MARI MENCAMIL TULISAN

Suatu ketika seorang kawan sempat komplain saat saya share salah satu tulisan saya di grup alumni. Dua hari sebelumnya dia sempat berharap saya mau membuat analisis terkait pekerjaan di kantor kami. Permintaannya terpaksa saya tolak dengan alasan sedang sibuk karena laporan yang harus saya selesaikan menumpuk. Lha, kok selang beberapa hari muncul tulisan saya di laman Birokratmenulis.org. Wajar kalau kemudian dia katakan, “Jare (katanya) nggawe laporan?” Lalu saya jawab bahwa tulisan tersebut sebulan lalu sudah saya selesaikan, hanya perlu sedikit editing terakhir.

Seperti beberapa waktu lalu, sejujurnya saya merasa agak tidak enak karena diprasangkai baik. Beberapa teman sempat mengatakan, sedang sakit kok masih sempat-sempatnya menulis. Cerita sebenarnya tak sehebat itu. Saya masih manusia biasa yang butuh istirahat saat sakit. Saya sekedar mengisi kebahagiaan dengan menulis, terutama saat jenuh dari pekerjaan atau bosan berkelana di medsos.

Dalam proses menulis lebih sering saya membutuhkan waktu yang panjang. Bahkan ada tulisan yang butuh satu tahun untuk menyelesaikannya. Untuk tulisan yang sifatnya hasil pengamatan lapangan memang bisa jadi dalam hitungan jam. Namun, ketika tulisan tersebut melibatkan analisis sembari dihiasi literatur, prosesnya bisa berbulan-bulan.

Tulisan itu saya kerjakan sesempatnya saat ada waktu luang, bahasa jawanya: sak kobere. Seperti camilan, begitulah saya perlakukan aktivitas menulis. Ringan, bisa dinikmati kapan saja ada waktu, tetapi mampu menambah energi. Kalau saya mengharapkan waktu khusus menulis satu tulisan semi serius langsung jadi, mungkin hanya sekedar mimpi. Momen seperti itu barangkali baru terwujud saat saya sudah pensiun.

Tulisan tentang mentoring bagi auditor (https://birokratmenulis.org/seni-mentoring-dalam-membangun…/) saya selesaikan lebih dari setahun. Idenya berawal ketika saya mendapatkan tugas untuk mengkaji kebijakan perencanaan pengembangan pegawai saat saya masih di kantor pusat. Tugas tersebut mengharuskan saya untuk membaca literatur. Dari proses menekuri jurnal, ada hal menarik yang sepertinya bisa menjadi tulisan. Ada dua topik waktu itu, tentang humor di kantor dan tentang mentoring. Segeralah saya buat tulisan singkat merangkum hasil membaca literatur tersebut.

Kalau hanya rangkuman, tentu tulisan tersebut terasa garing dan tidak menarik minat orang membaca. Bukan itu saja, pesan yang ingin saya sampaikan juga akan gagal diterima pembaca, karena tertolak dibaca sejak kalimat kedua. Butuh waktu lama hingga akhirnya saya diberikan tugas dengan seorang pengendali teknis yang handal sehingga dapat melengkapi tulisan tentang mentoring. Tapi, itu saja belum cukup menuntaskan tulisan saya.

Sekian bulan kemudian saya satu tim penugasan dengan genmil yang memiliki etos kerja yang bagus yang darinya saya bisa menuangkan reverse mentoring dengan lebih jelas.. Ketika literatur dan pengalaman sudab match barulah proses menulis bisa berjalan lebih cepat.

Sama halnya dengan tulisan tentang humor untuk birokrat, (https://birokratmenulis.org/mari-melawak-mengasah-nalar-da…/) dari literatur saya mendapatkan informasi yang menarik bahwa humor itu diperlukan dalam organisasi, termasuk para birokrat. Lama catatan tentang literatur humor mengendap. Waktu pun berlalu hingga beberapa bulan kemudian saya menekuri video-video ngaji filsafatnya Dr Fahruddin Faiz. Salah satu video yang pas untuk menuntaskan tulisan tentang humor adalah saat Pak Faiz membahas Nasruddin Hoja. Dari sini saya menemukan satu puzzle untuk tulisan humor saya, bahwa humor itu dibutuhkan dalam hidup, bahkan oleh para sufi humor menjadi sebuah tradisi. Belum lagi, dulu watu saya masih SMP, almarhum bapak saya sering membeli buku kisah Nasruddin.

