Tetaplah Berharap

Kemarin adalah kali ketiga saya menemuinya dan menyampaikan progres selama tiga minggu ini. Alhamdulillah progresnya terasa. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya di mana saya harus berfikir keras tentang rasa yang saya rasakam selama sekian bulan.

Akhir Februari saya salah menyampaikan laporan. Saat itu dengan ceria saya katakan, Alhamdulillah sudah membaik. Lalu, dia memberikan saran, “lanjutkan,” cuma dengan intensitas yang berkurang, seminggu dua kali. Rupanya saya salah. Saya telah tertipu oleh diri sendiri. Rasa yang saya rasakan saat itu bukan karena proses penyembuhan yang sudah mulai menampakkan hasil, tapi karena saya mengonsumsi obat nyeri.

Continue reading “Tetaplah Berharap”

Bagaimana Australia membangun literasi (Bagian 2)?

Rabu pagi 9 Agustus 2015 tak hanya menjadi hari yang menyenangkan untuk anak-anak prep di Moreland Primary School. Tapi, juga saya. Ada hal yang menarik dan mengesankan untuk diceritakan. Prep atau preparation, seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, setara dengan TK B. Namun, secara administratif pengelolaannya ada di tingkat primary school atau SD.

Apa yang terjadi hari itu? Ya, hari itu anak-anak prep belajar tentang ‘Tahu Isi’. Saya sendiri sekedar membantu mendokumentasikan kegiatan yang didukung dua orang tua murid dari Indonesia, mbak Windy Triana dan mbak Ratna Andini.

Begitu musik terdengar, jam 9.00, preppies segera masuk keruangan dan duduk bersila dengan teratur. Mereka terlihat begitau bersemangat melihat apa yang ada di hadapan mereka. Beberapa alat masak, seperti baskom, penggorengan, container berisi sayuran, tepung, dan tahu ada di atas meja.

Continue reading “Bagaimana Australia membangun literasi (Bagian 2)?”

Bagaimana Australia mendorong anak menulis buku?

Sehari setelah posting tentang gerakan penerjemahan di masa the golden age of Islam, saya mendapatkan ‘oleh-oleh’ dari Ayla. Sore itu  saya menjemputnya pulang sekolah. Begitu ia melihat saya masuk kelasnya, ia langsung menghampiri dan menyodorkan tasnya. Dalam sekejap, ia pun menghilang setelah ia mengatakan ‘play at the playground’. Selain tas, ia menyodorkan beberapa lembar kertas ukuran sepertiga kwarto yang di strapler.

Mata saya langsung berbinar menatap kertas tersebut. Aha…rupanya tadi di sekolah dia diajarkan menulis ‘buku’. Sekilas sembari menyusul ke playground saya buka-buka. Lumayan. Selain beberapa kalimat yang ia buat, buku itu dilengkapi dengan ilustrasi gambar coretan ala anak enam tahun. Meski hanya sekedar coretan, tapi cukup jelas untuk menggambarkan maksud yang ingin dia sampaikan. Tak lupa ia pun menuliskan angka sebagai penanda halaman di setiap lembar kertas.

Di halaman pertama ia tulis begini: one day thar was a little grie she has a pat and her name is klora snd the baby name is gora”. Di halaman itu pula ia menggambar seorang gadis dan dua ekor binatang berwarna coklat. Saya tidak bisa mengidentifikasikannya hingga ia katakan bahwa binatang tersebut adalah kangguru.

Continue reading “Bagaimana Australia mendorong anak menulis buku?”

Social capital dan pendidikan anak

Setiap kali membuat tulisan tentang social capital, saya cenderung mengutip pendapat Robert Putnam. Mungkin karena selama ini saya lebih sering mengaitkannya dengan kebijakan publik sehingga gagasan Putnam terasa sangat pas. Atau, bisa jadi karena saya belum mendalami ide Bourdieu dan Coleman secara mendalam. Dan sepertinya, alasan kedua lah yang paling tepat.

Faktanya, setelah diperkenalkan kembali oleh mbak Pratiwi Retnaningdyah saya begitu tertarik dengan ide-ide Bourdieu tentang Field Theory atau teori arena. Padahal, delapan tahun lalu dosen saya juga sempat menyebut nama pemikir asal Perancis itu. Demikian halnya dengan Coleman. Baru setelah saya mulai berminat dengan literasi, pemikiran Coleman wajib dipahami.

