POHON JAMBU AIR DI HALAMAN DEPAN RUMAH SAUDARA

Seminggu yang lalu saya mendapat pesan dari adik saya. Katanya, durian di kebun mulai berbunga. Langsung saya balas dengan emoji mata yang penuh binar cinta. Bagi saya kabar tentang kebun selalu membawa keriangan, sekaligus menerbangkan kenangan indah masa kecil.

Salah satu hobi saya di masa silam adalah ‘penekan’ alias memanjat pohon. Dulu saat masih tinggal di rumah saudara di Sukoharjo, hampir setiap pulang sekolah saya habiskan waktu bertengger di pohon jambu air yang mungkin usianya mencapai 20 tahun.

Saya bukan pemanjat pemberani yang sanggup mengambil jambu yang lebih besar di dahan yang mencit alias tinggi. Saya sudah cukup bahagia menikmati jambu-jambu kecil sembari duduk pada cabang terbesar yang cukup untuk diduduki beberapa sahabat kecil saya.

Umur delapan tahun saya sekeluarga pindah ke Salatiga. Obsesi pada pohon jambu air tetap rapi tersimpan. Sayang sekali, rumah orang tua saya tidak memiliki sebatang pohon, kecuali pohon pepaya yang sangat tidak mungkin untuk saya panjati.

Suatu ketika orang tua saya membeli kebun berjarak sekitar 20 meter dari rumah. Kebun tersebut sebenarnya cukup banyak pepohonan. Sayangnya, tak ada satupun yang enak untuk dipanjati sebagaimana pohon jambu air saudara saya. Tapi setidaknya ada dua pohon yang membuat saya bahagia, pohon langsep (langsat) dan pohon rambutan. Pohon lainnya nangka dan pete, pohon yang sama sekali tidak menarik minat baik dari buahnya maupun dari sisi penek-able-nya.

Setiap musimnya tiba, saya selalu paling sigap menyambut langsep. Saking bersemangatnya melihat langsep yang mulai menguning, saya selalu gagal mendapatkan rasa manisnya karena terlalu cepat diambil. Sedangkan durian, belum pernah sekalipun saya merasakan manis dan harumnya buah tersebut. Jangankan saya, hingga akhir usianya bapak saya juga belum sempat mencicipi.

Pohon durian itu memang selalu menorehkan harapan dengan bunga-bunganya yang selalu muncul setiap tahun. Sayang, bunga itu tidak selalu menjelma menjadi buah, paling banter hanya tiga buah yang mencapai bentuk durian masak yang siap diunduh. Sudah begitu, biasanya saya mendapat kabar dari adik saya yang hanya sempat mendapati kulit-kulit durian tepat dibawah pohon. Entah siapa yang menikmati buahnya.

Keinginan untuk memiliki pohon yang menghasilkan buah tetap tumbuh. Beruntunglah saya karena teman sekamar saya juga memiliki minat terhadap tanam-menanan. Akhirnya, dihalaman belakang rumah ditanam sebatang pohon jambu klutuk (jambu biji), pohon srikaya, dan dua pohon rambutan.

Berbinarlah mata saya ketika pertama kali mendapati jambu klutuk yang bergelantungan dan tinggal dipetik. Setiap ada waktu saya paling senang duduk-duduk dibawah pohon, menatapnya dan membayangkan masa kecil saat mencari jambu klutuk untuk dibuat rujak yang ditumbuk dengan mlanding (lamtoro) muda bersama teman-teman.

Sayangnya, saya harus selalu waspada jika ingin menikmati jambu klutuk matang. Ada mata-mata lain yang juga mengincar. Seringnya, saya kalah bersaing karena mata-mata tersebut adalah milik burung-burung yang lincah beterbangan dan paling jago mengambil jambu di ranting-ranting tinggi.

Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada rambutan. Ketika mulai berbuah saya sering menyempatkan waktu untuk menatap buahnya sambil menaruh harapan untuk bisa menikmatinya hingga buah itu benar-benar bisa dipetik. Suatu ketika saya dibuat mangkel dengan tukang di sebelah rumah. Dengan asyiknya mereka mengambil rambutan-rambutan tanpa izin. Tidak rela rasanya.

Sekitar lima tahun lalu, saya mencoba mencari jawaban, bagaimana pendangan Islam terhadap lingkungan. Ternyata, ada hadits yang menyadarkan saya bagaimana mengikhlaskan buah-buah yang dimakan oleh burung-burung dan tukang tetangga, sebagai berikut:

Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah pernah bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam, kemudian tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, ataupun binatang ternak, melainkan hal itu termasuk sedekah darinya” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya Rasulullah pernah bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman kecuali yang dimakan darinya merupakan sedekah, apa yang dicuri darinya merupakan sedekah, apa yang dimakan binatang buas merpakan sedekah, dan apa yang diambil oleh orang lain merupakan sedekah.”

Kedua hadis tersebut menyadarkan akan ketidak-ikhlasan saya ketika jambu-jambu dan rambutan-rambutan diambil tanpa izin. Tak seharusnya saya ngomel-ngomel sendiri ataupun kepada tukang yang telah mengurangi kenikmatan saya makan buah-buahan hasil menanam sendiri.

Hadis di atas juga menyadarkan akan keegoisan saya di masa kecil yang selalu berhitung waktu ketika ingin menanam sesuatu. Pemikiran lugu saya selalu membisikan, kalaupun ditanami pepohonan tentu saya tidak bisa lagi menikmati indahnya memanjat pohon, karena pasti saya sudah besar dan tidak mungkin lagi melakukannya.

Berbeda dengan Bapak saya yang tetap rajin merawat kebun meski usianya sudah lanjut. Mungkin pemahaman akan manfaat menanam pohon itu yang terus memberikannya kekuatan untuk selalu membersihkan semak-semak dan menyirami tanaman-tanaman. Hingga pada akhirnya, kami, anak-anak dan cucu-cucunya juga turut menikmati beraneka buah-buahan di kebun tersebut.

Semoga buah-buahan dan tanaman itu terus mengalirkan pahala buat Alm Bapak dan Ibu di alam barzah. Aamiin.

Leave a comment