Us, dimana ku harus mencarimu?

Kali ini saya akan bercerita tentang seorang sahabat saya..sahabat yang hilang entah kemana. Segala upaya pencarian melalui internet sudah saya tempuh. Di facebook saya coba ketikkan namanya dalam beberapa versi tapi tak ketemu juga. Bertanya ke mbah google ada sedikit informasi namun tetap tak bisa saya tindaklanjuti. Nomor telfon rumah yang pernah dia berikan ternyata sudah tidak aktif lagi setelah saya hubungi. Kalau begini, mungkin saya harus mendaftar ‘termehek-mehek’ untuk menemukannya.

Dia lah yang mengubah saya dalam banyak hal…ah..sungguh teramat banyak…. termasuk dalam sejarah dunia kepenulisan saya. Tulisan ini pun saya dedikasikan buatnya..buat segala hal yang pernah ia ajarkan kepada saya. Sekaligus sebagai salah satu upaya mengetahui keberadaanya. So  please.. jika anda menemukan sosok yang saya ceritakan berikut tolong sampaikan padanya bahwa saya ingin bertemu.

Nama lengkapnya Khusnul Hotimah, biasa dipanggul UUS. Tanggal lahirnya 26 Juni selisih dua hari dengan saya. Mungkin kedekatan hari lahir itu pulalah yang membuat kami begitu dekat. Ia besar di Balikpapan. Selepas SMA tahun 1992 ia melanjutkan di Universitas Hasanuddin mengambil jurusan hukum hingga lulus tahun 1999. Tahun 2000 ia sempat mendaftar program pasca sarjana di UGM. Tapi ternyata, ia lebih memilih kuliah di UI. Saya tidak tau persis program apa yang ia ambil. Kalau tidak salah hubungan internasional.

Pertemuan dengannya berawal ketika saya menempati kos-kos-an baru setelah tiga bulan menapaki bumi anging mammiri. Di tempat kos saya menempati lantai tiga. Kamarnya UUS tepat di sebelah kamar saya. Satu hal yang membuat saya berfikir bahwa dia akan menjadi kawan baik saya adalah ketika saya dapati ‘surat dari kanjeng nabi’-nya Emha di atas mejanya pertama kali saya mencoba berkenalan dengan para penghuni kost. Saat itu saya sedang gandrung-gandrungnya dengan budayawan asal Jogja tersebut. Diantara penghuni kost lainnya kami berdua yang paling senior dari sisi usia.

Begitulah..karena kesamaan usia rupanya memperekat persahabatan kami. Tidak banyak kisah yang sempat kami lalui bersama karena sebenarnya kami berdua mempunyai karakter yang cukup berbeda. Saya lebih suka berkelana keliling kota dengan meminjan sepeda motornya sementara UUS sendiri lebih menikmati kesendirian di dalam kamar yang letaknya di ujung lorong. Kebetulan letak kamar di ujung memungkinkannya untuk melihat penjuru kota dari dua sisi. Ditambah lagi jendela yang cukup lebar dan vetilasi yang baik membuat penghuni seperti di nina bobokan oleh angin sepoi-sepoi. Kisah kami hanyalah sekedar kisah diskusi dan curhat di kamarnya atau terkadang di kamar saya. Namun dari diskusi dan curhat itulah yang membuatnya menjadi seseorang yang banyak mengetahui liku hidup saya di kota ini, dari keluarga hingga asmara. Saya pun cukup tau banyak tentangnya meski saya sendiri tidak terlalu yakin apakah baginya saya adalah orang yang paling mengerti perjalanan hidupnya.  

Bagi saya, UUS sangat berarti karena kepadanyalah tempat saya bercerita suka dan duka. Satu hal yang tak pernah saya lupakan ialah dia selalu menawarkan diri untuk membuatkan secangkir teh dan memijit kepala saya setiap kali diserang sakit kepala hingga saya hampir tertidur. Saya sendiri tidak habis mengerti bagaimana jari-jari mungilnya terasa begitu kuat mengusir rasa sakit di kepala saya. Sebaliknya, saya tak bisa berbuat apa-apa ketika migrain-nya datang selain hanya bisa mendoakannya. Karena biasanya ia mematikan lampu sambil berharap deritanya akan segera lewat. Us..masihkah penyakit itu sering menyiksamu?

