Menuju Jalan Tuhan

Bagi saya video Nouman Ali Khan yang berjudul Road to Change produksi FreeQuranEducation sangat spektakuler. Singkat, padat, tapi pesannya mengena. Video berdurasi sepuluh menit tersebut mengulas penggalan ayat ke-125 surat An Nahl. Setelah saya telusur ternyata ayat tersebut banyak dirujuk dalam pembahasan tentang dakwah. 

Etika Mengajak

Nouman Ali Khan memulainya dengan ilustrasi ketika kita ingin mengundang seseorang untuk makan malam. Sebagaimana layaknya undangan, tentu kita mengajak seseorang dengan niat yang baik, pilihan kata yang baik, dan dengan keramahan. Sebaliknya, kita tidak akan mengajak seseorang dengan nada amarah, kebencian, ataupun gertakan. Sudah pasti, jika itu yang kita lakukan, ajakan kita akan langsung ditolak. Bukan sekedar ditolak, tapi bisa jadi menyisakan kejengkelan.

Hal yang sama juga terjadi ketika kita mengajak seseorang di jalan Allah. Ayat ke-125 surat An Nahl, yang dibahas dalam video Nouman, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah.” Nouman, dalam hal ini, menggunakan kata invite yang juga berarti mengajak atau mengundang. Nouman menekankan bahwa dalam Islam, mengajak seseorang harus melibatkan rasa cinta dan hormat sehingga pihak yang diundang bersedia datang.

Jalan Tuhan

Hal menarik selanjutnya adalah ketika Nouman menjelaskan tentang ilaa sabili rabbika, atau kepada jalan Tuhanmu. Biasanya kita mengundang seseorang untuk bertemu di suatu tempat tertentu. Destinasinya jelas, di rumah, di gedung, di restoran atau di kantor. Sebaliknya, dalam ayat ini tujuannya sabiili atau jalan, bukan tujuan akhir. Cukup sampai di jalan sudah dianggap berhasil. Padahal, jalan memiliki panjang yang bisa jadi sangat panjang, kecuali jalan buntu tentunya.

Di sini menggambarkan bahwa perintah Allah dalam surat An Nahl ayat 125 ini tidak meminta manusia untuk sampai pada destinasi atau tujuan akhir, tapi cukup menuju jalan yang akan ditempuh hingga akhir hidupnya. Selama seseorang sudah dan terus berada di jalan tersebut, dalam hal ini sabiili rabbika atau jalan Tuhanmu, maka dia sudah dianggap sukses. Tak peduli seberapa cepat atau lambat dia melalui jalan tersebut, tak peduli seberapa dekat atau seberapa jauh jalan tersebut sudah dilalui, itu bukan persoalan. Kata Nouman, “No one is expected to be in absolute complete perfect submission to Allah without any mistakes.

Dalam hal ini Nouman menggarisbawahi bahwa masing-masing orang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda. Ada yang bisa menempuhnya dengan kecepatan tinggi, ada juga yang hanya mampu berjalan tertatih. Tidak mengapa. Pemahaman tentang hal ini sangat penting dalam memahami dan menjalankan misi dakwah.

Untuk menegaskan hal ini, Nouman mengilustrasikan bagaimana sekelas sahabat pun untuk menerapkan larangan meminum khamr dilakukan secara bertahap. Berdasarkan referensi yang saya dapatkan, bahkan sejak tahapan pertama hingga ayat pelarangan khamr turun membutuhkan waktu 15 tahun. Bayangkan, ini sekelas sahabat lho ya. Kalau kata orang Jawa, perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan sak dek sak nyet. Mengapa? Karena mengubah kebiasaan yang sudah mengakar itu tidak mudah.

Just do it

Hal ini yang harus menjadi pijakan bagi kita ketika mengharapkan seseorang untuk melakukan perubahan. Butuh kesabaran untuk menunggu hasilnya. Bahkan, dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa sesungguhnya Allahlah yang bisa merubah seseorang, bukan perkataan ata sikap kita. Apa yang kita lakukan hanya sekedar menjalankan perintah Allah saja.

Bahkan, Nabi Nuh saja meski diberikan waktu 950 tahun untuk mengajak kaumnya menyembah Allah, hanya beberapa orang yang bersedia. Maka sangatlah mengherankan kalau kita (saya) baru sedikit saja menyeru kebaikan sudah mengharapkan hasil yang muluk-muluk.

Kegagalan Propaganda Fir’aun

Dalam menghadapi Fir’aun, Nabi Musa tidak meminta pasukan perang. Padahal, ancaman pembunuhan terhadapnya jelas di depan mata. Sebaliknya, dalam doanya yang masyur, Nabi Musa justru memohon kelapangan dada, kemudahan urusan, serta dilepaskan dari kekakuan lidah. Kisah Nabi Musa memang sangat menarik untuk dicermati. Dalam tulisan ini saya mencoba memaparkan bagaimana Nabi Musa justru diuntungkan dari propaganda yang didesain oleh Fir’aun.

Menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak mampu membantah fakta yang ditunjukkan oleh Nabi Musa, Fir’aun pun menyusun strategi. Pesihir-pesihir hebat di seluruh penjuru negeri dikumpulkan. Tak hanya itu, diumumkan juga kepada seluruh penduduk agar berkumpul pada hari yang telah ditentukan dan mengikuti para pesihir, jika mereka menang. Silakan di garis bawahi: mengikuti para pesihir. Kata-kata ini akan menjad kata kunci dalam episode ini.

Di sisi lain, kondisi ini menaikkan posisi tawar para pesihir. Fir’aun menawarkan imbalan yang besar dan mereka juga akan mendapatkan kedudukan jika mereka berhasil menang melawan Nabi Musa.

