FREEWRITING

Hari ini mencoba memulai sesuatu yang baru, yaitu menulis freestyle. Sebenarnya beberapa tahun lalu sewaktu di negeri sebelah pernah juga menerapkan untuk anak-anak supaya mereka semangat nulis, tapi setelah itu macet. Tekniknya mudah, aplikabel dan ringan. Asal ada niat pasti bisalah untuk konsisten.

Nah, beberapa hari lalu baca status AS Laksana tentang jenis tulisan freestyle ini. Sepertinya bisa digunakan untuk melincahkan jari dan jemari. Tentu saja, output dari freestyle tidak bisa disepadankan dengan nulis dengan tema terencana, substansi mendalam, dan cakupan yang luas. Sebagaimana Namanya, freestyle. Gaya bebas, yang penting nulis.

Dulu saya punya pandangan agak miring dengan tulisan semacam ini. Tentu saja yang saya lihat dari aspek kualitas, apa yang bisa diharapkan dari sebuah tulisan yang dihasilkan dari asal tulis, yang begitu muncul di kepala langsung ditulis, tanpa riset, tanpa menggali informasi, dan cek dan ricek. Tapi memang benar begitu adanya, tidak ada yang bisa diharapkan dari sisi substansi.

Meski begitu, ada yang saya lupa, sebagaimana tujuannya freestyle hanya untuk melemaskan jari jemari dan pikiran supaya lancar menulis. Jangan lebih. Kalau mau lebih ya harus diolah lagi. Waktu sepuluh menit jelas tidak akan bisa menghasilkan apa-apa seperti tulisan yang and abaca ini. Tapi setidaknya dari sepuluh menit yang saya tulis ini ada catatan-catatan yang bisa jadi percikan ide untuk disempurnakan menjadi tulisan yang lebih serius.

Ok jadi teknik freestyle ini sederhana. Ambil stopwatch pasang angka 10 menit. Lalu tulis apa saja. Jangan kurang jangan lebih. Yang penting dilatih saja konsistensinya. Ini saya juga lagi mencoba merutinkan. Pingin lihat nanti hasilnya setelah sebulan. Apakah dalam waktu sebulan, jumlah kata nambah atau kata yang digunakan jadi lebih bagus atau bagaimana. (waktu habis.. tetot).

—-

Seru juga ternyata. Mau mencoba?

A GIRL FROM NOWHERE

Menelan kekalahan itu memang pahit. Untung saja Amira bisa menelan kekalahan seperti menelan segelas jamu daun pepaya yang dalam bebepa menit langsung hilang kepahitannya usai diteguk. Tiga bulan terakhir Amira telah menghabiskan hampir seluruh waktu senggangnya untuk mempersiapkan lomba debat NSDC (National School Debate Competition) yang diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional Kemendikbud.

Selama tiga hari Amira dan timnya telah mempertaruhkan seluruh usahanya. Tapi, ternyata tim yang mereka lawan memang tangguh dan tidak mudah dikalahkan. Mungkin karena itu pula Amira tidak larut dalam kekecewaan. Apalagi, Amira baru mengawali karir debatnya tiga bulan lalu.

Bagi kami sekeluarga lolosnya Amira untuk mewakili Sulsel pada ajang debat tingkat nasional adalah pengalaman yang luar biasa dan tidak kami sangka-sangka. Amira yang berasal dari sekolah biasa-biasa akhirnya dipertemukan dan disatukan dengan teman dari sekolah-sekolah unggulan yang menjadi satu tim debat. Keduanya berasal dari sekolah dengan jumlah siswa yang lolos PTN terbanyak di provinsi ini. Selain itu, dua temannya tersebut juga sudah malang melintang di dunia debat antar SLTA. Sementara Amira, masih sangat unyu dalam debat.

Menyikapi hal ini, sejak awal saya sudah mewanti-wanti, “Amira harus pede, tidak boleh minder. Amira lolos itu berarti Amira memang layak untuk untuk maju bersama mereka.” Kalimat itu selalu saya ulang-ulang setiap kali dia berangkat untuk bertemu dengan timnya.

Sebagaimana judul tulisan ini, Amira adalah a girl from nowhere, seseorang dari antah berantah yang tiba-tiba nongol dalam dunia perdebatan Bahasa Inggris di Sulsel. Kedua temannya bahkan sempat terheran-heran. Dalam hatinya mungkin bertanya-tanya, “Siapa ini anak?” Dua orang teman Amira ternyata sudah saling mengenal karena sering bertemu dalam lomba debat Boleh dibilang mereka juga mengenal siapa saja pemain-pemain debat di Sulsel, termasuk siapa saja yang menjadi best speaker-nya.

Lha Amira? Tidak pernah dijumpai wajahnya dan tidak pernah terdengar namanya dalam dunia perdebatan antar SMA di Sulsel. Nama sekolahnya pun tak pernah terdengar dalam kancah kompetisi debat. Dari kedua temannya ini Amira baru tahu bahwa lomba debat sering diselenggarakan di Makassar. Malahan, sekolah kedua teman Amira adalah musuh bebuyutan dalam hal debat. Sementara Amira, jangankan ikut, informasi tentang lomba-lomba tersebut tidak sampai kepadanya.

Begitulah nasib siswa yang belajar di sekolah biasa, bukan unggulan. Jangankan fasilitas pendukung, bahkan untuk sekedar informasi saja tidak sampai kepada mereka. Teringat kembali sekitar dua tahun lalu saat Amira akhirnya kami masukkan di sekolah tersebut. Sebagai seseorang yang memahami bagaimana lingkungan sangat berpengaruh terhadap pengembangan kompetensi siswa, kami sejujurnya merasa bersalah dan khawatir. Saat itu kami memang salah strategi dalam memilih jalur pendaftaran sekolah.

Tidak ada pilihan lain. Ya sudah, terima takdir. Di sisi lain, menyadari posisi Amira, ada satu hal yang perlu kami lakukan. Kalau lingkungan tidak mendukung, mengobarkan semangat belajarnya dari dalam ada satu-satunya langkah yang bisa ditempuh untuk mengembangkan potensinya. Semangat itu selalu kami ulang-ulang hingga akhirnya Amira berubah menjadi seseorang yang rajin belajar, sangat berbeda dengan masa SMP yang setiap memegan buku bisa dipastikan lima menit kemudian langsung terlelap.

Lolosnya Amira untuk mewakili Sulsel ditingkat nasional, apa pun hasilnya, adalah bagian dari jalan hidupnya yang tidak pernah kami sangka-sangka.

Fakta bahwa Amira tidak pernah satu kali pun mengikuti lomba debat menjadikan coach-nya, yang akan membimbing ketiga siswa ini bertarung di tingkat nasional, terheran-heran. Kok bisa lolos ini anak. Sebaliknya, satu anak bimbingannya yang sering menjuarai lomba malah tidak berhasil masuk mewakili provinsi.

Di sisi lain, dia juga berpikir keras bagaimana membimbing pemula seperti Amira. Dari sisi kemampuan speaking memang tidak masalah. Tapi, untuk memiliki kemampuan debat yang mumpuni butuh pemahaman yang baik tentang teknik dan strategi, termasuk pengetahuan yang luas tentang topik yang diperdebatkan.