Continue reading “Social capital dan pendidikan anak”

Bagaimana Australia asah daya kritis anak?

“Critical thinking itu harus dilatih. Ia tidak begitu saja muncul meski seseorang rajin membaca”.

Begitulah kesimpulan yang bisa saya ambil dari diskusi di grup ibu-ibu pelajar di sini. Saya sendiri membenarkannya. Masih teringat saat liburan SD bapak saya sering membawakan buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah. Kisah Ken Arok, kisah walisongo, termasuk buku Siti Nurbaya, lima sekawan, serta buku Agatha Christy sempat saya lahap. Plus majalah Bobo dan Ananda yang populer di era 80an.

Faktanya, sampai SMA saya selalu deg-degan kalau ada diskusi. Paling bingung kalau disuruh bertanya. Selalu plegak-pleguk kalau disuruh berdiri di depan kelas

Dalam hal ini saya teringat komentar guru geografi saya waktu itu. Katanya, kelas ini kalau diperas tinggal 7 orang saja. Menurutnya, kami kurang kritis. Nylekit alias menusuk ke ke lubuk hati memang kata-kata beliau. Guru saya ini termasuk sudah sepuh dan idealis.  Saya sering menjadi bulan-bulanan saat beliau mengajar. Pasalnya, saya duduk di meja paling depan dan sering menjadi sasaran pertanyaan-pertanyaannya. Apesnya lagi, saya sering gagal menjawab pertanyaannya dengan baik. Terkadang saya hanya  bisa menunduk terdiam dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

Continue reading “Bagaimana Australia asah daya kritis anak?”

Sesuaikah system pendidikan Australia untuk anak Indonesia?

Pagi itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Usai mengantar Amira dan Ayla langsung saya bergegas ke kampus karena ada appointment dengan supervisor. Saat menunggu di tram stop seorang kawan menyapa. Pertama kali bertemu dengannya sekitar 6 tahun yang lalu di suatu event mentoring program di Denpasar. Ternyata kami dipertemukan kembali di Melbeurne saat hari-hari pertama mengantar Ayla ke kindergarten. Tahun ini adalah tahun terakhir masa studinya. Saya sendiri sangat bersyukur mendapat kesempatan bertemu dengannya karena saya bisa menimba banyak ilmu dan pengalaman menjalani masa sebagai PhD student dengan anak.

Awalnya kami berbincang sampai sejauh mana riset kami masing-masing. Hingga akhirnya saya pun menanyakan tentang anak pertamanya yang kini sudah di grade 7. Sang anak saat di Primary School mendapatkan excellence awards dari sekolah. Satu penghargaan yang sangat membanggakan. Saat saya baca nama anak rekan saya tersebut di newsletter sekolah sebelum school holiday sempat terharu dan bangga. Anak Indonesia berprestasi di Australia.

Saya pun menanyakan bagaimana rencana sekolah sang anak. Terlebih khusus bagaimana ia memilih sekolah yang pastinya bagi kami yang pernah menikmati pendidikan ala Australia menjadi satu PR tersendiri karena perbedaan kurikulum dan fasilitas pembelajaran. Saya sendiri sering dibuat takjub dengan berbagai cara serta fasilitas yang sangat mendukung anak yang diselenggarakan sekolah. Sehingga, kalau kembali ke Indonesia kuatir anak akan mengalami cultural shock. Apalagi, selama ini yang ada dalam pikiran saya pendidikan di negeri sendiri kualiatasnya dipertanyakan. Yak arena kritik pedas bertaburan untuk pendidikan di sekolah negeri.

Saat saya tanyakan bagaimana ia memilih sekolah untuk anaknya di Indnesia ia menjawab: saya memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggal. Jujur, sebuah jawaban yang tidak saya sangka-sangka. Selama ini saya lebih sering mendapatkan jawaban: sekolah yang begini…begitu…begini..begitu.. yang tentunya akan diikuti dengan sederet kriteria kualitas dan sistem pengajaran. Tanpa panjang lebar saya tanyakan kenapa. Ia jawab, kalau sekolah dekat rumah anak tidak terlalu capek dan hal itu sangat kondusif untuk belajar. Kalau sekolah bagus tapi jauh, anak akan ke-capek-an sebelum dan setelah ia belajar. Ia katakana pula bahwa pendidikan itu pada prinsipnya adalah independent learning. Yaitu bagaimana anak mampu menjadi pembelajar mandiri. Sehingga yang perlu diciptakan bagaimana anak mencintai belajar. Dan ketika anak sudah cinta belajar ia akan mampu belajar dalam kondisi apapun.