Masih belum cukup, angan pun mengembara pada kejadian beberapa tahun silam saat kepala perwakilan saya menginstruksikan untuk mengadakan lomba lawak untuk memeriahkan HUT kantor. Saat itu saya benar-benar mangkel dengan kaper saya dan menganggap idenya sangat tidak akademik. Tapi lha kok ya, karena kekurangan pemain saya dengan suka rela ikut memerankan salah satu tokoh lawak ketika mewakili bidang saya saat lomba. Hebatnya lagi, bidang saya meraih juara 1 lomba lawak.

Satu puzzle ketemu, jadilah tulisan humor menghubungkan pengalaman, literatur dan Nasruddin Hoja.

Kalau tulisan yang Anda baca saat ini tidak membutuhkan waktu bilangan bulan, cukup satu jam plus beberapa menit. Tulisan ini hanya sekedar menuliskan kembali pengalaman dan tidak memerlukan literatur yang biasanya justru menyita waktu paling banyak. Jadi saya bisa menyelesaikannya dengan smartphone sembari nunggu antrian.

Saat ini pun saya masih memiliki beberapa potongan penggalan tulisan yang masih belum tuntas. Biasanya tulisan itu saya jar-kan (biarkan) saja. Biasanya sih tertuntaskan, jika tidak ya sudahlah, yang penting ada jejak literasi yang saya rekam yang kelak di masa depan bisa saya buka kembali sebagaimana membuka album perjalanan pikiran.

Mari mencamil…

Surga

Suatu ketika seorang kawan mengatakan begini, “Itu di Al Qur’an kok gambaran surganya menurutku justru membosankan ya. Makanan dan minuman enak-enak, bidadari cantik, sungai-sungai yang mengalir, dipan-dipan. Kalau buatku malah nggak asik. Lha aku sukanya diskusi, apa ada ya nanti?”


Mendengar pertanyaannya, jujur saya hanya terperangah dengan pertanyaan kritisnya. Kok bisa dia berfikir seperti itu. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepala saya tentang gambaran surga kecuali yang pernah saya dapatkan dalam pelajaran agama di sekolah sekian puluh tahun yang lalu. Dalam pemahaman saya, meski tidak digambarkan sejara detil, apapun bisa kita dapatkan di surga. Hanya saja definisi apapun dalam otak saya lebih pada kebendaan, permen, mainan, rumah. Persis seperti gambaran surga dalam diri anak-anak. Gambaran surga yang teramat lugu, bukan?


Sampai sekarang saya masih belum menemukan jawabannya. Saya juga belum sempat bertanya apakah teman tersebut sudah mendapatkannya. Berdasarkan pembacaan saya terhadap teks Islam yang teramat sempit, kata-kata yang digunakan oleh para penghuni surga adalah kalimat toyyibah atau kalimat-kalimat yang baik. Nah, kalau semua sudah baik apakah masih ada lagi yang perlu didiskusikan?


Memahami Ayat dengan Konteks
Waktu pun berlalu hingga saya menemukan video kajian-kajian tafsir Nouman Ali Khan yang mengajarkan bagaimana memahami Al Qur’an. Ayat-ayat yang terasa biasa ketika saya baca sendiri, terasa begitu menakjubkan setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan Nouman. Dia berhasil membawa imajinasi saya ke masa lalu, masa ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.


Misalnya bagian akhir surat Al Waqiah berikut.


Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui, dan (ini) sesungguhnya Al Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Apakah kamu menganggap remeh berita ini (Al Qur’an)? (Al Waqiah 75-81)


Dalam pembacaan saya, tak pernah terlintas tanya, mengapa Allah menggunaka tempat peredaran bintang-bintang dalam sumpahnya? Mengapa sumpah tersebut dianggap sebagai sumpah yang besar? Lalu, kenapa tiba-tiba Allah menyebut Al Qur’an?


Ketiadaan tanya di kepala saya bisa jadi karena cara pembacaan saya yang salah, sambil lalu tanpa melalui proses berfikir. Orientasi pembacaan saya sepertinya masih sebatas pada kuantitas jumlah ayat yang dibaca, bukan kualitas pemahaman. Bukankah lebih baik sedikit tapi berkualitas, dari pada banyak tapi tidak memahami sama sekali?


Bagian akhir surat Al Waqiah pada prinsipnya menekankan kemuliaan Al Qur’an. Untuk menjelaskan kepada manusia, menurut Nouman Ali Khan, Allah menggunakan sumpah dengan tempat peredaran bintang-bintang. Mengapa harus dengan benda-benda tersebut?