Lolosnya Amira, waktu itu, hanya berbekal mempelajari bagaimana para pemenang debat membangun argumen melalui youtube. Itu saja, sembari menerka topik apa yang nantinya akan diperlombakan untuk selanjutnya mempelajari argumen-argumen yang bisa menguatkan pendapatnya.

Untung saja, kedua rekannya dan juga coach-nya baik dan memahami kondisinya yang minim pengalaman. Sadar akan diri sendiri, Amira juga tidak ingin menjadi beban bagi tim. Jangan sampai karena dia, tim kalah. Selama tiga bulan ini, dua kali dalam seminggu mereka bertiga mendapatkan pelatihan intensif. Setiap pulang ke rumah dia tampak ceria, meski kadang-kadang enggan bercerita pengalamannya hari itu. Dari ceritanya banyak progress yang dia capai. Pertemuan terakhir dengan coach, Amira mengatakan dengan berbinar-binar bahwa coach-nya mengatakan, “You improved a a lot.”

Kalau pada akhirnya dia kalah, dia kalah dengan puas karena telah mencurahkan sepenuh waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga dia dapat memberikan terbaik dari dirinya untuk tim. Saat ini Amira masih belum bisa move on. Bukan…bukan move on dari kekalahan, tapi dari kebersamaan dengan dua temannya selama menjalani caaching. Satu lagi, move on dari sekolah temannya yang membuat dia shock culture.

Hari pertama memasuki sekolah swasta favorit di Makassar yang menjadi basecamp tim debatnya Amira sudah dibuat takjub begitu memasuki gerbang. “Shock Culture saya,” begitu serunya dengan mata terbuk lebar sambal menggeleng-gelengkan kepalanya. “Perpustakaannya to, weeeh enak sekali ruangannya. Luaaas. Baru banyak bukunya. Siapa yang tidak betah belajar di sana.” Dia lanjutkan lagi, “Itu to kamar mandinya bersih sekali, lebih bersih dari MPS (SD-nya sewaktu di negeri sebelah), benar-benar shock culture saya.”

Kini dia harus kembali ke dunia nyata, bersiap menghadapi kompetisi lain yang sangat penting dalam hidupnya, mendapatkan PTN tahun depan. Sudah ya nak, intermezonya sudah usai. Tenang saja. Nanti akan ada kompetisi debat lagi saat kamu sudah memasuki perguruan tinggi yang tentu akan lebih seru dengan persiapanmu yang lebih matang.

Membangun Bonding dengan Film

Beberapa hari lalu Ayla memasuki usianya yang ke-13, angka yang menunjukkan bahwa dia telah memasuki gerbang teenagers. Resmi sudah dia menjadi remaja. Dia begitu menanti angka itu tiba dalam hidupnya. Dan tepat di hari ulang tahunnya, dia mengatakan, “Jadi saya bisa nonton film 13+ tanpa harus minta ijin?”

Pertanyaan yang terlihat sederhana dan lucu, tapi membuat saya lega karena mengindikasikan selama ini dia mematuhi aturan menonton sesuai dengan usianya.

Beberapa film usia 13+ memang pernah dia saksikan sebelum syarat umur terpenuhi. Ijin dikeluarkan setelah kami yakin film tersebut cukup aman untuk ditonton, meski negosiasinya cukup alot. Film tersebut memang ngehits sehingga dia sangat ingin menyaksikan.  Sementara kakaknya senyum-senyum saja karena lolos screening usia.

Ayla mencoba meyakinkan bahwa tidak ada adegan yang inappropriate dalam film. Tapi, kami juga tidak mempercayainya begitu saja karena dia juga tidak tahu persis. Kami harus mencari informasi  dulu sebelum ijin dikeluarkan. Tidak lupa, kami juga minta pendapat kakaknya. Akhirnya kami mengijinkannya dan jadilah mereka menikmati sister bonding time berdua di bioskop.

Sang kakak memang sering bercerita tentang film-film untuk teenagers yang sudah dia tonton. Jelas, ini membuat adiknya iri. Di sisi lain, dia juga tidak mau melanggar aturan batas usia.

Sempat muncul kekhawatiran saat dulu memutuskan berlangganan aplikasi streaming. Jangan-jangan tanpa sepengetahuan kami anak-anak menonton film yang tidak sesuai usianya. Untuk menjawab kecurigaan ini, biasanya sambil ngobrol di meja makan saya tanyakan bagaimana alur cerita salah satu film 13+. Kalau dia menjawab, “Tidak tau, kan saya tidak nonton,” berarti kondisi masih aman terkendali.

Walau sekarang usianya sudah memenuhi, tetap saja kami tidak bisa ngeculke atau membebaskannya menonton film begitu saja. Tapi, melarang pun juga bukan solusi yang baik. Jika itu yang kami lakukan, bisa jadi konflik antara orang tua dan anak.

Saya sendiri berpendapat bahwa menonton film itu penting untuk remaja. Setidaknya hal itu bisa jadi media komunikasi yang efektif dengan teman-temannya. Bukankah film adalah topik yang asik untuk dibahas, apalagi bagi para remaja? Tentu, pendapat ini didasarkan pada pengalaman saya yang tidak memiliki banyak referensi film. Alhasil, saya biasanya hanya terdiam ketika orang-orang membincangkan film. Mungkin ini pula alasan mereka merayu kami untuk berlangganan streaming film. Toh, mereka juga terlihat tampak begitu akur sekali setiap kali mendiskusikan film-film yang mereka tonton. Film sepertinya cukup efektif untuk membangun bonding di antara mereka.  

Lalu, bagaimana meredakan kehawatiran kalau mereka menonton film yang meski sesuai usia tapi mungkin ada adagen yang tidak selayaknya mereka lihat? Seperti sebelumnya, kami akan memanfaatkan waktu ngobrol di meja makan sebagai tempat untuk mendiskusikan film. Kami juga dipaksa untuk setidaknya menggoogle resensi-resensinya. Kalau ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian, setidaknya kami bisa mengarahkannya.

Saya sendiri bukanlah tipe penonton film yang baik, apalagi genre yang disukai anak-anak sangat bertolak belakang dengan yang biasa saya nikmati. Saya suka drama keluarga, mereka suka action dan fantasi.

Beberapa hari ini, kakaknya terus-terusan membujuk saya untuk menonton salah satu film favoritnya. Sejujurnya saya kurang tertarik. Sempat saya tanyakan mengapa dia bergitu berharap dia ingin sekali saya menonton film tersebut. Katanya, so you will see how creative the team is. Dia juga menambahkan, nanti biar bunda juga bisa diskusi. Oh, ok kalau begitu. Selama ini saya tidak pernah nimbrung kalau mereka sudah asik mengobrol film, hanya sebagai pengamat dan pendengar sambil sesekali bertanya.

Ya, dari diskusi di meja makan saya memang berharap mereka bercerita tentang film yang mereka tonton, termasuk isu-isu sensitif yang terselip. Bagi kami hal ini sekaligus bisa jadi sarana untuk melakukan kontrol secara halus. Dari film yang mereka tonton juga bisa jadi media pengembangan literasi dengan mensyaratkan mereka menulis review.

NILAI RAPOR CERMINKAN KEMAMPUAN?

