KEBERSAMAAN YANG MEMBEBASKAN (MAKES-Al Markaz for Khudi Enlightening Studies)

Lamat namun terpatri kuat dalam ingatan lambaian tangan ketujuh sahabat saya ketika harus meninggalkan kota ini untuk melanjutkan belajar sebelas tahun yang lalu. Bahkan rekan seangkatan saya yang kebetulan menyaksikan peristiwa itu mengatakan: coba kamu foto…. Sayang, saat itu saya belum mempunyai kamera apa lagi hp kamera yang setiap saat bisa dibawa kemana-mana dan di gunakan untuk mengabadikan momen-momen aneh, lucu dan unik..sungguh sebuah adegan perpisahan yang mengharukan..

Bagaimana tidak, ketujuh sahabat saya tersebut berjajar dengan rapi memberikan lambaian tangannya begitu kapal yang akan membawa saya mulai menjauhi dermaga. Tangan mereka terus dilambaikan hingga satu persatu ratusan pengantar yang melepas handai taulan mereka meninggalkan tempat itu dan tinggalah mereka bertujuh yang masih tersisa di dermaga itu sambil terus melambaikan tangan. Saya tidak tau persis kapan mereka meninggalkan dermaga, yang pasti mereka tetap ada di situ hingga mata saya tidak dapat melihat mereka lagi semakin kapal menjauhi dermaga…. I am leaving on the jet plane…don’t know when I’ll be back again…I hate to go…soundtrack Armagedon yang kebetulan saat itu sedang popular terasa mengaliri seluruh rasa dan jiwa saya hingga terpaksa harus diam-diam menghapus air mata yang menetes.

Pertemuan saya dengan ketujuh, bukan hanya tujuh, sahabat ini berawal dari tekad saya untuk dapat menyenangkan diri sendiri dengan mencari sebanyak-banyaknya teman di parantauan untuk membunuh sepi. Salah satu caranya adalah dengan mengikuti kursus bahasa Inggris. Kebetulan tempat saya kursus tersebut setiap hari minggu menyelenggarakan meeting sebagai sarana bagi seluruh siswa untuk memperlancar conversation. Tempat kursus itu bukanlah lembaga papan atas namun hanya lembaga kursus kelas dua atau kelas kaki lima yang harganya bisa dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, justru di situ lah saya menemukan teman-teman yang mempunyai semangat juang yang tinggi untuk belajar bahasa Inggris.

Tak hanya itu, mereka adalah para pembelajar sejati. Salah satu diantaranya, bahkan, saya sering menjulukinya sang filosof karena seringnya sang sahabat ini mengutip kata-kata para filosof. Dari merekalah saya mengenal Durkheim, Huntington, Foucoult, Fukuyama, Ivan Illich dll atau istilah-istilah dialektika, seni keabadian, hermeunetika, hegemoni dll yang pada saat itu sangat asing di telinga saya.

Diantara mereka adalah mahasiswa-mahasiswa FISIP yang aktif mengikuti diskusi atau kajian di kampus. Saya pun seperti mengikuti arus yang mereka bawa. Kecintaan mereka akan diskusi dan ilmu rupanya mewarnai interaksi kami. Bahkan untuk sesuatu yang terkadang terlihat sepele mereka mendiskusikannya dengan panjang lebar disertai dengan teori-teori.

Pertemuan kami di meeting setiap hari minggu rupanya tidak memuaskan hasrat rekan-rekan saya ini untuk berfikir, berdiskusi dan belajar bahasa Inggris. Sering kali kami bersama-sama mendatangi beberapa club bahasa Inggris. Setidaknya untuk hari minggu saja kami bisa hadir dalam tiga tempat sekaligus. Belum lagi ditambah jadwal diskusi di tempat saya dua kali dalam satu minggu, setiap senin malam dan rabu malam. Namun tetap saja…mereka masih merasa kehausan. Memang, club-club bahasa Inggris di beberapa tempat menawarkan sessi diskusi, namun pembahasannya masih dangkal karena lebih mengedepankan aspek peningkatan bahasa Inggris daripada peningkatan pengetahuan.

Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah kelompok kajian yang menurut mereka dapat memenuhi harapan mereka. Kelompok kajian ini mereka namakan MAKES (Al-Markaz for Khudi Enlightening Studies). Di sini focus kami bukan pada peningkatan bahasa Inggris semata tapi lebih pada bagaimana mengkaji issu-issu atau permasalahan terkini, dari ekonomi hingga politik, dari sudut pandang Islam dalam bahasa Inggris.