Bagi kita yang hidup di masa kini, bintang-bintang bisa jadi jauh kalah menarik dibanding layar HP. Saya sendiri lupa entah kapan terakhir menatap bintang-bintang di langit. Mungkin sudah berbilang bulan, atau malah tahun saya tidak menikmati kilaunya. Bintang, di masa kini bisa jadi hanya sekedar penghias langi di malam hari.

Bagi kita yang hidup di masa kini, bintang-bintang bisa jadi jauh kalah menarik dibanding layar HP. Saya sendiri lupa entah kapan terakhir menatap bintang-bintang di langit. Mungkin sudah berbilang bulan, atau malah tahun saya tidak menikmati kilaunya. Bintang, di masa kini bisa jadi hanya sekedar penghias langit di malam hari.


Namun, tidak demikian dengan bangsa Arab empat belas yang lalu. Di dunia yang belum ada listrik, belum ada radio, tv, telepon, apalagi internet, memandang bintang gemintang merupakan satu-satunya hiburan di malam hari.


Tak kalah penting, bintang-bintang juga menjadi penunjuk arah di tengah malam gulita di tengah gurun pasir. Kepada benda-benda langit inilah para pedagang berpedoman pada rasi bintang melintasi malam berhari-hari untuk membawa barang dagangannya dari satu kota ke kota lainnya, seperti dari Yaman ke Syiria.


Dengan bintang-bintang dan tempat peredarannya yang begitu penting bagi bangsa Arab di masa itu, Allah hendak menjelaskan hal yang sama tentang Al Qur’an. Dalam memandang Al Qur’an pun kita tidak bisa melihatnya sebagaimana sebuah kitab yang lihat saat ini.


Untuk dapat memaknai konteks historinya, kita juga perlu membawa fikiran kita kembali ke masa lalu. Yaitu, masa di mana kesusastraan menjadi kebanggaan bangsa Arab dan para penyair mendapatkan kedudukan yang tinggi di masyarakat.


Jika kemudian Allah menurunkan AlQur’an dengan bahasa yang begitu indah, tentu hal ini menarik perhatian, sekaligus memancing kemarahan banyak pihak karena pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dianggap mengancam kedudukan mereka.


Surga bagi Bangsa Arab

Kembali pada pertanyaan kawan saya di atas, logika yang sama mungkin bisa menjadi jawaban. Maksud saya begini, untuk memaknai surga sebagaimana yang tergambar dalam Al Qur’an, kita perlu memahami kondisi masyarakat kala itu. Sebagaimana yang juga disebutkan oleh Allah dalam surat Yusuf ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti”.


Meski Al Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia, tapi perlu diingat bahwa audiens pertemanya adalah masyarakat Arab kala itu. Merekalah pendengar sekaligus sasaran ayat-ayat tersebut. Sehingga, bahasa yang digunakan pun juga bahasa sehari-hari mereka, bahasa Arab. Sebagaimana dalam surat Yusuf, tujuannya agar dapat dimengerti.


Dengan demikian, gambaran surga pun juga mengikuti nalar yang sama, sesuai dengan kondisi masyarakat kala itu. Jika yang disebut buah-buahan di surga di antaranya adalah kurma, delima, tin, dan zaitun, hal itu karena buah-buahan tersebut yang dikenal oleh masyarakat di sana kala itu. Jika yang disebut semangka, salak, duku, durian apalagi, tentu tidak akan menumbuhkan semangat untuk meraih surga.


Hal yang sama juga berlaku untuk sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Bagi masyarakat yang hidup di gurun pasir yang panas, air tentu memiliki nilai yang lebih dibandingkan kita yang tinggal di negara tropis dengan curah hujan yang tinggi. Menemukan sumber air yang dekat dengannya adalah suatu keberkahan.


Berbeda dengan masyarakat di Indonesia yang bisa menemukan banyak sungai di sekitar tempat tinggal mereka. Kuantitas air yang begitu banyak justru bisa mendatangkan bencana, sebagaimana yang terjadi di awal tahun ini, banjir terjadi di mana-mana.


Dalil tentang Surga
Dalam serial kajian the Description of Jannah, Yasir Qadhi mengutip hadist qudsi yang diriwayatkan dari Abu Huraira RA, “Aku (Allah) telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh suatu balasan (surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di dalam hati.” (HR Bukhari).