Beberapa hari lalu teman sekamar saya menata rak buku yang sudah mulai tampak tak beraturan. Beberapa buku harus diikhlaskan untuk memberi ruang pada buku-buku yang tidak kebagian tempat. Sayang sebenarnya karena setiap buku memiliki ceritanya sendiri. Tapi, kami tidak ingin mendzolimi rak buku dengan bebannya yang semakin berat. Beberapa buku memang tidak akan kami buka-buka lagi karena sudah tidak relevan.

Dari bongkar-bongkar rak, saya mendapat harta karun yang sudah tersimpan selama empat belas tahun. Harta karun yang saya maksud adalah lembaran-lembaran esai yang saya serahkan kepada dosen sebagai tugas kuliah. Bukan esainya yang menjadi perhatian saya, tapi komentar dosen dan nilai yang terpampang di kertas tersebut.

Saya baca satu persatu lembaran penilaian esai. Sesekali tersenyum, tapi lebih sering saya shock mendapati komentar-komentar dosen. Saya membayangkan, kalau sekarang saja sentakan itu masih terasa, gimana dulu ya. Sepertinya, saat itu mata saya langsung nanar menatap tulisan tangan tak tertulis rapi tapi pesannya dapat saya tangkap, juga angka yang tertera di sana sangat jelas. Sepertinya, langkah saya juga langsung gontai, lemas seperti prajurit yang kalah perang.

Bukan apanya, saya selalu serius menggarap tugas-tugas. Setidaknya saya selalu berupaya mulai mengerjakannya tiga minggu sebelum tenggat waktu yang ditentukan tiba. Butuh waktu yang panjang buat saya untuk menghasilkan esai seribuan kata, mulai dari mengumpulkan literature, memahami, lalu, mengendapkan di kepala, lalu menuliskan hasil pemikiran ke dalam tulisan. Saya juga menargetkan tugas harus bisa saya selesaikan dua hari sebelum submit. Waktu itu Amira masih bayi dan saya harus mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Bisa saja dia rewel satu hari menjelang submit. Kalau saya tidak mempersiapkan, saya tidak bisa mengumpulkan tugas tepat waktu.

Saya juga selalu berusaha menyempatkan diri menemui academic skill advisor yang akan memeriksa tulisan saya dari sisi grammar dan untuk memastikan esai saya sudah menjawab pertanyaan yang diharapkan dosen. Nyatanya, nilai saya sulit beranjak dari angka 65/100, bahkan pernah menyentuh angka 55/100.

Butuh waktu untuk menenangkan diri dan memacu kembali semangat hingga akhirnya nilai pun mulai beranjak naik, meski tidak terlalu tinggi kenaikannya. Dua atau tiga pernah menapatkan angka di atas 80, meski ada yang mendapatkan nilai dengan rentang 60-70. Setelah saya ingat-ingat, untuk mendapatkan angka 80 usaha yang saya curahkan memang jauh lebih keras.

Tapi, berapa pun nilai yang saya dapatkan, saya ikhlas dan puas. Ya memang nilai seperti itulah yang pantas untuk esai yang saya hasilkan. Angka yang dituliskan oleh dosen memang menggambarkan kualitas esai saya.

Simpulan ini saya dapatkan dari komentar dosen, karena mereka sangat teliti dalam memeriksa tulisan saya yang tampak dari catatan-catatan di beberapa paragraf yang menerangkan di mana titik lemah, atau sebaliknya memberikan apresiasi jika ada gagasan saya yang dianggap bagus. Jadi, yo wis dieklasno wae.

Hal yang sama juga terjadi pada Amira dan Ayla saat mereka bersekolah SD di negeri sebelah beberapa tahun silam. Bisa dibilang nilai rapornya rata, C semua dari semester ke semester. Kalaupun ada B, paling hanya ada satu atau dua. Tidak pernah sekalipun mendapatkan nilai A.

Kalau saya ingat kembali, memang saat itu saya tidak cukup memiliki waktu untuk mendampingi mereka belajar. Selama mereka merasa nyaman di sekolah, menurut saya semuanya aman. Dari narasi nilai-nilai di rapor, sepertinya semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.  Toh, setiap kali ada sesi pertemuan guru-ortu, komentar gurunya juga positif.

Sesekali saya kepo dengan nilai teman-temannya. Sistem pendidikan di sana memang tidak mengenal ranking, jadi saya tidak bisa melihat apakah Amira dan Ayla tertinggal dibanding dengan teman-temannya. Mungkin ini mindset yang sulit dilepaskan karena terbiasa dengan penilaian berbasis ranking. Tapi, rasa kepo saya sebenarnya lebih didasari oleh keingintahuan kondisi pembelajaran mereka agar saya mendapatkan informasi sisi mana yang harus saya perkuat.

Saya mencoba menyalurkan kekepoan saya dengan menanyakan kepada Amira bagaimana nilai teman-temannya. Dia menyebutkan nilai salah satu temannya, katanya nilai temannya ini cukup bagus. Mungkin karena akrab makanya Amira tahu persis nilai temannya yang satu ini. Usut punya usut, setelah saya tanya kebiasaan temannya memang wajar kalau dia mendapatkan nilai yang bagus. Dari sisi aktivitas bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas, juga dari sisi hasil test literasinya, teman Amira ini memang layak mendapatkan nilai yang sepadan. Ok kalau begitu.

Cerita soal nilai berlanjut ketika kembali ke negeri sendiri. Sebagai siswa baru, saya sudah mempersiapkan diri kalau nilai anak-anak bakal jeblog. Mereka butuh adaptasi sistem pembelajaran, selain juga dari sisi bahasa. Tapi, saya justru di buat terkejut saat mendapati nilai mereka berdua justru bagus-bagus. Amira dan Ayla juga tak kalah heran, kok bisa bagus. Rata-rata nilainya di atas 80. Sebaliknya, tidak ada satu pun yang di bawah 80. Wah tidak bener ini.

Sejak saat itu, saya menanamkan pada Amira dan Ayla untuk tidak mempercayai nilai-nilai di rapornya. Sejujurnya, saya lebih ikhlas jika mereka mendapatkan nilai rendah jika memang sesuai dengan kemampuannya. Dengan nilai-nilai yang tinggi, tapi meragukan, sulit bagi saya untuk melihat kemampuan riil mereka. Saya juga khawatir nilai-nilai tersebut justru melengahkan mereka karena tidak sesuai dengan kemmpuan. Setiap kali mereka memamerkan nilai rapornya, saya selalu menanyakan balik, apakah nilai tersebut sesuai dengan kemampuan mereka.

Seingat saya, dulu sewaktu masih di bangku sekolah, untuk mendapatkan nilai 8 dengan skala 10 saja saya sudah merasa kesusahan sekali. Nilai 6 dan 7 adalah nilai yang sering saya dapatkan. Di SD malah saya pernah mendapatkan nilai 6 untuk semua mata pelajaran, kecuali agama yang mendapat angka 9 karena hafalan surat saya lebih banyak dibanding teman-teman. Maklum, waktu itu saya baru pindah dari madrasah ke SD Negeri. Saya juga pernah mendapatkan nilai 5 di rapor untuk matematika saat di SD. Begitu juga ketika SMA, nilai biologi saya langganan di angka lima. Dengan nilai-nilai di rapor, saya dan orang tua saya bisa menilai kemampuan penguasaan bidang studi mana yang baik dan mana yang kurang.