Sejak saat itu, teras masjid Al-Markaz Al Islam selalu dipenuhi anak-anak muda yang mempunyai semangat tinggi setiap selasa, kamis dan sabtu sore. Keanggotaan kami pun terus bertambah dan silih berganti. Pertambahan jumlah anggota tentu adalah hal yang positif bagi kami karena semakin banyak rekan-rekan dan semakin banyak warna warni ide yang muncul. Ya…karena mereka mempunyai latar belakang yang beragam, baik dari sisi pendidikan ataupun pandangan ke-Islaman. Dari sisi pandangan ke-Islaman madzab mereka dari Salafi, Hizbut Tahrir, PKS, Syiah atau bahkan yang tidak berpandangan sama sekali pun ada. Namun begitulah…perbedaan itu tak membuat kami berbenturan satu sama lain. Memang, di setiap diskusi terkadang perdebatan seru dan saling ngotot tak dapat dielakkan, namun justru dari situlah pemahaman kami terhadap satu rekan dengan rekan lainnya terbangun. Kerekatan kami disatukan oleh perbedaan yang memungkinkan untuk selalu berinteraksi dalam diskusi. Lebih dari pada itu keinginan kami atau hasrat untuk memperdalam permasalahan yang muncul mendorong kami untuk selalu membaca dan melengkapi diri dengan berbagai pengetahuan.

Makanya ketika seorang rekan mengatakan ‘Ana, kamu tidak capek pulang kantor langsung ke sini?’ saya pun menjawab ‘Justru dengan melihat kalian itu lah capek saya hilang’. Kebersamaan yang mereka tawarkan sungguh teramat tulus dan semangat mereka untuk belajar dan ‘membaca’ seolah membuka cakrawala berfikir saya yang selama ini hanya berkutat dengan akuntansi. Apalagi lingkungan kampus saya di masa lalu yang cenderung homogen membuat saya seolah sedang menapaki dunia baru yang penuh warna. Ditambah lagi lingkungan tempat kerja yang cenderung mendorong pegawai untuk mengejar ‘rezeki’ seolah menjadikan MAKES sebagai sebuah oase yang membebaskan saya dari arus pemikiran hedonis.

Bersama mereka saya menikmati makanan favorit kami ‘ubi goreng’ selepas diskusi di teras belakang masjid Al-Markaz karena hanya itulah yang sanggup kami hidangkan. Namun, itu tidak mengurangi keriangan kami bahkan saat ini kenangan itu menjadi terasa sangat manis. Saya masih ingat suatu ketika di hari minggu dimana kami memutuskan untuk bersama-sama melanjutkan meeting di club lain setelah usai meeting di tempat kursus saya. Kala itu jam sudah menunjukkan angka 12.30 dan kami sudah sepakat untuk pergi bersama-sama. Karena sudah waktunya makan siang maka saya usulkan untuk makan siang dulu di warung makan terdekat dan saya lihat ada coto Makassar dengan harga Rp3.000. Namun sepertinya usulan saya tidak terlalu ditanggapi dan seperti biasa mereka tetap asyik berdiskusi sambil bercanda di pinggir jalan sambil menunggu pete-pete hingga saya pun hampir lupa dengan usulan saya. Ketika kali kedua saya usulkan lagi mereka tetap tidak beranjak. Hingga salah satu diantara mereka mengatakan ‘ayo aku tau tempat makan yang bagus’. Akhirnya kami pun bersama-sama dibawa ke sebuah warung makan sederhana sekali di belakang hotel berlian (waktu itu). Cukup dengan Rp.1000 kami pun bisa melahap nasi sayur dengan lauk ikan sampai kenyang. Hmmm…ternyata saya kurang peka. Bagi mereka 3.000 adalah harga yang cukup mahal. Bagaimana tidak karena sebelumnya sebagai ajun yang belum berkeluarga saya bisa makan dimanapun saya mau. Apalagi bersama rekan seangkatan saya kami biasa berwisata kuliner khususnya ketika ada yang berulang tahun.

Begitulah…kebersamaan itu begitu kuat hingga saya sempat menyesali kenapa saya harus melanjutkan kuliah dan meninggalkan mereka. Bayangan mereka, saat-saat kami berdiskusi..saat-saat kami ‘bertengkar’..saat-saat kami bercanda selalu mengisi fikiran saya saat sedang mengikuti kuliah ataupun saat sedang mencuci pakaian di tempat kost. Keputusan saya untuk menghabisakan liburan untuk kembali ke kota ini pun semata karena sangat merindukan kebersamaan dengan mereka meskipun banyak yang menyangka bahwa kedatangan saya kembali dikarenakan hadirnya seseorang di hati saya. Sesungguhnya bukan seseorang namun semua rekan-rekan. Atau keputusan saya untuk ditempatkan kembali disini pun tak lain dan tak bukan karena ingin mengulang kebersamaan itu. Hingga pada akhirnya saya dipertemukan kembali dengan sang filosof itu yang kelak beberapa tahun kemudian menjadi ‘sahabat sejati’ saya hingga akhir zaman…..