Adegan berikutnya seperti yang pernah kita dapatkan saat di bangku SD, para pesihir lalu melemparkan tali-temali dan tongkat-tongkat mereka seraya berkata, “Demi kekuasaan Fir’aun, pasti kamilah yang menang”. Kemudian Nabi Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan.

Bagaimana reaksi para pesihir menyaksikan semua itu? Mereka pun tersungkur dan bersujud. Mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam, (yaitu) Tuhannya Musa dan Harun. Ya, para pesihir itu tersungkur dan mengakui adanya Tuhan seluruh alam.

Masih ingat pesan Fir’aun kepada penduduk? Ikuti para pesihir.

Ketika Fir’aun mengancam para pesihir bahwa mereka akan dipotong tangan dan kaki secara bersilangan, mereka justru menampakkan keyakinannya yang kuat sembari mengatakan, “Tidak ada yang kami takutkan, karena kami akan kembali pada Tuhan Kami. Sesungguhnya kami sangat menginginkan sekiranya Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami menjadi orang yang pertama-tama beriman.”

Ending yang sangat bagus bukan?

Kalau kita kembali pada doa Nabi Musa, maka kisah ini hendaknya mampu membangkitkan optimisme kita dalam segala keterbatasan apapun. Ketika kita tidak memiliki dana, fasilitas, infrastruktur, dan sumber daya yang terlihat nyata secara kasat mata, kita harus tetap memiliki keimanan, Allahlah yang akan mendatangkan kekuatan itu dari arah yang tidak kita sangka-sangka.

Dalam menjalankan sebuah mission impossible, Nabi Musa tidak meminta pasukan, tidak meminta kuda perang, tidak meminta perbekalan. Nabi Musa hanya mengatakan, Rabbish rohli sodri wayassir li amri, wahlul ‘uqdatammillisaani yafkohukouli, artinya Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Untuk sebuah mission impossible, Nabi Musa hanya membutuhkan kelapangan dada, kemudahan urusan, dan melepaskan dari kekakuan lidah, bukan sumber daya lainnya.

Dalam hal ini Nouman mengatakan, Nabi Musa tidak membutuhkan media campaign. Fir’aun lah yang justru membuat propaganda, mengerahkan media, mengumpulkan orang orang, dan berani mengeluarkan banyak uang untuk para pesihir jika mereka menang. Hingga pada akhirnya, keadaan justru berbalik. Skenario yang dibangun Fir’aun hancur berkeping-keping. Pesihir jatuh tersungkur melihat mukjizat tongkat Nabi Musa dan justru menyembah Allah.

Kisah Nabi Musa menghadapi Fir’aun membawa pesan yang sangat dalam di mana kita harus tetap memiliki keimana dan keyakinan bahwa hanya Allah lah penolong kita. Dalam kondisi se-impossible apa pun, kepercayaan dan keimanan harus tetap kita miliki, karena pertolongan itu bisa datang dari arah yang tidak kita sangka-sangka…

Wallahu a’lam

Diplomasi Nabi Musa dengan Fir’aun

Kisah-kisah dalam Al Qur’an akan terasa hidup ketika kita mampu memvisualisasikannya. Untuk itu, dalam pembacaannya dibutuhkan imajinasi agar visualisasi itu bisa hadir sehingga kita bisa merasakan kedahsyatannya. Sayannya, saya sendiri sering gagal melakukannya. Membaca Al Qur’an terasa garing karena dibaca begitu saja.

Tulisan berikut adalah hasil simakan kajian Nouman Ali Khan tentang dialog menarik antara Nabi Musa dengan Fir’aun yang termaktub dalam surat As Syuara.

Upaya Melemahkan Mental Nabi Musa

Ketika Nabi Musa mengatakan bahwa mereka berdua (bersama Nabi Harun) adalah Rasul Allah dan meminta agar Bani Israil dilepaskan, Fir’aun mencoba melemahkan mentalnya dengan mengungkit kebaikannya di masa lalu. Fir’aun juga memojokkan Nabi Musa dengan menyebutkan kesalahannya dan menganggapnya sebagai orang yang tidak tau terima kasih.

Pernyataan Fir’aun ini kalau kita tempatkan pada konteks masa kini sepertinya sah-sah saja. Bayangkan, ada seorang bayi yang baru lahir terhanyut di sungai. Atas permintan sang istri, bayi itu dibawa ke kerajaan, diasuh dan dididik hingga dewasa. Suatu ketika dia melarikan diri karena membunuh seseorang. Sekian tahun kemudian ia kembali lagi dan langsung mengaku bahwa dia adalah rasul utusan Tuhan semesta alam.

Sementara, sang bapak angkat adalah seorang raja dan mengaku bahwa dia adalah tuhan. Ketika kita berada di posisi Fir’aun, mungkin jawaban kita tak akan jauh berbeda dengan jawaban di atas, mempertanyakan rasa terima kasih.  

Bukankah ini trik yang sering juga kita jumpai di masa kini? Ketika seseorang gagal berargumentasi, ia akan menyerang sisi personal lawan.

Counter Argumen yang Cerdas

Tapi lihatlah, betapa cerdas Nabi Musa menjawab pertanyaan politis Fir’aun ini. Nabi Musa berkata, “Aku telah melakukannya, dan ketika itu aku termasuk orang yang khilaf. Lalu aku lari darimu karena aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku menganugerahkan ilmu kepadaku serta Dia menjadikan aku salah seorang diantara rasul-rasul. Dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku, (sementara) itu engkau telah memperbudak Bani Israil.”

Narasi jawaban Nabi Musa diawali dengan pengakuan kekhilafannya. Lalu, Nabi Musa pun bercerita apa yang ia lakukan setelahnya, berlari dari Fir’aun, lalu dianugerahi ilmu oleh Allah dan dijadikan sebagai seorang rasul. Meski Fir’aun mencoba membelokkan topik pembahasan, Nabi Musa mampu mengembalikan topik pembicaraan kepada misi yang dibawanya. Misi pertama berhasil ia tunaikan: mengatakan bahwa ia dan Nabi Harun adalah rasul Tuhan semesta alam.