Pastinya, yang tak akan pernah saya lupa adalah kebiasaan saya yang selalu meminjam motornya untuk berkeliling kota hingga sepertinya saya lah pemiliknya. Ah..sesungguhnya tak hanya motor, dia pun meminjamkan tas dan sandal gunungnya untuk saya gunakan berpetualangan dari satu english meeting club ke club lainnya.

Satu pengalaman yang kami anggap cukup ‘gila’ waktu itu adalah ketika ia menunjukkan baju-baju seonggok ‘bekas’-nya yang masih kelihatan baru. Ya bagaimana tidak kelihatan baru karena sebenarnya memang masih baru. Hanya karena kekecilan atau kebesaran atau setelah di patut-patut ternyata dia tidak menyukai baju-baju tersebut. Tiba-tiba saja saya katakan ‘di jual di Al Markaz aja us’. Kebetulan saat itu bulan ramadhan. Biasanya di koridor Masjid terbesar di Indonesia Timur tersebut di penuhi oleh beragam penjual setiap sore. Begitulah hingga akhirnya kami putuskan untuk menjual baju-baju tersebut dan saya yang bertanggungjawab untuk menjualnya. Tak lama pun begitu bersemangat UUS mengemas baju-baju (dengan beberapa celana panjang sebenarnya) itu ke dalam plastik dan menaruh label harga yang benar-benar murah. Tak lupa ia pun menyipkan sebuah kertas yang bertuliskan ‘Jual murah, bekas tapi baru’ yang akan saya pasang saat menggelar dagangan. Ya…sore itu pun menjadi sore yang bersejarah buat saya dan UUS. Antara geli dan takjub karena saya telah belajar menjalani profesi lain. Sayang, saya tidak sempat mengabadikannya.  Dengan membawa ransel saya berangkat sendiri ke Al Markas dengan naik angkutan umum. Setelah melihat suasana akhirnya saya pilih di suatu sudut untuk kemudian saya gelar tikar dan menata baju-baju tersebut. Dasar memang barang bagus yang di jual murah, tak sampai satu jam semua ludes. Beberapa penjual di sekitar saya bertanya ‘ambil dari mana mbak?’ atau ‘besok ke sini lagi ya?’. Menjelang maghrib UUS baru datang dan ia pun senyum-senyum. Dengan suka cita kami pun menghitung uang yang kami dapat. Dan tak lupa UUS memberikan separo hasil penjualan kepada saya.

 Banyak hal yang ia ajarkan kepada saya meski akhirnya dia sendiri tidak terlalu mengembangkan ajarannya. Ooops..ini bukan ajaran agama ya…he.. UUS adalah orang yang sangat berpengaruh dalam sejarah kepenulisan saya. Sekitar awal tahun 1999 saya mulai menggeluti dunia puisi. Saya sendiri menyadari kalau puisi saya benar-benar wagu dan ndeso. Tapi saya tak segera mengurungkan semangat saya dan membuang seluruh coretan saya ke tempat sampah. Saya tunjukkan puisi-puisi itu ke UUS. Ia pun memberikan respon positif dan menyarankan saya untuk menggunakan berbagai ragam majas, dari personifikasi hingga hiperbola (he..he..saya sendiri juga lupa apa ini yang dimaksud). Saya turuti saja sarannya meski ia sendiri bukan lah penyair rajin membuat puisi. Kalau awalnya puisi saya panjang-panjang ia mencoba memecahnya dalam beberapa bait. Ajaib…ternyata puisi yang awalnya terlihat ndeso bisa terlihat indah setelah dilakukan berbagai manipulasi.

Pertengahan tahun 1999 saya harus kembali melanjutkan kuliah. Tak berapa lama ia pun meninggalkan Makassar dan berencana melanjutkan program pasca sarjananya di Jogja. Tak terlalu sering kami berkomunikasi. Surat pun rasanya hanya satu kali ia kirimkan. Saya sangat menyukai surat itu…dan nampaknya surat itu pulalah yang mengajarkan saya untuk menggunakan bahasa resmi tapi santai. Di surat itu ia berkisah tentang ‘masa suram’-nya karena telah menghabiskan waktu tanpa sebuah arah yang jelas. Tak lupa, ia pun memberikan respon atas puisi yang saya kirimkan. Lagi-lagi ia melakukan beberapa koreksi dan manipulasi hingga puisi saya terlihat lebih indah.