Setelah saya telusur, ternyata memang ada perubahan metode penilaian yang sudah berlangsung sejak diterapkannya kurikulum 13. Dengan adanya KKM, Kriteria Ketuntasan Minimal, membuat nilai-nilai melonjak drastis. KKM ini merupakan kriteria persyaratan minimal penguasaan materi pelajaran siswa yang ditentukan oleh sekolah. Siswa diharapkan mendapatkan nilai di atas KKM ini. Kalau saya cermati KKM sekolah dua anak saya, memang tinggi-tinggi, tidak ada angka 70, apalagi 50. Tidak mengherankan kalau nilai anak-anak melesat jauh.

Penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud tahun 2020 dengan judul Dampak Regulasi Terhadap Peningkatan Mutu Pembelajaran mengonfirmasi kecurigaan saya tentang kenaikan nilai ini. Memang, banyak kendala yang dihadapi dalam menerapkan KKM ini. FGD yang dilakukan di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Kalimantan Utara menunjukkan bahwa hanya sedkit peserta didik yang mampu melampai nilai KKM walaupun sudah diberikan kesempatan untuk remedial. Akhirnya guru terpaksa harus “mengatrol” nilai siswa.

Bagi guru, ini menjadi dilemma karena harus memberikan nilai yang tidak seharusnya. Kalau kata kerabat saya yang seorang guru, “Harus memperbanyak baca istighfar.” Sebaliknya, bagi siswa bisa membuat mereka menganggap enteng pelajaran karena dia akan tetap mendapatkan nilai yang bagus tanpa harus belajar keras.

Informasi melegakan saya dapatkan dari laman kemendikbud yang menjelaskan bahwa penerapan kurikulum merdeka tidak lagi menggunakan KKM sebagai dasar untuk memberikan nilai kepada anak. Kabarnya sudah ada sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum ini sebagai pilot project. Bagi saya, tentu ini harapan baru.

Sering saya mendapati pernyataan bahwa nilai tidak menggambarkan kemampuan siswa. Sejujurnya saya kurang sepakat. Dalam kondisi ideal, nilai seharusnya mampu merepresentasikan kemampuan siswa, sebagaimana nilai esai-esai saya yang jeblog menggambarkan kemampuan saya dalam menulis masih banyak yang harus di tingkatkan. Demikian halnya dulu ketika anak-anak saya mendapatkan nilai C, ya memang begitu kemampuannya.

Semoga penerapan kurikulum merdeka bisa memenuhi harapan sehingga saya tak perlu lagi apatis setiap kali anak-anak memperlihatkan nilai-nilai mereka.

DEBAT

Jum’at pagi 6 Mei 2022 masih terhitung libur lebaran, tapi Amira sudah mendapat pesan melalui WA dari gurunya. Katanya, hari Senin dia diminta untuk mengikuti debat dalam bahasa Inggris. Pemberitahuan yang sangat mendadak tersebut mau tidak mau membuatnya panik. Di sisi lain, dia juga tidak mau menolak tawaran tersebut.

Selama bersekolah, belum pernah dia mengikuti kompetisi debat. Sehingga saya pun langsung ngojok-ojoki atau memprovokasi agar dia mau mengambil kesempatan itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Tahun depan sudah tidak mungkin karena dia sudah akan fokus mempersiapkan ujian masuk PTN.

Dengan keterbatasan informasi tentang teknis lomba dan dalam keterbatasan waktu persiapan, Amira menyatakan kesediaannya. Yang penting dicoba, apa pun hasilnya. Setidaknya dia akan mendapatkan pengalaman baru yang mungkin kelak akan berguna baginya. Itu prinsip yang selalu kami tanamkan.

Menurut informasi yang sudah dia dapatkan, topik debatnya sudah ditentukan. Ok, aman kalau begitu. Tinggal mempersiapkan materi. Di sisi lain, menurut keterangan yang dia dapatkan juga, informasi tersebut masih simpang siur. Jadi, mau tidak mau harus mengantisipasi dengan mempersiapkan beragam topik.

Akhir lebaran yang sedianya akan digunakan untuk bersantai-santai, justru membuatnya begitu sibuk. Tidak hanya dia, saya juga. Paling tidak, saya harus siap menjadi teman debatnya untuk latihan, sekaligus menguji argumen-argumen yang dia ajukan. Hari H pun tiba, Amira berangkat dengn penuh semangat.

Di rumah saya hanya berharap semoga dia menikmati pengalaman barunya. Sembari menunggu dia pulang dan bercerita bagaimana pengalamannya, sesekali saya WA menanyakan bagaimana debatnya, kepo. Tapi, saya juga mengingatkan diri sendiri supaya memberikan kesempatan padanya untuk menikmati harinya.

Sore pun tiba, Amira tiba di rumah. Dia tidak masuk tiga besar lomba debat yang diselenggarakan Dinas Pendidikan setempat dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tapi wajahnya tampak sumringah seperti ingin meluapkan kebahagiaannya hari itu.

Bagi Amira yang bersekolah di SMA biasa-biasa dan bukan unggulan, mengikuti debat memberikan pengalaman yang sulit didapatkan oleh teman-temannya di sekolah. Di kompetisi tersebut Amira bertemu dan berkenalan dengan siswa-siswa dari sekolah lain yang penuh semangat. Malah dia sempat berbagi nomor hape dengan para pemenang. Hingga menjelang tidur dia tak habis-habisnya menceritakan pengalaman dan tak lupa memperlihatkan foto-fotonya bersama teman-teman barunya.

Usai mengikuti lomba, dua hari berikutnya Amira diminta untuk mengikuti lomba debat lainnya. Meski tidak berhasil memenangkan debat pertaman, capaian Amira cukup bisa membuat bangga sekolah karena dalam sejarahnya belum pernah ada siswa yang pernah diikutkan.

Sebagaimana pengalaman sebelumnya, meski dia sangat senang dengan tawaran tersebut, dia masih kurang yakin. Dan seperti biasa, kami hanya mengatakan kembali, ikut saja. Tentu, “ikut saja” ini membawa konsekuensi untuk Amira dan saya. Bagi Amira, dia harus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk persiapan. Tidak mungkin mengikuti lomba tanpa persiapan. Saya sendiri sudah bisa mengukur konsekuensinya.

Mengikuti lomba debat tidak hanya butuh kemampuan Bahasa Inggris. Jauh lebih dari pada itu yang perlu dipersiapkan adalah wawasan yang luas. Bisa bahasa inggris, tanpa paham substansi yang didebatkan, dia tidak akan bisa berkata-kata. Tentu ini menjadi tantangan bagi Amira selama ini dia lebih banyak disibukkan dengan pelajaran sekolah. Untung saja, dia masih memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan semuanya.

Jadilah setiap hari dia mengalokasikan waktu untuk mempelajari materi-materi debat. Saya juga ikut belajar. Tugas saya menjadi patner debat yang menyangkal argumen-argumennya, atau sebaliknya memberikan saran apa yang perlu dia tambahkan.

Idealnya, tugas saya ini dilakukan oleh sekolah, atau setidaknya sekolah mau mencarikan mentor untuk mempersiapkan diri. Tapi, sebagaimana yang saya sampaikan, sekolah Amira bukan sekolah unggulan dengan segudang prestasi dan memiliki beragam kegiatan ekskul yang mendukung. Tempat Amira belajar adalah sekolah yang biasa-biasa saja.