Hmmm..satu perspektif yang baru saya temui terkait tips memilih sekolah untuk anak. Ia tidak berfokus pada sekolah seperti apa, tapi justru cara pandang yang lebih memperhatikan aspek anak itu sendiri. Selama ini saya sendiri dalam memilih sekolah fikiran saya juga lebih banyak berfokus sekolahnya, dari pada bagaimana anaknya. Namun demikian, rekan saya ini juga menekankan, yang jelas juga bukan asal sekolah negeri yang gurunya kadang ada kadang tidak. Yang standar lah, tidak harus sekolah favorit.

Saat saya tanya alasan mengapa memilih sekolah negeri dan tidak ke swasta, ia katakan bahwa kebanyakan sekolah swasta diisi anak-anak orang kaya. Ketika anak-anak hanya bergaul dengan orang kaya, ia akan sulit berempati. Anak tidak pernah tau bagaimana realitas masyarakat yang sebenarnya. Ia lanjutkan lagi, padahal kan seharusnya anak bisa turut berperan memperbaiki kondisi negeri.

Saya juga tanyakan, bagaimana dengan persepsi masyarakat umum bahwa kualitas pendidikan kita begitu buruk. Pertanyaan saya setidaknya dilandasi berita dan status-status di media sosial yang selalu memojokkan pemerintah dalam mengelola pendidikan. Ia katakan, saya tidak terlalu percaya dengan hal tersebut. Itu adalah image yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan sekolah negeri. Ups..saya sendiri seperti baru tersadar akan hal tersebut.

Hmmmm….bisa jadi memang begitu. Untuk mendorong orang tua sekolah di swasta diciptakan lah isyu yang memojokkan pendidikan pemerintah. Angan saya pun melayang. Bisa jadi memang ada beberapa kasus yang terjadi terkait kekerasan di sekolah, beban pelajaran yang berat, anak-anak stress, atau pun guru-guru yang otoriter. Tapi, hal itu bersifat kasuistis dan tidak dapat digunkan untuk men-generalisasi bahwa kebanyakan sekolah negeri kinerjanya buruk. Bisa jadi ini adalah salah satu bentuk komersialisasi pendidikan. Siapa yang akhirnya di untungkan? Bukankah saya dan kita juga produk sekolah negeri? Dan…apakah saya dulu juga merasa tertekan di sekolah. Rasanya tidak. Dan, apakah juga pernah ditanyakan kepada anak sendiri bagaimana sekolah mereka? Rasa kasihan terhadap anak yang bebannya berat apakah hanya sekedar persepsi kita?

Entahlah saya juga tidak tahu. Yang jelas saya sendiri sempat mengenal seorang anak berprestasi, namanya Masayu Amira dia tidak pernah merasa terbebani dengan sekolah meski banyak hal yang harus dilakukan. Oya, ini saya kutipkan chattingan saya dengan Masayu Amira:

pokoknya mama dari aku usia 3th (cerita mama) bener2 support aku tuk prestasi, mulai bs baca dari mama juga…. mama yg ksh aku semua les yg kira2 aku suka… dan memang hrs aku sukain (dipaksa) he2.. krn terkadang kt mama, seorang mama yg tau yg terbaik buat anaknya… aku ikut lomba2 juga mama yg nyari info lombanya… kt mama semua anak itu genius…punya bakat… tergantung ortunya bs membuat dia berkembang atau tidak… aku sama sekali ngga terpaksa tan, aku senang menjalaninya… semua les dicoba… jika aku merasa ngga kuat, ngga suka, mama pasti setuju tdk melanjutkannya… tan, lupa, krn internet cerdas, aku juga kenalan dng namanya muhammad ali fikri… wah anaknya juga sgt kreatif… senang kenalan dng dia loh tan…