BRUCE

Lelaki paruh baya itu lah yang telah menginspirasi hingga saya tetap berambisi untuk tetap berfikir dan selalu berfikir tentang apa saja. Baginya saya bukanlah siapa-siapa bahkan dia pun tidak tau atau menyadari bahwa dia telah menancapkan semangat membara untuk mematahkan mitos-mitosnya. Tapi, bagi saya dia teramat berarti karena telah mengubah pola fikir saya tentang ilmu dan kerja.

Perkenalan saya dengannya terjadi sekitar tiga tahun yang lalu ketika saya diminta menghadap untuk membahas rencana riset saya. Ya..dia adalah coordinator research project yang bertanggungjawab untuk memastikan bahwa seluruh mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut adalah orang yang bisa melakukan penelitian dan bertanggungjawab memonitoring progress penelitian yang dilakukan.

Kesan pertama saya terhadap Bruce…hmmmm..buruk sekali. Dari raut wajahnya saja sulit sekali menemukan senyum hingga terlintas di benak saya …gimana ya senyumnya. Tak seperti dosen-dosen lain yang selalu menghargai pendapat dan kemampuan mahasiswa. Menurut saya dia termasuk golongan profesor2 lama yang jaim, merasa paling pintar dan tidak terlalu percaya dengan kemampuan mahasiswanya.

Waktu itu mahasiswa yang akan mengambil research project hanya 9 orang termasuk saya. Mata kuliah ini buat saya sebenarnya hanyalah mata kuliah pilihan. Namun rasanya kurang afdol kalau kuliah pasca sarjana tanpa melakukan riset. Makanya saya sengaja mengambil kuliah ini meskipun tidak terlalu sreg dengan sang coordinator program.
Seperti biasa, saya selalu berusaha datang kuliah tepat waktu. Saat petama mata kuliah akan dimulai lelaki itu sudah ada di ruangan. Diam seribu bahasa tanpa kata tanpa senyum hingga 10 menit terlewatkan. Saya pun berbisik dengan rekan di sebelah saya: kenapa tidak dimulai saja. Mamang saat itu belum seluruh mahasiswa hadir. Namun seperti dosen-dosen lain, kuliah bisa saja segera dimulai tanpa menunggu kehadiran seluruh mahasiswa. Setelah seluruh mahasiswa hadir barulah dia membuka pembicaraan. Tak banyak yang disampaikan, kecuali hanya selintas tentang research project itu sendiri dan membuat appointment untuk menemuinya face to face keesokan harinya.

Hari berikutnya saya menemui Bruce di ruang kerjanya dan dia mewanti-wanti bahwa research project itu berat dan butuh ekstra tenaga dan fikiran untuk menyelesaikannya. Saat itu dia juga menanyakan rencana riset saya. Untung saja sempat terbersit ide penelitian yang akan saya lakukan meskipun belum saya dalami benar-benar. Lagi-lagi tidak ada senyum. Pertemuan yang sangat singkat, mungkin hanya sepuluh menit hingga dia meminta saya memikirkan lagi tentang riset yang akan saya lakukan dan akan dibahas bersama professor-profesor lain pada minggu berikutnya.

Pertemuan selanjutnya dengan Bruce hanyalah sebatas saat saya dan rekan-rekan harus mempresentasikan progress riset setelah kami mendapatkan supervisor masing-masing. Hingga suatu ketika saat penelitian sudah sampai pada tahap findings dan kami harus mempresentasikannya saya membuat suatu kesalahan hingga dia memanggil saya bersama empat rekan lainnya untuk menghadap.

Heteroscedasticity….gara-gara satu kata itulah saya mendapat teguran keras. Tapi memang begitulah adanya. Dalam riset yang saya lakukakan saya menggunakan metode ekonometri sederhana. Sebenarnya saya tidak menguasai metode itu. Cuma karena ingin menjajal kemampuan dan semester sebelumnya sudah mendapat materinya, meski sedikit, plus tentir selama beberapa kali pertemuan makanya saya beranikan diri untuk mencobanya. Yang ingin saya uji adalah faktor-faktor yang mempengaruhi transparai pemerintah daerah. Setelah melakukan pengujian dengan stata akhirnya saya dapatkan findingsnya.

Sehari sebelum presentasi teman saya mengatakan bahwa saya harus melakukan het test atau heteroscedasticity test. Waktu itu bahkan hingga saat ini saya tidak terlalu paham test apakah itu tapi saya mengerti bagaimana melakukan test itu dengan memasukkan rumus hingga keluarlah hasil yang lebih bisa diandalkan.