Meski di dalam Al Qur’an disebutkan gambaran tentang surga, makanan, buah-buahan, perhiasan, pemandangan alam, bidadari, menurut Yasir Qadhi surga yang sebenarnya jauh malampaui pikiran dan imajinasi manusia. Hal ini mengacu pada hadist qudsi di atas: belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati.

Kalaupun penggambarannya menggunakan benda-benda yang ada di bumi maka itu adalah kesamaan nama. Misalnya tentang kurma dan sungai yang selama ini kita nikmati dan lihat di dunia, maka kita juga akan menemukannya, hanya saja kita tidak pernah bisa membayangkan seperti apa. Mengutip pernyataan Yasir Qadhi, beyond human description.


Epilog
Jika demikian, apakah di surga masih ada aktivitas diskusi? Entahlah, saya belum bisa menemukan jawaban pasti. Saya masih percaya bahwa apapun yang kita inginkan akan kita dapatkan di surga, termasuk aktivitas diskusi.


Labih dari pada itu, yang tak kalah penting adalah untuk dilakukan adalah bagaimana kita bisa masuk surga. Itu pun buat saya masih begitu mewah, cukuplah bagaimana agar dijauhkan dari neraka.

MEMBACA SEJARAH DENGAN FILSAFAT

Entah mengapa setiap kali mengikuti pelajaran sejarah di SMA saya selalu terlelap. Pelajaran sejarah saya anggap sebagai refreshing di antara pelajaran-pelajaran ilmu eksakta. Sungguh saya bukanlah pelajar yang baik. Padahal, almarhum ibu saya juga guru sejarah.


Ketertarikan dan kesadaran akan pentingnya mempelajari sejarah baru saya dapatkan sekitar enam tahun lalu ketika membaca berita tentang ditemukannya lembaran Qur’an asli di University of Birmingham. Dari situlah saya mulai menelusur rasa penasaran, mengapa di lembaran tersebut justru ada di Birmingham, bukan di Timur Tengah? Ada peristiwa apa sehingga lembaran kitab suci tersebut bisa berpindah dari dunia Arab ke Inggris? Siapa yang mengambil atau membawanya dari tempat asalnya?


Pertanyaan itulah yang akhirnya membawa saya pada sejarah the Golden of Islam dengan peran the House of Wisdom yang dibangun di masa Khalifah Al Makmud sanggup menjadi magnet yang menarik para ilmuan dari segala penjuru dunia datang ke Baghdad. Sejak saat itu saya mulai sering menekuri video-video sejarah dunia. Meski masih sebatas di permukaan tapi setidaknya mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar lebih mendalam.


Filsafat Sejarah
Waktu pun berlalu, beberapa bulan lalu, saya menyimak Ngaji Filsafat-nya Fahruddin Faiz yang semakin menguatkan diri untuk menelusur peristiwa sejarah. Saat itu Fahruddin Faiz mengupas tentang gagasan Ibnu Khaldun yang tertuang dalam bukunya yang sangat populer berjudul Mukkaddimah.

Ternyata sejarah tidak sekedar kronologi keterjadian suatu peristiwa tentang tokoh dan kapan kejadian berlangsung. Sejarah juga bukan sekedar narasi cerita tentang kepahlawanan dan kehebatan bagaimana para kaisar, raja, sultan, dan penguasa jaman dahulu membangun peradaban yang bisa dinikmati warisannya hingga saat ini.

Tapi, memahami sejarah juga butuh sisi-sisi pemikiran kritis untuk melihat secara lebih luas akan sebuah peristiwa. Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang menyatakan bahwa sejarah tidak semata-mata peristiwa yang terjadi saja, tapi melibatkan subjek. Tidak sekedar narasi, tapi yang tak kalah penting adalah siapa yang menarasikan.

Contoh yang sangat mudah dapat kita lihat pada realita hari ini. Berita yang muncul dari media, tentu tak lepas dari siapa yang membuat, siapa yang menarasikan. Masing-masing pembawa informaso membangun cerita yang dapat memberikan keuntungan pada diri sendiri.

Hal inilah yang disebut Ibnu Khaldun sebagai sisi instrinsik dan ekstrinsik sejarah, ada subjek ada narasi. Sejarah tak bisa dilepaskan dari filsafat sehingga lahirlah apa yang dinamakan sebagai filsafat sejarah. Ini tidak berarti bahwa setiap peristiwa sejarah harus difilsafati. Tapi, bagaimana kita menggunakan filsafat untuk mengkritisi suatu peristiwa sejarah, terutama terkait mengapa dan bagaimana suatu peristiwa sejarah itu ada. Why dan how.