Jawaban yang tak kalah menarik juga dia sampaikan ketika Nabi Musa meminta Fir’aun untuk melepaskan Bani Israil. Di satu sisi, Nabi Musa mengakui kebaikan yang dia terima semenjak bayi, di sisi lain Nabi Musa juga mengingatkan Fir’aun akan kekejaman yang telah dilakukan terhadap Bani Israil. Dalam surat As Syuara dikatakan, “Dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku (sementara) itu engkau telah memperbudah Bani Israil.”

Lagi-lagi Nabi Musa berhasil mengembalikan dialog ke topik awal, menyampaikan misi dari Allah untuk melepaskan Bani Israil. Nabi Musa seolah hendak mempertanyakan, apakah cukup yang dilakukan Fir’aun terhadapnya di masa lalu dibandingkan dengan kekejamannya terhadap Bani Israil?

Bisakah Anda bayangkan bagaimana suasana saat itu. Ibarat kena skak mat. Telak. Fir’aun seolah langsung diam, mak klakep, begitu kata orang Jawa.

Setting Dialog Nabi Musa dan Fir’aun

Dalam dialog selanjutnya, Fir’aun mulai terbawa alur dialog Nabi Musa. Dia bertanya, “Siapa Tuhan seluruh alam itu?” Nabi Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan pada yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu memercayai-Nya.” Narasi berikutnya Fir’aun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengar (apa yang dikatakannya)?

Selain memperlihatkan kepanikannya, pernyataan Fir’aun di atas juga memperlihatkan adanya fakta yang menarik untuk di cermati. “Fir’aun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya”, berarti dialog tersebut tidak hanya melibatkan tiga orang: Nabi Musa, Nabi Harun, dan Fir’aun. Tetapi, banyak orang. Ibarat sebuah tontonan, maka episode ini tentu merupakan episode yang paling seru, paling klimaks. Seandainya kita adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa langka tersebut, gimana rasanya ya? Menunggu-nuggu adegan berikutnya, sekaligus deg-degan, atau khawatir membayangkan apa yang akan terjadi kalau Fir’aun murka?

Fir’aun Gagal Berargumen

Saat itu, orang-orang melihat fakta kekalahan Fir’aun dalam berargumen. Fir’aun sudah terkalahkan dihadapan publik, dihadapan para pengikutnya. Nabi Musa menjalankan misi dengan sangat baik, sebagaimana dinyatakan di ayat ke-11, bahwa Allah tidak hanya mengutusnya untuk mendatangi Fir’aun, tapi juga kaumnya.

Dialog selanjutnya semakin memperlihatkan bagaimana Fir’aun gagal mematahkan argumenn Nabi Musa, hingga yang bisa dia lakukan adalah menghina dan mengancam dengan mengatakan bahwa Nabi Musa adalah orang gila. Fir’aun juga mengancam akan memasukkannya ke penjara.

Di ayat berikutnya, adegan semakin seru. Nabi Musa memperlihatkan mukjizat Allah yang diberikan kepadanya. Nabi Musa melemparkan tongkatnya, lalu tiba-tiba tongkat itu menjadi ular. Kemudian, Nabi Musa mengeluarkan tangannya (dari dalam bajunya), tiba-tiba tangan itu menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya.

Bisakah Anda bayangkan suasana saat itu? Mungkin orang-oran berlari ketakutan karena tiba-tiba melihat ada ular. Atau mungkin wajah Fir’au pucat pasi ketakutan melihat ular dan tangan Nabi Musa yang berubah menjadi putih.

Ular adalah binatang yang ditakuti banyak orang, mungkin hanya pawang ular yang berani. Sama halnya ketika ada ular yang tiba-tiba masuk rumah, kita tak akan tinggal diam dan tetap duduk manis. Paling tidak, kita akan menyingkir sembari dada terus berdegup jangan sampai digigit. Fir’aun semakin panik dan ketakutan.

Untuk mencari dukungan Fir’aun mencoba menempatkan orang-orang dalam posisi terancam seperti dirinya dengan mengatakan, “Dia hendak mengusir kamu dari negerimu dengan sihirnya.” Fir’aun menggunakan kata ganti kamu, bukan aku atau kita. Dalam hal ini dia hendak menunjukkan bahwa Musa akan membahayakan orang-orang yang saat itu sedang menyaksikan dialog tersebut. Fir’aun mencoba meyakinkan bahwa ancaman itu juga ditujukan untuk mereka, mereka akan terusir dari negerinya.

Selalu saja ada cara bagi Fir’aun untuk berkelit. Tapi, di kisah berikutnya, Anda akan tahu bagaimana propaganda Fir’aun gagal total. Sebaliknya, atas izin Allah, Nabi Musa justru diuntungkan dari skenario yang sudah dirancang oleh Fir’aun.

Wallahu A’lam

Belajar dari Doa Nabi Musa: Prioritas

Kali ini, saya ingin berbagi hikmah dan kisah dari dialog Nabi Musa dengan Fir’aun dan para penyihir. Tulisan ini merupakan rangkuman kajian Nouman Ali Khan dan melengkapinya dari situs celiktafsir.net Dialog Nabi Musa ini dapat kita nikmati dalam surat Asy Syuara.

Kala itu penduduk mesir terbelah menjadi dua, Kaum Fir’aun atau Kaum Qibti dan Bani Israil, para pendatang. Bani Israil adalah masyarakat kelas dua yang sering menjadi obyek kekejaman. Surat Asy Syu’ara menjelaskan bahwa yang harus ditemui oleh Nabi Musa adalah ‘kaum’ Fir’aun. Ya, Kaum Fir’aun. Jadi Nabi Musa tidak hanya diperintahkan oleh Allah untuk menemui Fir’aun, tapi juga kaumnya.