Ya sudah, yang penting dinikmati saja. Toh, saya juga bisa belajar banyak dari proses ini, termasuk bagaimana membiasakan tradisi debat di rumah. Debat yang saya maksud di sini jelas bukan debat kusir apalagi debat ala medsos yang penuh dengan sumpah serapah. Alih-alih menyanggah argumen, yang terjadi malah menyerang personal. Amira sendiri juga mulai menikmati prosesnya. Setiap hari dia mau meluangkan waktu mempelajari berbagai topik. Bagi kami itu hikmah yang tak pernah disangka-sangka.

Tradisi debat akademik seharusnya ditanamkan di sekolah sejak dini. Mungkin di sekolah-sekolah yang bagus sudah di terapkan. Dulu sewaktu di negeri sebelah Amira sempat mendapatkan teorinya meski baru sebatas menulis opinion writing sejak di kelas 2 SD. Topiknya masih sangat sederhana. Di antaranya: Which one is better, books or TV? Which one do you choose, cat or dog? Should homework be banned? Dari topik-topik sederhana tersebut, mereka di minta untuk memilih. Siswa juga diminta untuk memberikan alasan mengapa memilih yang satu dan bukan yang lain. Semakin meningkat grade-nya, topik yang dibahas juga makin meningkat kesulitannya.

Tugas-tugas essay saya dulu juga semacam itu, menuntut mahasiswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan tulisan dengan didukung oleh argument dan bukti-bukti penguat. Semakin kuat argument yang dibangun, semakin bagus nilai yang akan didapat, tak peduli apakah kita setuju atau tidak. Guru atau dosen tidak mempermasalahkan posisi kita di mana, yang penting argument yang dibangun didukung dengan bukti-bukti dan referensi yang menguatkan.

Membiasakan debat seperti ini menurut saya sangat penting untuk membangun critical thinking anak. Di era di mana informasi begitu membludak sangat sulit memilah dan memilah informasi yang layak kita percayai. Apalagi, begitu besarnya peran algoritma sosial media membuat kita disuguhi oleh informasi yang sudah tersaji sesuai dengan preferensi sering kita pilih. Akibatnya, informasi yang diterima cenderung homogen, tidak ada counter argumennya. Hasilnya, akan sulit bagi seseorang untuk melihat apalagi memahami dan menghargai pendapat tetangga sebelah karena asupan informasi hanya dari satu sisi.

Dari proses persiapan yang dijalani Amira beberapa hari ini, teknik debat ini sangat menarik untuk diterapkan. Idealnya sih di sekolah, tapi kalau sekolah tidak bisa memfasilitasi, mungkin kita bisa memulainya dari rumah.

Datanglah..

Tiga hari lalu, aku melihatmu dalam mimpi

menjelang pagi

Hanya sebentar,

Tapi, kau mendatangiku dalam kesempurnaan

kesempurnaan sebuah mimpi

yang ingin aku ikat dan simpan

Aku melihatmu dalam sebuah

acara, lalu aku mencari-carimu

Aku cari kesana kemari

lalu

Tiba-tiba kau datang

dengan baju yang sangat rapi

Ya, aku ingat sekali,

kau mengenakan jaket kakakmu saat dia masih bayi

Jaket wool kecoklatan dengan ornamen hijau.

: Kau datang

dengan membawa senyum

lalu menciumku

Aku masih ingat senyum itu,

karena aku berjuang sekuat tenaga

untuk terus menyimpannya

dalam pikiranku.

Terima kasih sudah mengunjungiku, Nak..

17 Februari 2022

THE BEST QASAS

Pernah membaca Surah Yusuf? Pastilah ya, apalagi buat teman-teman yang setiap hari mengalokasikan waktu untuk tilawah tentu pernah, bahkan beberapa kali. Alhamdulillah, saya juga begitu. Pernah. Hanya saja, baru akhir-akhir ini saya membaca terjemahannya dan mencoba memahami pesan-pesan dalam surah tersebut.

Dalam surah ini disebutkan bahwa kisah Nabi Yusuf adalah kisah yang paling baik (ayat 3). Saya pernah membacanya tentang hal ini. Sempat muncul pertanyaan naif, mengapa disebut kisah paling baik ya?

Di masa kecil Nabi Yusuf dimasukkan ke dalam sumur oleh saudaranya, lalu dibawa oleh kafilah dan dijual sebagai budak kepada salah seorang pejabat di Mesir, lalu digoda oleh istri al aziz, dimasukkan penjara, kemudian endingnya menjadi orang yang dihormati, dan dipertemukan kembali dengan ayahnya. Bukankah banyak kisah-kisah pedih dan dramatis yang berakhir kebahagiaan? Apalagi kalau kita sandingkan dengan cerita-cerita hari ini, tak hanya dalam novel atau pun film, tapi juga banyak kisah yang sepertinya lebih menarik dan inspiratif yang terjadi di dunia nyata. Lalu, mengapa Allah mengatakan bahwa kisah Nabi Yusuf sebagai kisah yang paling baik?

Lama pertanyaan tersebut bercokol di kepala, hingga akhirnya saya dapatkan penjelasan yang mencerahkan dari video kajian tafsir Nouman Ali Khan yang berjudul, Surah Yusuf – The Best Qasas. Dalam memahami kisah dalam Al Qur’an ternyata tidak bisa disamakan dengan ketika kita membaca kisah dalam cerpen, novel, legenda, sejarah, ataupun dalam senetron dan film. Ketika kita membaca kisah fiksi, kisah nyata ataupun sejarah biasanya seseorang akan berfokus pada keinginan untuk mengetahui jalan ceritanya, seperti apa sih alurnya, endingnya gimana, dan sebangsanya. Setelah tahu ya sudah, apa yang kita baca dan saksikan tersebut melekat menjadi pengetahuan di kepala. Sebagian mungkin menginsiprasi dan membangkitkan semangat, tetapi yang lainnya kita akan terlupa dengan sendirinya.  

Guidance, bukan Curiosity

Berbeda dengan Al Qur’an, kisah-kisah yang dicertakan dalam Al Quran bukan disampaikan untuk sekedar menjadi pengetahuan, tetapi untuk menjadi pentunjuk atau guidance. Kalau hanya pengetahuan yang menjadi tujuan, setelah tahu ya sudah. Sama halnya dengan ketika kita membaca novel atau menonton film, setelah mengetahui jalan ceritanya, kita biasanya tidak akan mengulang-ulang lagi kisahnya. Mungkin kita akan mengulang membaca atau menyaksikannya dua atau tiga kali. Kalaupun itu buku atau film favorit, saya tidak yakin kita akan mengulang kisahnya sampai lebih dari sepuluh kali. Kalau itu yang kita lakukan, yang ada hanyalah membuang-buang waktu.

Berbeda dengan kisah dalam Al Qur’an. Tujuan kisah dalam Al Qur’an, sebagaimana penjelasan Nouman Ali Khan, bukan untuk memuaskan curiosity, bukan untuk memenuhi rasa penasaran, tapi untuk mendapatkan petunjuk, guidance. Jadi, meski berulang kali dibaca, kita akan selalu mendapatkan hal baru seolah-olah belum pernah membacanya sama sekali. Ini saya buktikan sendiri.

