televisi. Bayangkan jika pete-pete dilengkapi dengan AC? Hmmmm…saya pasti bersedia berpete-pete ke mana saja.
Di banyak negara, public transport dikelola oleh negara. Makanya, pengaturannya pun mudah. Sopir di berikan gaji tetap tidak berdasar setoran. Hasilnya, mereka lebih tertib dan yang jelas ada kepastian waktu kapan ia harus berhenti di halte-halte. Sehingga, penumpung tinggal menyesuaikan kapan waktu-waktu bus akan membawanya ke tujuan.
Terkadang, saya pun mengaminkan betapa efektifnya kalau public transport dikelola oleh negara. Tapi, dengan kondisi yang sudah ‘kadung’ seperti ini, bisakah, hal itu diwujudkan. Kalau iya, bagaimana nasib para sopir dan para pengusaha angkutan? Bisa jadi, satu masalah terpecahkan sepuluh masalah muncul alias gugur satu tumbuh seribu. Termasuk, ide adanya busway di kota ini. Saya sendiri tetap berharap suatu saat kelak akan ada angkutan kota yang nyaman sehingga masyarakat tidak perlu mengalokasikan dana untuk membayar kredit mobil. Di satu sisi, kemacetan adalah indikator pertumbuhan ekonomi suatu kota, di sisi lain masalah kualitas hidup khususnya lingkungan dan sosial tentu menjadi permasalahan tersendiri.
Ide saya kali ini yang diinspirasi dari mantan kabid saya, bisa jadi aneh atau bahkan gila. Ya..sekedar membayangkan saja. Tidak dilarang kan? Atau anda juga akan mendukung saya?
Seperti yang saya bayangkan tadi. Pemerintah kota tidak perlu membuat sarana transportasi lain tapi mendayagunakan yang sudah ada. Caranya ya itu tadi. Menyulap pete-pete menjadi angkutan umum yang nyaman dan mendidik para sopir untuk berlalu lintas yang benar. Tentu saja, masyarakat pun perlu dididik untuk taat dan patuh dengan aturan kapan dan dimana ia harus ‘nyetop’ dan ‘berhenti’. Permasalahan yang mungkin timbul adalah masalah kemampuan pengusaha angkot untuk mempercantik pete-petenya. Apa mungkin mereka bersedia melakukannya? Apakah akan ada peningkatan penghasilan jika mereka melengkapi pete-pete dengan AC dan home theater? Mungkin tak ada sopir yang tertarik dengan ide saya. Ya karena cost-nya terlalu tinggi.
So, bagaimana solusinya? Pada dasarnya pemerintahlah yang bertanggunjawab untuk menyediakan public transport. Di masa lalu kita mengenal Bis Damri. Tapi sayang tak berumur lama. Mungkin karena kondisi bis yang tidak memungkinkan penumpang enggan naik. Hasilnya bisa ditebak, gulung tikar. Nah, bagaimana jika pemerintah memberikan subsidi atau apapun namanya yang pada intinya untuk meningkatkan kualitas layanan pete-pete? Dari pada memikirkan ongkos yang besar untuk membangun infrastruktur busway ataupun monorail mungkin anggaran untuk memberikan subsidi peningkatan kualitas pete-pete jauh lebih ekonomis. Hal lain yang juga bisa dilakukan untuk mendukung suksesnya impian saya ini tentu harus dilakukan pendidikan kepribadian para sopir. Setidaknya dari tertib berlalu lintas dan tata cara melayani penumpang. Nah, yang terakhir tentunya juga harus difikirkan bagaimana menciptakan sistem penerimaan pendapatan selain dengan setoran. Bisa saja pemerintah memberikan honor yang mendorong mereka untuk patuh pada lalu lintas. Di sisi lain, dalam pelaksanaannya harus ada pemantauan kinerja sopir yang ketat. Artinya, barang siapa yang melanggar harus dikenakan sanksi secara tegas.
Gimana? Masuk akal kah khayalan saya ini?