Ketakutan Nabi Musa

Menemui Fir’aun bukanlah misi yang mudah, sekalipun bagi seorang nabi. Bahkan, ketakutan pun juga dirasakannya, termasuk ketakutan akan dibunuh oleh Fir’aun. Tapi, ada hal menarik yang dapat kita cermati terhadap ketakutan-ketakutan yang dihadapi Nabi Musa. Dalam surat As Syuara tercatat bagaimana Nabi Musa mengungkapkan ketakutannya, “Ya Tuhanku, sungguh, aku takut mereka akan mendustakan aku, sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar, maka utuslah Harun (bersamaku). Sebab aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.”

Apa yang ditakutkan Nabi Musa? Mari kita list: Mereka mendustakan (1), dada terasa sempit (2), lidah tidak lancar (3), maka utuslah harun, mereka akan membunuhku (4).

List tersebut menggambarkan urutan hal-hal yang dikhawatirkan oleh Nabi Musa. Dari urutan tersebut kita bisa melihat mana yang paling ditakuti dan mana yang kurang berdasarkan urutannya.

Lihatlah, yang diresahkan oleh nabi musa yang pertama adalah didustakan, kemudian dada yang sempit, lalu lidah yang tidak lancar. Ketakutan akan dibunuh justru ada di urutan terakhir. Dalam hal ini Nabi Musa meletakkan misi yang akan dilaksanakannya jauh lebih berharga dari hidupnya sendiri. Nabi Musa lebih menghawatirkan jika misi tersebut tak berhasil sehingga ia meminta agar Allah juga mengutus Nabi Harun. Baru kemudian, Nabi Musa menyatakan ketakutannya akan dibunuh.

Kallaa, Jangan Khawatir

Dari semua hal yang diresahkan oleh Nabi Musa, Allah hanya menjawab dengan kata ‘Kallaa’. Dalam hal ini Nouman menerjemahkannya dengan no problem tidak masalah. Seolah, menurut Nouman Ali Khan, ketika Nabi Musa mengatakan, bagaimana kalau mereka mendustakanku, Allah menjawab, don’t worry about it. Ketika Nabi Musa mengatakan, bagaimana kalau dadaku sempit, Allah menjawab, don’t worry about it. Ketika Nabi Musa mengatakan utuslah Harun bersamaku, Allah mengatakan don’t worry about it.

Begitu seterusnya hingga seluruh kekhawatiran itu dijawab oleh Allah bahwa itu bukan masalah besar. Satu kata diucapkan oleh Allah, menyelesaikan semua kekhawatiran Nabi Musa. Dalam surat Taha 25-36, dialog antara Nabi Musa dengan Allah ini juga menegaskan jawaban Allah, “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, Hai Musa”.

Setelah kata Kallaa, Allah mengatakan, maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat kami…dst. Dalam hal ini Allah langsung mengabulkan permintaan Nabi Musa dengan mengatakan “Pergilah kamu berdua”. Kemudian, Allah juga mengatakan, “dengan membawa ayat-ayat kami”, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai mukjizat. Musa tidak meminta sebuah mukjizat, dia hanya meminta Nabi Harun untuk menemaninya menjalankan misi. Tapi, Allah memberikannya sebuah mukjizat. Selanjutnya, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk mengatakan kepada Fir’aun bahwa mereka berdua adalah Rasul Allah dan akan melepaskan Bani Israil untuk pergi bersamanya.

Lompatan Cerita

Kalau kita perhatikan ayat berikutnya terlihat ada lompatan cerita. Tiba-tiba Nabi Musa dan Nabi Harun sudah berada di hadapan Fir’aun. Mengapa Allah tidak menceritakan bagaimana Nabi Musa turun dari bukit, menemui keluarganya, lalu berangkat ke Mesir, kemudian mengajak Nabi Harun bersama-sama menemui Fir’aun. Bahkan, Al Qur’an juga tidak mencatat bagaimana proses Nabi Musa memasuki kerajaan Fir’aun. Bukankah saat itu perintah Fir’aun kepada prajuritnya sudah jelas, membunuh Nabi Musa ketika mereka mendapatkannya.

Mengapa Al Qur’an tidak mencatat serentetan cerita yang saya sebutkan di atas, dan langsung ujug-ujug (begitu saja-red) Nabi Musa berdialog dengan Fir’aun. Plot kisah dalam Surat Asy Syuara ini menyerupai film atau sinetron yang kita lihat. Cukup dengan kata: beberapa tahun kemudian, beberapa bulan kemudian, beberapa minggu kemudian, atau beberapa hari kemudian. Lalu ditambah titik-titik untuk menunjukkan adanya lompatan peristiwa.

Masih ingat apa yang dikatakan oleh Allah ketika Nabi Musa menyatakan rasa kekhawatirannya? Allah mengatakan: Kallaa. Jangan khawatir. No problem. Tidak masalah.

Menurut Nouman Ali Khan, hal ini mengindikasikan bahwa, ya tidak masalah. Semua bisa dilalui oleh Nabi Musa dengan Nabi Harun dengan baik sebagaimana janji Allah, Kallaa. Jadi, episode itu tidak dipandang perlu untuk kita ketahui. Perlu diingat bahwa Al Qur’an hanya memuat hal-hal penting yang harus kita ketahui dan kita pahami. Bayangkan kalau seluruh rentetan peristiwa harus dimasukkan menjadi bagian dari Al Qur’an? Mungkin bisa berseri-seri. Sama halnya dengan film atau sinetron, kalau semua hal diceritakan, tentu penonton akan bosan.