Bagaimana tidak, untuk menjelaskan tafsir Surah Yusuf yang berjumlah 111 ayat saja, Nouman Ali Khan butuh menjelaskannya dalam 89 episode, dan masing-masing episode berdurasi 37 – 70 menit. Mencerna satu episode saja kita bisa mendapatkan banyak hal baru. Saya sendiri selalu dibuat terpana sehingga banyak mengucapkan, “Oooo, begitu to maksudnya, kok baru nangkep ya,” sambil manggut-manggut.

Sama halnya ketika saya mendapatkan secercah pencerahan tentang the best qasas ini, entah kali keberapa saya sudah membaca terjemahan Surah Yusuf, dan baru mendapati jawaban pertanyaan naif saya kali ini. Biasanya lewat-lewat saja membacanya, bablas tak menyisakan bekas, karena cara saya membaca datar-datar saja tanpa mengkaji makna di balik surah, di balik ayat, dan di balik kata-kata yang digunakan.

Kembali ke topik, mengapa disebut the best qasas? Nouman Ali Khan menggarisbawahi tiga hal: the best of all stories, cerita terbaik dari seluruh cerita yang pernah ada di dunia ini; the best way that it can told, cara penceritaan terbaik; dan the best of the story, terbaik dari suatu cerita. Mari kita lihat satu per satu.

The Best of All Stories and the Best of the Story

Setiap orang punya cerita, setiap orang memiliki kisah, sejak zaman Nabi Adam hingga saat ini. Sejak manusia lahir hingga dipanggil Allah mereka memiliki kisah yang unik, berbeda antara satu dengan yang lain, dari cerita hidup sehari-hari hingga momen-momen terhebat yang dapat diingat sepanjang masa.

Beberapa cerita hebat tersebut dapat kita nikmati hingga saat ini dalam catatan-catatan sejarah. Kisah kejayaan peradaban masa lalu, kisah kehebatan raja-raja, kisah perjuangan para pahlawan, dan lain sebagainya. Dari beberapa kisah yang tercatat tersebut tentu hanya sekelumit cerita, karena penulis sejarah biasanya lebih tertarik membahas peristiwa yang perlu dicatat, yang layak untuk diketahui publik. Hal-hal yang terlihat biasa-biasa umumnya tidak begitu diperhatikan, percakapan remeh temeh dengan keluarga, misalnya, sehingga terlewatkan dari catatan sejarah karena dianggap tidak penting.

Namun, ketika Allah memilih cerita hingga diabadikan dalam Al Qur’an, ada maksud-maksud tertentu. Mengapa cerita ini, dan bukan cerita yang lain yang dipilih, ada tujuan-tujuan mengapa adegan-adegan tertentu yang diabadikan, dan bukan adegan-adegan yang lain.

Dalam kisah Nabi Nuh, misalnya. Nabi Nuh hidup 950 tahun. Selama rentang waktu tersebut banyak hal yang terjadi. Kalau dijadikan novel mungkin bisa puluhan jilid. Apalagi, kisah Nabi Nuh penuh perjuangan, mulai dari bagaimana kaumnya selalu menutup wajah dan memasukkan anak jari ke telinga saat Nabi Nuh berbicara, hingga celaan-celaan ketika Nabi Nuh membuat perahu. Tapi, Al Qur’an tidak mencatat seluruh kisahnya, hanya adegan-adegan tertentu yang dipilih Allah.

Dalam hal ini, Nouman menyatakan, “Allah took it upon Himself to tell us the stories of those that He deemed in His wisdom that we need to know until Judgment Day.”

Allah memilih cerita yang memang perlu untuk kita ketahui sebagai bekal hidup hingga tiba hari kiamat. Pilihan kisah yang diceritakan dalam Al Qur’an didasarkan pada kandungan nilai suatu cerita sehingga mampu menjadi petunjuk bagi umat manusia. Jadi, poin utama yang perlu digaris bawahi adalah petunjuk, bukan kronologi atau alur sebagaimana pemahaman saya sebelumnya sehingga kisah Nabi Yusuf dianggap sebagai the best qasas.

Dalam hal ini Allah memilih kisah Nabi Yusuf sebagai kisah terbaik dari seluruh kisah yang ada di dunia ini. Dari seluruh masa hidupnya, dari lahir hingga wafat, Allah selanjutnya memilih episode-episode yang layak untuk diceritakan kepada umat manusia agar sebagai petunjuk dalam menjalani hidup hingga kelak tiba hari kiamat.

Cara Bercerita

Setelah the best of all stories dan the best of the stories, penjelasan tentang the best qasas menurut Nouman Ali Khan adalah the best way it can be told, atau cara bagaimana suatu kisah diceritakan, the best dari sisi penceritaan. Cara Allah menceritakan kisah dan cara Allah menggambarkan suatu peristiwa adalah cara yang terbaik agar kita dapat mengambil pelajaran hidup darinya.

Dalam hal ini Nouman memberikan langkah menarik agar kita mendapatkan pelajaran dari setiap kisah dalam Al Qur’an. Katanya, ketika kita membaca suatu kisah, berhentilah sejenak dan tanyakan pada diri sendiri, mengapa Allah harus menceritakan kisah ini kepada manusia? Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?

Perlu diingat bahwa seluruh kalimat dan kata dalam Al Qur’an itu ada pas, tepat, tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada kata-kata yang tidak bermanfaat, tidak ada kata-kata lebay, tidak ada kata-kata yang dipilih demi alasan agar terlihat wow. Setiap kata yang dipilih memiliki tujuan tertentu. Hal ini berbeda dengan karya fiksi maupun non fiksi yang biasanya banyak bertaburan bumbu-bumbu supaya tulisan terasa renyah dan enak dinikmati. Malah terkadang kebanyakan bumbu, seperti tulisan iniJ.

Tentang cara bercerita ini, Nouman Ali Khan menggaris bawahi bahwa dalam Surah Yusuf ini Allah bertindak sebagai storyteller. Seorang storyteller paham mana yang harus diceritakan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Step by step, sebagaimana arti dari qasas sendiri adalah mengikuti jejak langkah. Dalam sebuah film, sutradara yang hebat adalah sutradara yang mampu memilah apa yang harus ditampilkan dalam suatu film, dan apa yang tidak perlu. Bahkan sering kita dapati dalam beberapa adegan diskip, tak hanya dalam hitungan hari, tapi diskip beberapa tahun. Seperti, seminggu kemudian, atau malah sepuluh tahun kemudian, dan lain sebagainya.

Hal yang sama juga kita dapati dalam penceritaan Surah Yusuf, mula-mula diceritakan Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, lalu setelah itu ada kesepakatan saudara-saudaranya untuk menyingkirkannya, kemudian setelah terlaksana keinginan mereka, Nabi Yusuf ditemukan kafilah dan dibawa ke Mesir, setelah itu Nabi Yusuf sudah dewasa dan memikat istri al aziz. Allah tidak menceritakan bagaiman kondisi Nabi Yusuf ketika di sumur, apakah dia ketakutan dan berapa hari dia harus menunggu di sumur. Juga bagaimana masa kecil Nabi Yusuf di rumah al aziz tidak diceritakan sama sekali. Bahkan, istri al aziz dan nama saudara-saudara Nabi Yusuf juga tidak disebut.

Mengapa?  