Saat presentasi dengan bangganya saya katakan: After testing for heteroskedasticity and multicolinearity, EDU, INTGR and SIZE are robustly and significantly correlate with OPEN. Begitu duduk dia langsung nanya apa itu heteroscedasticity. Sambil cengengesan saya jawab saja seadanya dan sejujurnya kalau saya dikasih tau teman yang juga ambil research project tentang itu tapi saya harus melakukannya. Bahkan didepan supervisor-supervisor lain dia mentertawakan saya dan bilang ‘you even cannot spell it’. Dasar saya suka cengengesan ya saya cuma cengar cengir saja karena sadar juga klo saya salah. Langsunglah saya dipanggil menghadap dan dipanggil Mrs Heteroscedasticity dan lagi-lagi diulang ‘you even cannot spell it’. Huh..menghina sekali..

Karena waktu itu supervisor saya tidak hadir saat presentasi makanya tidak ada yang membela saya dan test yang saya lakukan pun tidak sepengetahuan supervisor makanya tidak ada yang bisa saya lakukan selain pasrah menerima ledekannya. Saat itu pula dia beritahukan saya bahwa supervisor saya mendapat pekerjaan baru sehingga peran supervisor diambil alih oleh Bruce.

Setelah dia menjadi supervisor saya, kesan saya terhadapnya tidak berubah meski interaksi kami sudah lebih cair. Dia pun tak lupa membahas kembali kesalahan saya dan menanyakan mengapa saya melakukan kesalahan itu. Dia katakan: ‘isn’t it weird? You do something that you don’t know’ saya hanya bisa menjawab ‘yeah..’ sambil menerawang dan memikirkan ‘apa itu artinya weird?” karena dia terus menatap saya makanya saya iya kan saja. Baru kemudian saya temukan artinya setelah membuka kamus sesampainya dirumah dan artinya adalah ‘aneh’.

Begitulah…hingga akhirnya hasil akhir riset saya keluar dan mendapat nilai yang tidak terlalu mengecewakan, setidaknya buat saya. Ledekan Bruce paling tidak cukup menghawatirkan saya sehingga saya tidak berani berharap banyak untuk memperoleh distinction (D=70-80). Tapi dari ledekan itu pula saya berusaha semaksimal mungkin dan selalu berupaya berkonsultasi dengan academic skill advisor untuk memastikan bahwa riset saya tidak melenceng dari standard an untuk mengurangi kesalahan-kesalahan grammar. Standar penulisan academic di Australia sangat berbeda dengan apa yang saya jalani waktu menulis skripsi saya.

Kalau di sini kita lebih mengenal Landasan Teori maka bab II di sana adalah Literature Review. Meskipun secara terjemahan beda-beda tipis namun secara konsepsi sangat jauh berbeda. Saya masih ingat ketika menulis Landasan Teori, yang saya lakukan adalah mengumpulkan text book sebanyak-banyaknya kemudian mengcopy teori-teori yang akan dipakai dalam pembahasan. Nah, ini sangat berbeda dengan Literature Review dimana kita tidak diminta untuk menuliskan teori-teori, tapi melihat hasil-hasil riset yang terkait dengan judul yang kita ajukan untuk selanjutnya dilakukan review alias menganalisis sisi baik dan buruk riset-riset terdahulu sebelum pada akhirnya memunculkan bahwa riset kita dimaksudkan untuk mengisi gap literature yang belum pernah dikaji oleh periset-periset sebelumnya. Jadi proses analisis sudah dimulai dari bab II.

Membandingkan apa yang saya alami dengan kondisi di sini sungguh sangat kontras. Lagi-lagi mungkin saya pun tak seharusnya membandingkan karena banyak factor yang mempengaruhi. Suatu ketika, saya pernah bertemu dengan mahasiswa S3 suatu perguruan tinggi setempat di sini. Dia mengatakan kalau saat itu sedang mengambil program doctoral dan berencana melakukan riset. Tidak tanggung-tanggung, dia menggunakan metode kuantitatif. Diapun menceritakan rencana risetnya dan menurutnya: yang paling sulit adalah mengumpulkan data, kalau masalah olah data saya bisa serahkan pada keponakan saya, dia mahasiswa MIPA dan biasa melakukan itu. Di saat yang lain, saya bertemu dengan seorang rekan, diapun mengatakan hal yang sama.

Hmmmm..ya tidak mengherankan di kota ini sepanjang jalan di sekitar kampus banyak ditemukan kios-kios yang memasang plang ‘olah data’ ataupun konsultasi menyusun skripsi dan thesis. Padahal kalau mengingat kata-kata Bruce..”my student even after 2 years study econometric they still make many mistakes”…”lha kamu????” lagi-lagi saya hanya menatapnya sambil cengingas cengingis. (Bersambung)