Ketepatan Al Qur’an

Dari sini kita dapat menarik simpulan bahwa memahami Al Qur’an tidan bisa dilakukan dengan membacanya begitu saja. Urutan peletakan kata memiliki makna adanya sebuah prioritas. Begitu juga dengan penggunaan satu kata atau kalimat bisa menjawab banyak hal. Singkatnya, kata-kata yang termuat dalam Al Qur’an adalah tepat, pas, tidak kurang, tidak lebih, semua ada maksud dan sesuai dengan proporsi pesan yang ingin disampaikan.

Wallahu a’lam

Kenali Musuhmu: Belajar dari Kisah Nabi Musa

Mukjizat itu tidak pernah tertukar. Allah memberikan Nabi Isa kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit. Nabi Muhamad diberikan Al Qur’an untuk membuktikan pada kaumnya bahwa beliau adalah pembawa risalah. Demikian halnya dengan Nabi Musa, tongkatnya bisa berubah menjadi ular.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika mukjizat terbolak-balik. Nabi Isa mendapat Al Qur’an, Nabi Muhammad diberikan tongkat, dan Nabi Musa dibekali kemampuan menyembuhkan penyakit. Mungkin akan ada yang mengatakan, mukjizatnya salah mongso, tidak sesuai dengan tantangan zaman. Hasilnya tentu tidak akan efektif.

Al Qur’an diturunkan pada masyarakat yang sangat membanggakan karya sastranya. Nabi Isa diberikan kemampuan menyembuhkan penyakit kusta saat wabah penyakit sedang menyerang. Tongkat Nabi Musa menjadi mukjizat pada masyarakat yang saat itu sedang gandrung-gandrungnya dengan ilmu sihir. Semuanya tepat, sesuai konteks masyarakat saat mukjizat diturunkan.

Perintah kepada Nabi Musa

Ada pelajaran menarik yang bisa kita ambil dari sini terkait bagaimana para nabi menghadapi tantangannya masing-masing. Untuk menjawabnya saya akan berfokus pada kisa Nabi Musa.

Dari surat Taha, ada beberapa hal yang dapat kita identifikasi sebagai kunci keberhasilan Nabi Musa. Dalam surat tersebut, kisah Nabi Musa dimulai ketika dia hendak kembali ke Mesir dan ditengah perjalanan malam Nabi Musa melihat sepercik api di lembah Tuwa. Nabi Musa lalu menghampirinya. Di lembah itu Allah menunjuk Nabi Musa sebagai orang pilihan, lalu memberikan beberapa perintah yang harus dilaksanakan.

Allah menyuruh Nabi Musa untuk menyembah dan melaksanakan shalat untuk mengingat-Nya. Allah juga mengingatkannya agar jangan dipalingkan dari kiamat oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti keinginannya, yang menyebabkannya binasa.Terakhir, Allah memintanya untuk menemui Fir’un

Perintah menemui Fir’aun untuk menunjukkan bahwa ada tuhan lain selainnya dan membebaskan Bani Israil tentu bukan perkara mudah. Ingat, Saat itu, Nabi Musa sedang menjadi buron Fir’aun setelah tanpa sengaja membunuh seseorang dari suku Qibti. Dalam kondisi seperti ini tentu tantangan akan dibunuh Fir’aun dan pasukanna tampak jelas di depan mata.

Doa Nabi Musa

Menariknya, untuk menjalankan misi tersebut Nabi Musa justru memohon tiga hal bis jadi tidak relevan bagi kita di masa kini. Nabi Musa tidak meminta kepada Allah pasukan perang yang bisa menjaga keselamatan dirinya. Tapi, Nabi Musa memohon diberikan kelapangan dada, kemudahan urusan, dan melepaskannya dari kekakuan lidah. Nabi Musa juga meminta agar Nabi Harun diikutsertakan dalam misi tersebut.

Ketiga hal di atas adalah kunci utama dalam berkomunikasi ketika menghadapi Fir’aun. Meski Nabi Harun menyertainya, dalam kisahnya, Nabi Musalah yang berbicara. Sebagai seorang raja dari kerajaan besar, Fir’aun pastilah memiliki kemampuan diplomasi yang sangat baik. Dia terbiasa berbicara dengan banyak orang, baik kawan maupun lawan. Untuk membantah bahwa dia bukan Tuhan, butuh kemampuan komunikasi yang handal. Dalam surat Taha, Allah bahkan meminta Nabi Musa untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun.

Mukjizat Tongkat
Selain kemampuan tersebut, Allah membekali Nabi Musa dengan tongkatnya yang bisa berubah menjadi ular. Sebagaimana pengandaian di atas, mukjizat diberikan sesuai dengan konteks zaman. Saat itu penyihir memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat. Surat Asy Syuara mencatat bagaimana Firaun tak hanya berani membayar mahal para penyihir yang akan melawan Nabi Musa, dia juga menawarkan kedudukan tinggi jika mereka menang.

Dalam hal ini, Allah tidak pernah salah. Pada masyarakat di mana sihir dipandang bergengsi dan masyur di masyarakat, mukjizat yang diturunkan pun juga setanding. Sihir dilawan dengan mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular.
Kunci Menghadapi Lawan

Dari sini kita bisa melihat ada dua hal yang bisa digaris bawahi tentang bagaimana menghadapi lawan. Pertama, pentingnya memahami diri sendiri. Permintaan Nabi Musa untuk dilapangkan dada, dimudahkan urusan, dan dilepaskan dari kekeluan lidah serta permintaan agar Nabi Harun diikut sertakan menunjukkan bahwa dia sangat memahami kelemahan dirinya sendiri. Di sisi lain, Nabi Musa juga sangat memahami siapa yang akan dihadapi.