Kembali pada penjelasan awal, karena tujuan penceritaan kisah dalam Al Qur’an bukan untuk memenuhi rasa ingin tahu sebagaimana penceritaan sejarah yang secara detil mencatat nama, waktu, dan lokasi secara jelas. Tapi, tujuan yang utama dari kisah-kisah yang dipilih oleh Allah adalah agar manusia bisa mendapatkan petunjuk sebagai bekal hidup hingga akhir zaman.

*Jika rekans masih penasaran dengan kisah Nabi Yusuf yang super duper keren, langsung saja simak kajian tafsir yang tersedia melimah di kanal video. Untuk tulisan ini saya menggunakan referensi video Nouman Ali Khan:

SABAR

Beberapa hari ini tiba-tiba muncul pertanyaan di kepala, kenapa sih Allah harus memberikan pahala kepada orang-orang yang sabar? Mengapa harus dikasih pahala, bukankah kesabaran tersebut pada akhirnya yang menikmati juga manusia? Katanya, pahalanya tanpa batas pula.

Pertanyaan tersebut muncul saat saya menjalani infus tulang kedua. Saat itu suster yang menangani saya mencoba mengalihkan perhatian saya dengan menanyakan banyak hal. Hal ini penting karena mencari pembuluh vena saya tidak mudah, beberapa kali harus gagal. Jadi ngobrol adalah satu-satunya cara agar saya tetap rileks.

Saat itu dia tanyakan, “Jadi ibu sudah ikhlas ya?” Saya jawab, “Ya, mau gimana lagi, saya tidak ada pilihan lain, marah-marah juga tidak ada gunanya.”

Pertanyaan suster tersebut terus terngiang-ngiang. Iya ya. Dalam kondisi saat ini bagi saya sabar menerima takdir adalah yang terbaik. Ya, dijalani saja.

Tapi, lalu muncul lagi pertanyaan di atas, kalau kesabaran yang saya jalani ini bermanfaat dan menjadi pilihan terbaik bagi saya saat ini, mengapa Allah perku memberikan pahala bagi orang sabar. Dalam bahasa jawanya, sabar-sabar dewe, untung-untung dewe, kok dikei hadiah meneh.

Belum terjawab satu pertanyaan muncul lagi pertanyaan lain, sabar yang seperti apa yang mendapat pahala, apakah seluruh kesabaran berpahala? Pertanyaan yang lebih mendasar lagi, sabar itu sakjane opo sih? Jangan-jangan pemahaman saya tentang sabar tidak sampai pada esensi sabar yang sebenarnya. Jangan-jangan saya sudah geer tapi ternyata bukan kesabaran itu yang dimaksud.

Berbekal pertanyaan tersebut saya mencoba mengulik jawaban melalui mesin pencari dengan mengetikkan kata “makna sabar”. Banyak artikel yang mengulas, tapi masih umum dan belum menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Demikian halnya ketika saya coba cari di kanal video, kajian-kajian tentang sabar kebanyakan tentang ketangguhan seseorang dalam menghadapi ujian atau cobaan.

Lalu, saya coba menambahkan “pdf” pada kata kunci yang saya masukkan ke mesin pencari. Wow, takjub, ternyata banyak kajian dalam jurnal-jurnal, bahkan ada juga skripsi yang mengupas tentang kesabaran. Pemahaman mencerahkan juga saya dapatkan pada video Mufti Menk dan Dr Yasir Qadhi yang mengantarkan saya pada makna sabar yang lebih progresif.

Dari literature yang saya baca, memang benar sabar lebih sering dimaknai secara pasif, bahkan ada yang memaknainya sebagai sebuah kepasrahan, menerima takdir tanpa melakukan sebuah usaha yang keras untuk mengubahnya.
Dalam Al-Qur’an ternyata Allah menyebut kata sabar sebanyak 70 kali, beberapa literatur menyebut lebih. Kalau kita membaca satu per satu ayat-ayat tersebut kita akan mendapati bahwa sabar ditempatkan dalam berbagai konteks.
Sehingga menelusur makna sabar akan lebih mudah diperoleh ketika kita membaca tafsir tentang ayat-ayat kesabaran. Rangkuman keren saya dapatkan dari tulisan Sopyan Hadi dalam Jurnal Madani Volume 1 Nomor 2 Tahun 2018 dengan judul Konsep Sabar dalam Al-Qur’an.

Hadi (2018) mencoba mencari makna sabar dengan menyandingkan tafsir Hamka dan tafsir Al Misbah. Dari jurnal tersebut, sabar tidak hanya dimaknai ketika seseorang mendapatkan musibah, tetapi ada dua kesabaran lain yang tak kalah penting untuk digaris bawahi, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi lwrangan Allah. Kedua hal ini juga disebut oleh Syeh Yasir Qadhi dan Mufti Menk dalam kajiannya tentang sabarl.

Dalam hal menghadapi musibah, Allah memberikam contoh kesabaran Nabi Ayyub yang diuji dengan rasa sait dan Nabi Yakub yang mendapatkan ujan kehilangan Nabi Yusuf hingga kesabarann8ya diabadikan dalam Al Quran sebagai Shabran Jamiil.

Kesbaran dalam ketaatan sangat sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang sangat sederhana adalah shalat. Prestasi saya dalam kesabaran shalat ini sangat buruk, terindikasi dari waktu yang saya gunakan dalam shalat dan surat-surat pendek yang saya pilih. Saya cenderung terburu-buru atau tidak sabar. Sebaliknya, ketika bermedsos saya sangat sabaaaaar sekali sampai lupa waktu.

Contoh lainnya tentu sangat banyak, mulai sabar mendidik anak, sabar ketika memasak di dapur, sabar dan tidak grusa-grusu dalam mengambil keputusan, sabar menjaga ucapan agar tidak menyakiti hati orang lain, sabar dalam menginisiasi perubahan, dan banyak lagi.

Boleh dibilang daribangun pagi kita sudah dihadapkan pada masalah kesabaran, mulai sabar shalat tahajud, sabar menghadapi anak, sabar menghadapi atasan di kantor, sabar beberes rumah hingga sabar membaca surat-surat yang dianjurkan sebelum tidur.

Mungkin karena itulah pahala sabar tanpa batas.

Wallahu A’lam

BERBAGILAH ILMU

Berbagi ilmu itu ternyata membuka kunci-kunci pintu ilmu lainnya. Begitulah yang saya dapatkan dari sharing Bincang STAN 93 tadi malam. Beberapa mingggu sebelumnya seorang kawan meminta saya untuk menjadi narsum kegiatan alumni yang dilaksanakan setiap Rabu malam. Sewaktu diminta Dikky Zulfikar jujur saya bingung tema apa yang akan saya bawakan. Kalau untuk yang serius saya belum sanggup. Tiba-tiba saja muncul ide sharing menulis bersama ananda. Awalnya saya hanya ingin berbagi pengalaman saja terkait bagaimana agar anak senang menulis. Tapi, lama-kelamaan bermunculan ide lain yang bisa dikaitkan dengan tema ini.

Saya memang mempersiapkan bahan paparan jauh hari sebelumnya. Kebetulan saya lagi seneng-senengnya belajar desain slide. Jadi sekalian saja menerapkan ilmu yang saya dapatkan dari akun IG para desainer grafis. Bisa dibilang setiap ada waktu saya siapkan paparan tersebut. Mengasyikkan ternyata, memadukan narasi dengan desain slide. Dari proses tersebut yang awalnya hanya ingin berbagi pangalaman saya justru tersesat di jurnal ilmiah.