Pertengahan tahun ini saya mendengar kabar dari sahabatnya bahwa UUS sebenarnya juga punya akun di fesbuk.  Segera saya coba ketikan nama fesbuknya. Lagi-lagi saya harus kecewa karena akunnya sudah tidak aktif. Sahabat tersebut mengatakan bahwa UUS sudah menikah tahun 2009 lalu dan menyarankan saya untuk membuka akun suaminya yang kebetulan sudah ‘berteman’. Langsung saat itu juga saya buka. Subhanallah…ternyata ia menikah dengan kekasih sejatinya sejak SMA. Ia pernah mengatakan bahwa tidak pernah ada kata putus makanya ia tetap setia menyimpan memori dan harapannya begitu kuat. Kami selalu mengatakan ‘sudah lah Us, dia sudah melupakanmu terima saja si ini si itu’. Ia begitu percaya dengan mimpi-mimpinya. Bahkan ia mengatakan ‘aku berkhayal ketemu dia di…di…’. Dan akhirnya…mimpi itu benar-benar terwujud setelah masa penantian yang cukup panjang…

Sayangnya, saat saya ajukan pertemanan dengan suaminya, hingga kini tak pernah ada konfirmasi.

Us, kemana ku harus mencarimu….please sungguh kutulis ini dan kushare notes ini dengan harapan aku bisa menemukan jejakmu…

Moga bahagia slalu Us…..

BUDAYA KERJA: BISAKAH MEMBENTUK PNS MENJADI ‘SAMURAI’?

“Saya sendiri masih mencari-cari apa ada hubungannya budaya kerja dengan kinerja. Jangan sampai kita juara budaya kerja tapi dari sisi kinerja tidak banyak yang berubah”

Pertanyaan seorang rekan di atas pada dasarnya juga menjadi pertanyaan saya setelah bergelut dengan budaya kerja selama lebih dari tiga tahun. Sebagai penggiat budaya kerja saya sendiri sebenarnya masih meragukan adakah kegiatan-kegiatan yang selama ini dirancang ada pengaruhnya terhadap kinerja. Ada beberapa saat dimana saya hampir putus asa dengan apa yang saya usahakan. Ah…seharusnya saya harus memasrahkan semua usaha hanya kepada Sang Pencipta. Pada titik itu pula lah saya merasakan bahwa apa yang telah saya lakukan tidak banyak membawa perubahan.

Di saat bersamaan rekan seperjuangan saya menyatakan mundur dari ‘arena’. Lengkap sudah apatisme saya. Untung saja ada FB..he..he.. Memang FB ibarat pisau yang bisa melukai sekaligus bisa membantu meracik aneka masakan yang lezat. Di situ lah saya meng’adu’ kan persoalan saya kepada salah seorang rekan. Tak banyak membantu sebenarnya. Saya sendiri pun sebenarnya sudah sering mendengar informasi atau tips2 yang diberikan rekan saya. Teoritis memang. Ya kerena rekan saya bekerja di salah satu bank milik swasta yang tentunya mempunyai budaya organisasi yang berbeda instansi pemerintah. Tapi, saya biarkan chatting mengalir hingga ia menyinggung tentang semangat samurai. Sejak saat itulah saya jatuh cinta dengan kata ‘samurai’, terlepas dari hal-hal negatif para penyandangnya .

Dari hasil googling-an saya dapatkan informasi bahwa semangat samurai lah yang membuat Jepang mampu bertahan setelah kehancuran pada perang dunia kedua dengan bom atom yang dijatuhkan di Heroshima dan Nagasaki. Semangat yang pantang menyerah itu pula lah yang membuat Jepang menjadi negara industri dengan produk-produknya yang mendunia. Intinya..pantang menyerah..Prinsip inilah yang selalu dipegang para jawara.

Kalau setelah beberapa saat sang samurai berhasil menawan hati saya maka sedikit demi sedikit orientasi saya berubah. Saya belajar menerima hasil dan mulai belajar melupakan impian saya tentang ‘perubahan’. Tapi, tidak berarti saya berhenti. Ya..karena sesungguhnya saya lebih mencintai apa yang saya lakukan dari pada hasil yang saya harapkan. ‘Kepergian’ rekan seperjuangan justru menjadi tantangan baru yang menggoda untuk ditaklukkan. Begitulah..hingga kemudian saya temukan ‘rekan-rekan’ baru. Mereka inilah yang menjadi pengobar bara semangat untuk tetap menyala.