Hidup bersama Fir’aun semenjak bayi hingga dewasa tentulah cukup untuk memahami karakter Fir’aun, termasuk kekejaman dan kekuatan yang dimilikinya. Pemahaman yang baik tentang siapa yang akan di hadapi menjadi dasar bagi Nabi Musa untuk merefleskan diri lalu mengidentifikasi kelemahan-kelemahannya. Kecermatan dalam menetapkan kelemahannya membantunya menentukan perbekalan apa saja yang pentng untuk menghadapi Fir’aun. Lihatlah, Nabi Musa tidak meminta pasukan perang, padahal dia tahu persis kekuatan militer Fir’aun sangat kuat. Tapi, hanya tiga hal di atas. Nabi Musa tahu persis apa yang dibutuhkan untuk menjalankan misi.

Di sisi lain, Nabi Musa tidak memahami kondisi terkini Mesir karena tinggal di Madyan dalam jangka waktu yang lama. Ingat, zaman itu teknologi belum berkembang sepesat saat ini. Informasi tentang kerajaan Fir’aun tidak bisa dibrowsing dengan Internet.
Kedua, memahami lawan. Allah Sang Maha Mengetahui yang memahamii siapa Fir’aun dan tantangan apa yang nantinya akan dihadapi oleh Nabi Musa. Alllah sangat tahu bagaimana kondisi Mesir saat itu, termasuk para penyihirnya. Sehingga meski tidak diminta, Allah memberikan mukjizat tongkat yang atas izin-Nya bisa berubah menjadi ular sebagai bekal untuk menunjukkan kebenaran pesan yang dibawa Nabi Musa. Mukjizat tongkat itulah yang dibutuhkan Nabi Musa. Sebaliknya bukan ilmu kedokteran sebagaimana mukjizat yang diberikan kepada Nabi Isa.

Pelajaran yang bisa kita petik di sini adalah bahwa memiliki pemahaman yang baik tentang lawan dan diri sendiri sangat penting. Lawan di sini tidak hanya didefinisikan sebagai musuh, tapi objek dakwah, atau siapa saja. Bukankah dalam hal ini Nabi Musa ditugaskan oleh Allah untuk mengingatkan Fir’aun yang telah melampaui batas.

The Art of War

Pemahaman tentang kedua hal ini, lawan dan diri, juga menjadi salah satu prinsip Sun Tzu dalam buku The Art of War. Dia mengatakan, jika kamu mengetahui musuhmu dan mengetahui dirimu sendiri, kamu tidak perlu menghawatirkan hasil dari seratus pertempuran. Jika kamu mengetahui dirimu sendiri tapi tidak mengetahi musuhmu, pada setiap kemenangan yang kamu peroleh kamu akan menderita kekalahan. Jika kamu tidak memahami keduanya, musuhmu dan dirimu sendiri, kamu akan menyarah dalam setiap pertempuran.
Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam militer, tapi juga di dunia bisnis. Bagaimana mungkin pebisnis akan sukses jika dia tidak memahami target market-nya. Bahkan dia harus melakukan riset yang panjang dan berbiaya besar untuk sekedar mengetahui keinginan dan mempertahankan pelanggan, lalu menciptakan produk yang akan dijual.

Dalam level yang lebih kecil, prinsip ini juga bisa digunakan, dalam mendidik anak, mengubah pola pikir anak buah atau sebaliknya atasan, atau sekedar ‘meluruskan’ pandangan-pandangan netizen di sosial media. Mulailah dengan mengenali mereka sebaik-baiknya, lalu identifikasi kekuatan diri sendiri, temukan strategi yang tepat sasaran, baru action.Tidak percaya?

Silakan dibuktikan

“If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will seccumb in every battle.”

Surga

Suatu ketika seorang kawan mengatakan begini, “Itu di Al Qur’an kok gambaran surganya menurutku justru membosankan ya. Makanan dan minuman enak-enak, bidadari cantik, sungai-sungai yang mengalir, dipan-dipan. Kalau buatku malah nggak asik. Lha aku sukanya diskusi, apa ada ya nanti?”


Mendengar pertanyaannya, jujur saya hanya terperangah dengan pertanyaan kritisnya. Kok bisa dia berfikir seperti itu. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepala saya tentang gambaran surga kecuali yang pernah saya dapatkan dalam pelajaran agama di sekolah sekian puluh tahun yang lalu. Dalam pemahaman saya, meski tidak digambarkan sejara detil, apapun bisa kita dapatkan di surga. Hanya saja definisi apapun dalam otak saya lebih pada kebendaan, permen, mainan, rumah. Persis seperti gambaran surga dalam diri anak-anak. Gambaran surga yang teramat lugu, bukan?


Sampai sekarang saya masih belum menemukan jawabannya. Saya juga belum sempat bertanya apakah teman tersebut sudah mendapatkannya. Berdasarkan pembacaan saya terhadap teks Islam yang teramat sempit, kata-kata yang digunakan oleh para penghuni surga adalah kalimat toyyibah atau kalimat-kalimat yang baik. Nah, kalau semua sudah baik apakah masih ada lagi yang perlu didiskusikan?


Memahami Ayat dengan Konteks
Waktu pun berlalu hingga saya menemukan video kajian-kajian tafsir Nouman Ali Khan yang mengajarkan bagaimana memahami Al Qur’an. Ayat-ayat yang terasa biasa ketika saya baca sendiri, terasa begitu menakjubkan setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan Nouman. Dia berhasil membawa imajinasi saya ke masa lalu, masa ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.


Misalnya bagian akhir surat Al Waqiah berikut.


Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui, dan (ini) sesungguhnya Al Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Apakah kamu menganggap remeh berita ini (Al Qur’an)? (Al Waqiah 75-81)


Dalam pembacaan saya, tak pernah terlintas tanya, mengapa Allah menggunaka tempat peredaran bintang-bintang dalam sumpahnya? Mengapa sumpah tersebut dianggap sebagai sumpah yang besar? Lalu, kenapa tiba-tiba Allah menyebut Al Qur’an?