Tiba-tiba muncul kata plagiarisme di kepala. Wah ya, sepertinya menarik juga digali apakah ada hubungannya antara banyaknya mahasiswa yang copy paste tugas-tugas penulisan makalah atau paper dengn kebiasaan menulis sejak dini.

Benar saja. Setelah dicermati, meski belum begitu mendalam, ternyata membangun literasi sejak dini itu merupakan salah satu cara untuk mencegah plagiat, sebagaimana dinyatakan dalam buku Strategi Hindari Plagiarism yang ditulis oleh Etty Indiarti seorang doctor di bidang antropologi yang telah menulis 20 buku.

Pemerintah memang telah mengeluarkan aturan terkait hal ini, yaitu PERMENDIKNAS NOMOR 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Langkah-langkah pencegahan di antaranya adalah dengan mendiseminasikan kode etik agar tercipta budaya antiplagiat, melampirkan pernyataan bahwa karya ilmiah bebas plagiat dan mengunggah secara elektronik karya ilmiah.

Untuk penanggulangannya diterapkan sanksi jika terbukti melanggar di antaranya berupa teguran, peringatan tertulis, pembatalan nilai hingga pembatalan ijazah apabila mahasiswa teah lulus dari suatu program. Oya, aturan ini tidak hanya berlaku untuk mahasiswa, tapi juga dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang terbukti melakukan plagiat.

Sudah efektifkah aturan tersebut? Saya belum sempat menelusuri.

Terlepas dari upaya tersebut, dua hari lalu saya saya menemukan plagiarism map yang dibuat oleh Exsico yang merupakan salah satu penyedia layanan pengecekan originalitas sebuah dokumen yang berlokasi di Lithuania. Dari hasil evaluasi terhadap dokumen-dokumen yang diunggah melalui layanannya didapatlah peta negara dengan skor plagiatnya. Seperti yang sudah saya prediksi negara kita tercinta mendapatkan warna merah sebagai pertanda level plagiat yang tinggi, yaitu 29.8.  

Memprihatinkan meski saya ada beberapa hal yang bisa diperdebatkan dari peta ini, apa mungkin Kamerun, Madagaskar, Syiria memiliki prestasi yang spektakuler sehingga tingkat plagiasinya lebih baik dibandingkan Perancis dan Inggris? Atau Thailand, mengapa negara ini bisa begitu hijau dengan level plagiasi rendah di antara negara Asia lainnya. Apa iya, prestasi kita lebih buruk dibanding negara-negara di afrika atau amerika latin? Menarik untuk ditelusur lebih jauh. Jika memang demikian, apa kebijakan pendidikan yang diterapkan negara tersebut sehingga mampu menurunkan level plagiasi? Atau, hasil evaluasinya yang bermasalah?

Menarik ya, dari niat berbagi tentang pengalaman ternyata bisa membuka kunci-kunci pintu ilmu lain.

Unduh materi:

Menuju Jalan Tuhan

Bagi saya video Nouman Ali Khan yang berjudul Road to Change produksi FreeQuranEducation sangat spektakuler. Singkat, padat, tapi pesannya mengena. Video berdurasi sepuluh menit tersebut mengulas penggalan ayat ke-125 surat An Nahl. Setelah saya telusur ternyata ayat tersebut banyak dirujuk dalam pembahasan tentang dakwah. 

Etika Mengajak

Nouman Ali Khan memulainya dengan ilustrasi ketika kita ingin mengundang seseorang untuk makan malam. Sebagaimana layaknya undangan, tentu kita mengajak seseorang dengan niat yang baik, pilihan kata yang baik, dan dengan keramahan. Sebaliknya, kita tidak akan mengajak seseorang dengan nada amarah, kebencian, ataupun gertakan. Sudah pasti, jika itu yang kita lakukan, ajakan kita akan langsung ditolak. Bukan sekedar ditolak, tapi bisa jadi menyisakan kejengkelan.

Hal yang sama juga terjadi ketika kita mengajak seseorang di jalan Allah. Ayat ke-125 surat An Nahl, yang dibahas dalam video Nouman, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah.” Nouman, dalam hal ini, menggunakan kata invite yang juga berarti mengajak atau mengundang. Nouman menekankan bahwa dalam Islam, mengajak seseorang harus melibatkan rasa cinta dan hormat sehingga pihak yang diundang bersedia datang.

Jalan Tuhan

Hal menarik selanjutnya adalah ketika Nouman menjelaskan tentang ilaa sabili rabbika, atau kepada jalan Tuhanmu. Biasanya kita mengundang seseorang untuk bertemu di suatu tempat tertentu. Destinasinya jelas, di rumah, di gedung, di restoran atau di kantor. Sebaliknya, dalam ayat ini tujuannya sabiili atau jalan, bukan tujuan akhir. Cukup sampai di jalan sudah dianggap berhasil. Padahal, jalan memiliki panjang yang bisa jadi sangat panjang, kecuali jalan buntu tentunya.

Di sini menggambarkan bahwa perintah Allah dalam surat An Nahl ayat 125 ini tidak meminta manusia untuk sampai pada destinasi atau tujuan akhir, tapi cukup menuju jalan yang akan ditempuh hingga akhir hidupnya. Selama seseorang sudah dan terus berada di jalan tersebut, dalam hal ini sabiili rabbika atau jalan Tuhanmu, maka dia sudah dianggap sukses. Tak peduli seberapa cepat atau lambat dia melalui jalan tersebut, tak peduli seberapa dekat atau seberapa jauh jalan tersebut sudah dilalui, itu bukan persoalan. Kata Nouman, “No one is expected to be in absolute complete perfect submission to Allah without any mistakes.

Dalam hal ini Nouman menggarisbawahi bahwa masing-masing orang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda. Ada yang bisa menempuhnya dengan kecepatan tinggi, ada juga yang hanya mampu berjalan tertatih. Tidak mengapa. Pemahaman tentang hal ini sangat penting dalam memahami dan menjalankan misi dakwah.

Untuk menegaskan hal ini, Nouman mengilustrasikan bagaimana sekelas sahabat pun untuk menerapkan larangan meminum khamr dilakukan secara bertahap. Berdasarkan referensi yang saya dapatkan, bahkan sejak tahapan pertama hingga ayat pelarangan khamr turun membutuhkan waktu 15 tahun. Bayangkan, ini sekelas sahabat lho ya. Kalau kata orang Jawa, perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan sak dek sak nyet. Mengapa? Karena mengubah kebiasaan yang sudah mengakar itu tidak mudah.

Just do it

Hal ini yang harus menjadi pijakan bagi kita ketika mengharapkan seseorang untuk melakukan perubahan. Butuh kesabaran untuk menunggu hasilnya. Bahkan, dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa sesungguhnya Allahlah yang bisa merubah seseorang, bukan perkataan ata sikap kita. Apa yang kita lakukan hanya sekedar menjalankan perintah Allah saja.

Bahkan, Nabi Nuh saja meski diberikan waktu 950 tahun untuk mengajak kaumnya menyembah Allah, hanya beberapa orang yang bersedia. Maka sangatlah mengherankan kalau kita (saya) baru sedikit saja menyeru kebaikan sudah mengharapkan hasil yang muluk-muluk.