Oooooops…Mari kembali pada konteks budaya kerja dan kinerja di atas.

Ya..bahkan hingga kini pun saya juga belum bisa membuktikan bahwa kegiatan-kegiatan budaya kerja di kantor punya pengaruh signifikan terhadap kinerja individu. Kegiatan-kegiatan budaya kerja unggulan kami adalah penyusunan bulletin, diskusi buku, lomba karya tulis, pengajian dua mingguan, senam aerobik tiap minggu pagi, band, outbond dan lainnya. Intinya, kegiatan tersebut seperti kegiatan ekstrakulikuler anak-anak SMA. Sekilas dan setelah dilihat dengan mata kepala sendiri pun tidak ada hubungannya dengan kinerja.

Jika begitu, masih perlukah kegiatan-kegiatan tersebut dilanjutkan?

Butuh waktu yang cukup lama untuk mendewasakan pemahaman tentang budaya kerja. Awalnya, pun saya tak sepakat setidak sepakat-sepakatnya dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya ‘hura-hura’. Kalau kinerja yang diharapkan meningkat maka sistem lah yang justru harus diperbaiki.

Jadi? Penerapan reward dan punishment yang jelas hingga penegakan SOP lah yang perlu dilakukan. Lalu buat apa ada budaya kerja?

Begitu lah bisikan-bisikan yang selalu merasuk dan menggoda saya untuk meragukan kredibilitas budaya kerja. Hingga fikiran saya akhirnya bermuara pada kisah-kisah saya bersama sahabat-sahabat MAKES ‘Al-Markaz for Khudi Enligtening Studies’ sepuluh tahun silam. Kala itu kami begitu asyik menikmati diskusi-diskusi yang melupakan waktu bahkan hingga adzan subuh. Seorang kawan waktu itu mengatakan ‘kalau kita ingin mengubah seseorang, maka yang harus diubah adalah pola pikirnya terlebih dahulu’. Waktu itu saya hanya mengiyakan saja hingga akhirnya kata-kata itu lenyap ditelan waktu.

Sampai saya temukan bukunya Adi W. Gunawan yang mengukuhkan pendapat kawan saya delapan tahun kemudian. Buku itulah yang kemudian meyakinkan saya bahwa perbaikan dan penegakan sistem, konsistensi pada SOP adalah bagian dari peningkatan kinerja. Pola perbaikan semacam itu menggunakan pendekatan hard control kalau menurut bahasa SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah). Nah, mengubah pola pikir merupakan pola perubahan yang bersifat soft atau pada sisi manusianya. Keduanya tidak berseberangan tapi saling melengkapi. Perbaikan hard control saja hanya akan membuat hidup menjadi kering, gersang, kaku, dan saklek. Soft control ini lah yang justru menjadikan hidup menjadi lebih indah, lebih berwarna dan lebih bermakna. Perbaikan pola pikir menjanjikan perubahan sikap dan perilaku dalam jangka panjang. Restorasi Meiji di Jepang memang telah mengubah kedudukan para samurai. Tapi ketika peran samurai dikurangi dan menjadi ‘rakyat biasa’ justru mereka mampu menularkan semangatnya kepada masyarakat sipil. Loyal, disiplin, beretika dalam berlaku, menjaga kehormatan dan respek itulah yang kemudian membawa Jepang menjadi negara yang hebat meski pernah diluluhlantakkan Amerika. Dan kini, kita bisa saksikan, produk Jepang mendunia.

Begitu pula lah yang diharapkan dari budaya kerja…

Budaya kerja atau sering disebut organisation culture adalah ruh yang mampu menggerakkan jiwa-jiwa pekerja, pegawai, staf, atasan, birokrat menjadi seorang Shakespeare, Michael Angelo, dan Bethoven. Mereka itulah yang telah menggugah dunia dengan mahakarya yang dicipta sepenuh cinta dan kesungguhan dari dalam jiwa. Cinta dan kesungguhan itu membuncah menjelma menjadi ‘passion’ yang menggerakkan fikiran, kaki , tangan dan seluruh indra untuk mewujudkan karya yang abadi dan dikenang sepanjang masa.