Ketiadaan tanya di kepala saya bisa jadi karena cara pembacaan saya yang salah, sambil lalu tanpa melalui proses berfikir. Orientasi pembacaan saya sepertinya masih sebatas pada kuantitas jumlah ayat yang dibaca, bukan kualitas pemahaman. Bukankah lebih baik sedikit tapi berkualitas, dari pada banyak tapi tidak memahami sama sekali?


Bagian akhir surat Al Waqiah pada prinsipnya menekankan kemuliaan Al Qur’an. Untuk menjelaskan kepada manusia, menurut Nouman Ali Khan, Allah menggunakan sumpah dengan tempat peredaran bintang-bintang. Mengapa harus dengan benda-benda tersebut?


Bagi kita yang hidup di masa kini, bintang-bintang bisa jadi jauh kalah menarik dibanding layar HP. Saya sendiri lupa entah kapan terakhir menatap bintang-bintang di langit. Mungkin sudah berbilang bulan, atau malah tahun saya tidak menikmati kilaunya. Bintang, di masa kini bisa jadi hanya sekedar penghias langi di malam hari.

Bagi kita yang hidup di masa kini, bintang-bintang bisa jadi jauh kalah menarik dibanding layar HP. Saya sendiri lupa entah kapan terakhir menatap bintang-bintang di langit. Mungkin sudah berbilang bulan, atau malah tahun saya tidak menikmati kilaunya. Bintang, di masa kini bisa jadi hanya sekedar penghias langit di malam hari.


Namun, tidak demikian dengan bangsa Arab empat belas yang lalu. Di dunia yang belum ada listrik, belum ada radio, tv, telepon, apalagi internet, memandang bintang gemintang merupakan satu-satunya hiburan di malam hari.


Tak kalah penting, bintang-bintang juga menjadi penunjuk arah di tengah malam gulita di tengah gurun pasir. Kepada benda-benda langit inilah para pedagang berpedoman pada rasi bintang melintasi malam berhari-hari untuk membawa barang dagangannya dari satu kota ke kota lainnya, seperti dari Yaman ke Syiria.


Dengan bintang-bintang dan tempat peredarannya yang begitu penting bagi bangsa Arab di masa itu, Allah hendak menjelaskan hal yang sama tentang Al Qur’an. Dalam memandang Al Qur’an pun kita tidak bisa melihatnya sebagaimana sebuah kitab yang lihat saat ini.


Untuk dapat memaknai konteks historinya, kita juga perlu membawa fikiran kita kembali ke masa lalu. Yaitu, masa di mana kesusastraan menjadi kebanggaan bangsa Arab dan para penyair mendapatkan kedudukan yang tinggi di masyarakat.


Jika kemudian Allah menurunkan AlQur’an dengan bahasa yang begitu indah, tentu hal ini menarik perhatian, sekaligus memancing kemarahan banyak pihak karena pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dianggap mengancam kedudukan mereka.


Surga bagi Bangsa Arab

Kembali pada pertanyaan kawan saya di atas, logika yang sama mungkin bisa menjadi jawaban. Maksud saya begini, untuk memaknai surga sebagaimana yang tergambar dalam Al Qur’an, kita perlu memahami kondisi masyarakat kala itu. Sebagaimana yang juga disebutkan oleh Allah dalam surat Yusuf ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti”.


Meski Al Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia, tapi perlu diingat bahwa audiens pertemanya adalah masyarakat Arab kala itu. Merekalah pendengar sekaligus sasaran ayat-ayat tersebut. Sehingga, bahasa yang digunakan pun juga bahasa sehari-hari mereka, bahasa Arab. Sebagaimana dalam surat Yusuf, tujuannya agar dapat dimengerti.


Dengan demikian, gambaran surga pun juga mengikuti nalar yang sama, sesuai dengan kondisi masyarakat kala itu. Jika yang disebut buah-buahan di surga di antaranya adalah kurma, delima, tin, dan zaitun, hal itu karena buah-buahan tersebut yang dikenal oleh masyarakat di sana kala itu. Jika yang disebut semangka, salak, duku, durian apalagi, tentu tidak akan menumbuhkan semangat untuk meraih surga.


Hal yang sama juga berlaku untuk sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Bagi masyarakat yang hidup di gurun pasir yang panas, air tentu memiliki nilai yang lebih dibandingkan kita yang tinggal di negara tropis dengan curah hujan yang tinggi. Menemukan sumber air yang dekat dengannya adalah suatu keberkahan.


Berbeda dengan masyarakat di Indonesia yang bisa menemukan banyak sungai di sekitar tempat tinggal mereka. Kuantitas air yang begitu banyak justru bisa mendatangkan bencana, sebagaimana yang terjadi di awal tahun ini, banjir terjadi di mana-mana.


Dalil tentang Surga
Dalam serial kajian the Description of Jannah, Yasir Qadhi mengutip hadist qudsi yang diriwayatkan dari Abu Huraira RA, “Aku (Allah) telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh suatu balasan (surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di dalam hati.” (HR Bukhari).


Meski di dalam Al Qur’an disebutkan gambaran tentang surga, makanan, buah-buahan, perhiasan, pemandangan alam, bidadari, menurut Yasir Qadhi surga yang sebenarnya jauh malampaui pikiran dan imajinasi manusia. Hal ini mengacu pada hadist qudsi di atas: belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati.

Kalaupun penggambarannya menggunakan benda-benda yang ada di bumi maka itu adalah kesamaan nama. Misalnya tentang kurma dan sungai yang selama ini kita nikmati dan lihat di dunia, maka kita juga akan menemukannya, hanya saja kita tidak pernah bisa membayangkan seperti apa. Mengutip pernyataan Yasir Qadhi, beyond human description.