Dalam pandangan Ibnu Khaldun sejarah memiliki sisi fungsi dan praktis yang berlangsung sepanjang masa. Sejak dulu sejarah sering dijadikan sebagai alat penguasa atau siapapun yang memiliki hubungan dengan penguasa untuk memback-up kebijakan-kebijakan. Siapapun yang tidak sejalan, membangkang, menentang, apalagi menjelekkan akan disingkirkan. Ini tidak hanya berlaku dalam area kekuasaan negara, tapi juga dalam hal sejarah Islam.


Dulu ketika masih zaman orde baru, buku-buku terkait PKI dilarang beredar. Sangat sulit sekali menemukan buku Pramudya Ananta Tur dan dijual bebas, termasuk buku-buku berhaluan kiri lainnya yang hingga kini masih rawan untuk di razia. Pelarangan ini bukan karena ketakutan bahwa pembaca akan menjadi komunis, tapi lebih pada ketakutan bahwa buku-buku tersebut akan membangkitkan kesadaran pembaca akan kegagalan kebijakan-kebijakan pembangunan. Sehingga, membredel atau melenyapkan narasi lain selain yang dibangun oleh penguasa dianggap bisa menyelamatkan kekuasaan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyebut sejarah memiliki fungsi politik untuk melanggengkan kekuasaan, membangun stabilitas, sekaligus harmoni.

Memahami Konteks
Hal penting lain yang menurut saya terlupakan saat saya dulu belajar sejarah adalah memahami konteks. Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafatnya memberikan contoh yang cukup menggelitik tentang gambaran hukuman-hukuman dalam Al Qur’an yang bagi banyak orang terlihat begitu kejam, seperti potong tangan hingga rajam? Dalam memandang hukuman seperti ini kita tidak bisa menggunakan perspektif masa kini untuk menilai masa lalu. Jika itu yang dilakukan kesalahan persepsi sangat mungkin terjadi.

Sehingga, kita harus bisa membawa diri kita pada perspektif kejadian di masa lampau. Bisa jadi memang di masa lalu hukuman semacam itu yang sesuai dengan zamannya.

Sebaliknya, orang-orang di masa lalu mungkin juga akan terkaget-kaget melihat bagaimana pemerintah saat ini menghukum para kriminal termasuk koruptor, sudah membahayakan masyarakat malah diberikan tempat tinggal, diberikan makan, disediakan tempat shalat, serta diajari ketrampilan. Konteks zaman yang berbeda mengharuskan kita untuk mampu membawa pemikiran kita saat ini pada konteks masa lalu untuk agar melihat secara jernih apa yang sebenarnya terjadi dan pesan apa dibalik suatu peristiwa.

Hal ini pula yang digarisbawahi Ibnu Khaldun sebagai salah satu yang sering menjadi sumber kesalahan penceritaan sejarah, yaitu ketika sejarawan tidak mampu meletakkan peristiwa dalam konteks yang tepat. Di saat yang sama, Ibnu Khaldun juga memberikan prasyarat seorang sejarawan yang tidak cukup sekedar mengetahui kronologi peristiwa tapi juga mampu menghubungkan peritiwa dan kondisi masyarakat saat itu (masa kini) dengan masa lalu.

Seorang ahli sejarah juga harus memahami kondisi sosial dari beragam peradaban dan negara dalam aspek kehidupan sehari-hari, moralitas, pendapat, doktrin, dan lain sebagainya. Pemahaman tentang asal-usul dan perkembangan negara dan aliran-aliran, prinsip-prinsip sosial mereka, hukum, aturan dan peristiwa besar yang dialami juga perlu dimiliki. Hal-hal iniklah yang memungkinkan seorang sejarawan mampu melihat sebuah peristiwa dengan menggunakan berbagai lensa.

Epilog
Kriteria seorang sejarawan tersebut menurut saya perlu kita pahami sebagai seorang pembaca sejarah atau peristiwa apa saja. Di tengah gempuran informasi hoax serta pertarungan kekuatan untuk mempengaruhi opini publik, sikap kritisi wajib dimiliki, tidak sekedar mampu membaca, memahami, lalu percaya begitu saja dengan informasi yang kita terima.
Jika hal itu yang pula yang diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah, bisa jadi sejarah menjadi salah satu pelajaran yang dicintai siswa.