Makanya, budaya kerja menjadikan hidup penuh warna…penuh keindahan..dan harmoni… yang mengakar kuat yang tidak dibatasi oleh-oleh insentif finansial dan tidak memenjarakan kreatifitas. Budaya kerja mengubah pola pikir secara mendasar yang akan menjadi pijakan dalam bergerak, berbuat, dan bekerja.

Kalau begitu, membangun budaya kerja butuh waktu yang panjang. Memang. Tapi tidak berarti tak berbatas waktu. Kalau lah kemudian kegiatan-kegiatan yang selama ini di rancang belum menunjukkan adanya perubahan, mungkin perlu kembali dievaluasi efektivitasnya. Memang benar, membangun budaya kerja sama halnya dengan mengubah mindset. Bayangkan, betapa sulitnya mencerabut akar pikiran yang menurut Adi W. Gunawan sebagai belief yang telah dipeliara puluhan tahun dalam otak dan diyakini sepenuh hati. Bukankah ia ibarat mencabut pohon yang juga berusia sama? Kalau yang kita lakukan hanyalah memotong ranting-rantingnya saja, pasti ranting baru akan bermunculan. Kemudian, kalau yang kita lakukan adalah menebang batangnya, boleh jadi suatu saat kelak ia akan tumbuh dan berkembang lagi. Itu baru mencerabut akar, belum menanam kembali pohon lain di tempat yang sama yang bisa memberikan banyak buah bercita rasa luar biasa. Tentu dibutuhkan waktu bertahun-tahun.

Jadi?

Dengan melihat ‘posisi’ budaya kerja di atas tentu sangat sulit untuk merubah pola kebiasan bekerja di kalangan PNS yang secara umum dikenal malas, tidak profesional, tidak berjiwa melayani dan sebagainya. Penerapan reformasi birokrasi sesungguhnya cara jitu untuk menghasilkan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Setidaknya, penerapan reward dan punishment yang jelas, pola rekruitmen dan penempatan pegawai yang benar otomatis akan menggeser equilibrium supply and demand kinerja pegawai ke sebelah kanan. Secara otomatis pula PNS berkinerja rendah seharusnya bisa tersingkirkan dari pasar PNS dan digantikan oleh mereka-mereka yang berkualitas. Namun, mungkinkah itu terjadi? Bisakah meng-kick-out PNS yang berkinerja rendah? Sulit rasanya…meski bukan tidak mungkin. Tentu, alangkah indahnya bekerja di instansi pemerintah yang seluruh pegawai dan pejabatnya bekerja sebagaimana yang diharapkan oleh Marthin Luther King, Jr: bekerja sebagaimana Michaelangelo melukis, Beethoven menggubah musik, ataupun Shakespeare menulis puisi.

Untuk menghasilkan peningkatan kinerja yang signifikan dalam waktu yang lebih pendek maka budaya kerja harus diiringi dengan reformasi birokrasi atau sebaliknya. Keduanya harus seiring sejalan. Reformasi birokrasi sesungguhnya membuat ruang untuk perbaikan infrastruktur yang akan menghasilkan manusia-manusia yang taat pada hukum, patuh pada peraturan dan selalu membuat perhitungan reward dan punishment. Pola perbaikan semacam ini akan menghasilkan manusia berkarakter robot, budak, ataupun pedagang. Sebaliknya, budaya kerja akan melahirkan orang-orang yang arif. Budaya kerja memberikan ruh agar ketaatan dan kepatuhan tidak menjadikan PNS sebagai budak yang takut kepada majikan ataupun pedagang yang selalu menghitung untung rugi. Tapi.. budaya kerja menjadikan kita menjadi orang yang arif yang selalu mensyukuri hidup yang diberikan Sang Pencipta. Kepatuhan dan ketaatan orang yang arif didasarkan pada sebuah cinta yang tulus yang melahirkan hasrat untuk memberikan yang terbaik kepada Sang Pemberi Amanah.