Epilog
Jika demikian, apakah di surga masih ada aktivitas diskusi? Entahlah, saya belum bisa menemukan jawaban pasti. Saya masih percaya bahwa apapun yang kita inginkan akan kita dapatkan di surga, termasuk aktivitas diskusi.


Labih dari pada itu, yang tak kalah penting adalah untuk dilakukan adalah bagaimana kita bisa masuk surga. Itu pun buat saya masih begitu mewah, cukuplah bagaimana agar dijauhkan dari neraka.

Bagaimana Mentransformasi Masyarakat: Belajar dari Surah Jumu’ah

Pertengahan Februari lalu, saya meng-copy file beberapa murottal Mishari Rashid Alafasy ke dalam MP3 player dan music box jadul. Surat Jumu’ah adalah salah satunya. Saya sudah dibuat jatuh cinta dengan surat tersebut sejak pertama kali mendengar lantunan dari Mishari yang begitu syahdu dan mempu meluruhkan rasa. Sejak saat itu, Surat Jumu’ah sering menami aktivitas sehari-hari saya.

Belum lagi, kajian Nouman Ali Khan tentang surat ini pun membuat saya semakin terpikat. Panjang ayatnya sebenarnya hanya sebelas. Namun kok ya, saya belum hafal-hafal. Rengeng-rengeng sih iya, menirukan saat surat tersebut dilantunkan juga iya. Hafal, belum.

Sebagaimana namanya, saya yakin Anda bisa menebak isi surat ini. Yup. Benar sekali, tentang shalat Jum’at. Perintah untuk melakukan shalat Jum’at ada di surat ini, tepatnya di ayat yang ke-sembilan, di mana Allah memerintahkan untuk bersegera mengingat-Nya dan meninggalkan jual beli.

Continue reading “Bagaimana Mentransformasi Masyarakat: Belajar dari Surah Jumu’ah”

BELAJAR BAHASA ARAB ITU MUDAH!!

Sekitar dua tahun lalu saya dipertemukan dengan satu seri video di Youtube yang kemudian mengubah cara saya berinteraksi dengan Al Qur’an. Video yang berjudul Understand Qur’an and Salah the Easy Way ini menawarkan cara yang mudah untuk memahami Al Qur’an dan Shalat. Ada versi animasinya juga yang pas untuk anak-anak

Video-video tersebut mengubah pandangan saya tentang susahnya belajar bahasa Arab. Dua puluh dua tahun lalu saya sempat mengikuti kursus Bahasa Arab. Dua hari dalam seminggu selama dua jam di sore hari, saya menghabiskan waktu untuk mempelajari Bahasa Arab. Entah mengapa, saat itu saya menganggap bahwa Bahasa Arab itu sulit dipelajari. Apalagi, di kelas saya sering mengantuk. Jadi, entah berapa persen pelajaran kala itu yang terserap. Mungkin hanya 0,0001% saja. Yang jelas hingga saat ini yang saya ingat hanyalah nama anak guru saya yang bagi saya namanya begitu indah terdengar.

Continue reading “BELAJAR BAHASA ARAB ITU MUDAH!!”

Dialog Nabi Musa dengan Fir’aun (Bagian 2)

Masih ingat apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi Musa? Allah memerintahkan dua hal yang menjadi misi Nabi Musa: mengatakan bahwa mereka berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) adalah rasul-rasul Tuhan seluruh alam dan melepaskan Bani Israil dari Fir’aun. Dalam tulisan yang lalu, Nabi Musa dan Nabi Harun sudah sampai di hadapan Fir’aun dan mengatakan kedua hal tersebut.

Lalu, apa reaksi Fir’aun? Dalam ayat 18-19, Allah menjelaskan:

Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu dalam lingkungan (keluarga) kami, waktu engkau masih kanak-kanak dan engkau tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan engkau (Musa) telah melakukan (kesalahan dari) perbuatan yang telah engkau lakukan dan engkau termasuk orang yang tidak tau berterima kasih.”

Continue reading “Dialog Nabi Musa dengan Fir’aun (Bagian 2)”

Dialog Nabi Musa dengan Fir’aun (Bagian 1)

Dialog Nabi Musa dengan Fir’aun (Bagian 1)

Masih ingat kisah Nabi Musa yang saya posting beberapa minggu lalu? Baiklah, hari ini akan saya lanjutkan kisahnya. Di tulisan yang lalu, saya berfokus pada doa Nabi Musa yang sering kita lafalkan. Kali ini, saya ingin berbagi hikmah dan kisah dari dialog Nabi Musa dengan Fir’aun dan para penyihir. Sebagaimana tulisan saya lainnya, tulisan ini merupakan rangkuman kajian Nouman Ali Khan dan melengkapinya dari situs celiktafsir.

Dialog Nabi Musa ini dapat kita nikmati dalam surat Asy Syuara, surat yang juga begitu menarik untuk dicermati. Kisah Nabi Musa termaktub dalam ayat ke-10 hingga ayat ke-69. Di antara kisah nabi lainnya, kisah Nabi Musa mendapat porsi paling panjang dalam surat ini.

Untuk dapat menangkap kisah ini dengan baik, ternyata syarat utamanya harus membaca ayat-ayat tersebut dengan detail, perlahan-lahan, difikirkan, direnungkan, dianalisis, sembari dibayangkan. Jika tidak, hasilnya akan seperti proses pembacaan saya, cepat tapi lewat wat… tak berbekas dan tak paham maknanya. Padahal, jika kaidah pembacaan dilakukan dengan benar hasilnya akan membuat kita takjub.

Tahukah Anda bahwa sebenarnya tidak hanya Fir’aun yang harus ditemui oleh Nabi Musa? Tahukah Anda, apa saja misi yang dibawa Nabi Musa? Mari kita cermati.

Continue reading “Dialog Nabi Musa dengan Fir’aun (Bagian 1)”