Mengharapkan peningkatan kinerja dengan hanya membangun budaya kerja tentu dibutuhkan waktu yang jauh lebih panjang. Perubahan segera mungkin bisa ditemui pada beberapa gelintir orang yang kebetulan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan catatan, kegiatan-kegiatan yang digagas adalah kegiatan yang terencana secara baik dan berkelanjutan. Maksudnya, kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang sesaat, tidak terencana dan tidak terstrukur. Mengharapkan perubahan secara organisasional tentu sangat sulit jika tidak didukung oleh kebijakan yang mengharuskan setiap orang terlibat secara aktif dalam kegiatan ini.

Saya sendiri masih mempercayai bahwa mendesain kegiatan budaya kerja yang tepat akan berpengaruh secara langsung terhadap kinerja. Mau tau kenapa?

Saat ini saya tinggal di sebuah lingkungan perumahan lama yang dibangun sekitar tahun 1964. Rumah yang saya tinggali pun rumah yang dibangun pada masa itu. Di lingkungan RW setiap minggu selalu diadakan pengajian yang konon sudah dimulai sejak tahun tersebut. Bisa dibayangkan, anak-anak kecil yang dulu diajak para ibu-ibu majelis taklim kini seluruhnya telah berkeluarga. Tiga tahun yang lalu, sebelum anak kedua saya lahir, saya sering menghadiri pengajian ini. Rentang generasi sering menjadikan saya enggan untuk datang karena kebanyakan yang hadir seusia ibu saya jika saat ini beliau masih hidup. Di sisi lain, saya tertarik dengan materi yang disampaikan oleh ustadz pembina majelis taklim ini yang kebetulan pengurus sebuah pesantren terkenal. Saya seperti menemukan suasana pengajian yang telah lama saya tinggalkan. Berbeda dengan pengajian mingguan di kampung saya yang terkadang karena ketiadaan ustadz yang handal akhirnya materi diisi secara bergiliran oleh peserta meski terkadang orang tua kami mengundang beberapa ustadz untuk mengisi materi. Efeknya ternyata berbeda.

Atau, kalau kita coba perhatikan para aktivis kampus ataupun aktivis dakwah mereka punya karakter tersendiri. Bagaimana mereka bisa seperti itu?

Mereka tidak lahir begitu saja. Mereka adalah hasil didikan dari sebuah organisasi yang mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkan tujuan bersama. Didikan itu bernama kelompok diskusi bagi para aktivis kampus dan halaqah bagi para aktivis dakwah. Setiap minggu atau bahkan lebih sering mereka dipertemukan dan dibina oleh senior yang dianggap mempunyai pemahaman lebih terhadap garis perjuangan atau garis dakwah. Mereka pun mempunyai ‘kurikulum’ tersendiri sehingga kader-kader dakwah sebagaimana yang diharapkan. Mereka-mereka ini lah yang ketika telah ‘tercelup’ kurikulum ini akan mempunyai loyalitas yang luar biasa terhadap organisasi. Mereka sanggup meluangkan waktu, tenaga dan fikiran demi kepentingan bersama. Bahkan, mereka berani menunjukkan ‘perbedaan’ mereka sebagai karakter yang merupakan cerminan dari organisasi. Mereka juga sanggup mengeluarkan rupiah untuk mendanaik kegiatan organisasi.

Di kalangan PNS pun pada dasarnya masih ada PNS-PNS yang mempunyai kinerja tinggi, punya komitmen, profesional, berintegritas dan tidak selalu mengaitkan pekerjaan dengan insentif-insentif financial. Apa yang membuat mereka mampu mempertahankan idealisme sementara yang lain tidak? Inilah yang sering kemudian membuat orang kemudian menyimpulkan ‘tergantung masing-masing individu’. Atau kalau menurut teman saya ‘back to our self’. Kalau jawaban seperti ini yang muncul..berakhirlah diskusi.

Pertanyaannya, bagaimana membuat PNS-PNS mempunyai karakter sebagaimana aktivis kampus dan aktivis dakwah yang rela mengorbankan, harta, jiwa dan raga untuk perbaikan pelayanan publik?

Tak ada salahnya mengujicobakan pola pembentukan karakter yang dilakukan oleh para aktivis kampus dan aktivis dakwah dalam kegiatan budaya kerja. Benang merahnya sebenarnya terletak pada sistematika dan kontinuitas pelaksanaan.

Kalau kegiatan budaya kerja hanya dilakukan tanpa ada arah yang jelas dan situasional maka bersiaplah untuk menuai gugatan bahwa kegiatan budaya kerja hanyalah pemborosan belaka.