Kembali kepada rekan saya tadi. Satu hal lagi yang membuat saya terperangah. Katanya, kurikulum pendidikan di Australia sebenarnya cukup ketat. Bahkan kalau kita mengikuti kurikulum Australia yang sebenarnya justru tidak terlalu berbeda dengan kurikulum kita. Kalau saat ini di sekolah anak saya terlihat begitu santai itu karena sekolah yang melonggarkan. Ia katakan pula, kalau kita ikuti kurikulum di sini anak tidak terlalu kesulitan beradaptasi ketika kita kembali ke Indonesia. Selama ini saya sendiri selalu kuatir bagaimana nanti Amira kembali ke Indonesia kalau di sekolah cenderung terlihat santai dan tidak terlalu banyak hal yang dipelajari. Bisakah ia mengikuti sekolah di Indonesia. Hahai rupanya saya yang harus bergoogle tentang regulasi pendidikan di sini.

Salah satu hal yang penting yang saya dapat dari rekan saya ini adalah, katanya, soal kedisiplinan. Itu sangat penting. Artinya kita harus bisa mendisiplinkan anak untuk selalu belajar setiap hari. Lagi-lagi angan saya pun terbang ke masa kanak-kanak. Semenjak saya sekelas empat SD ibu saya selalu menyuruh saya belajar. Saya diwajibkan tidur siang agar malamnya bisa belajar. Ibu pun membuat aturan jam belajar dari jam 7 sampai jam 9. Kalau diantara jam tersebut ada drama di TVRI yang bagus saya tetap diperbolehkan menonton. Tapi tetap, kewajiban belajar 2 jam sehari harus di tunaikan. Awalnya memang terpaksa lama-lama terbiasa. Kata pepatah jawa: tresno jalaran soko kulino.

Oya satu lagi, ia katakan kalau hanya mengikuti sekolah, mau jadi apa anak kita nanti kalau tidak dilatih disiplin dan kerja keras. Mabuk-mabukan? Tidak semua yang ada di sini baik. Selama ini saya terlalu berharap banyak dengan sekolah. Demikian halnya saat di Indonesia, berharap sekolah mampu membentuk karakter, jiwa kemandirian, dan ketangguhan.  Saatnya saya harus melakukan revisi pemikiran dan memulai menata langkah kembali.

Karena pentingnya obrolan saya pagi itu saya pun bergegas menuliskannya meski tak langsung tuntas terselesaikan. Hanya saja point-point penting itu membuat saya terus berfikir bagaimana pendidikan anak-anak saya dan mau jadi apa dia nanti. Sepertinya saya harus membuka kembali buku Rhenald Kasali tentang Myelin atau Outlier Malcolm Gladwel yang pernah saya baca beberapa tahun silam atau teorinya Ibnu Khaldun tentang siklus negara yang baru-baru ini saya dalami.

Rhenald Kasali menandaskan pentingnya membangun myelin atau ia sebutkan muscle memory atau ia spesifikasikan lagi sebagai intangible. Menurut kamus kesehatan Myelin adalah zat lemak putih yang membentuk selubung silinder meduler di sekitar sumbu dari beberapa serabut saraf. Myelin memungkinkan untuk mengalirkan impuls saraf antara otak dan bagian lain dari tubuh . Dalam buku Myelin Rhenald Kasali menunjukkan bahwa manusia tidak cukup berinvestasi pada otaknya saja, tetapi juga ototnya (muscle) agar ia berorientasi pada tindakan, membentuk budaya disiplin dan membangun intrapreneuring, tata nilai serta kinerja. Rhenald mengatakan bahwa brain memory dapat diibaratkan kereta jabodetabek yang hanya mengandalkan sebuah lokomotif di kepalanya. Jika brain memory adalah lokomotifnya, maka myelin merupakan rahasia dibalik perkembangan talenta manusi dan kesuksesan di dunia usaha yang melesat bak kereta api Shinkasen.

Dalam level individu sejarah mencatat Hibar Syahrul Gafur (14) siswa kelas VIII SMPN 1 Kota Bogor sukses meraih medali emas dalam kompetisi International Exhibition of Young Investor (IEYI) yang dilaksanakan di Malaysia dengan karya ciptaannya sepatu listrik anti pelecehan seksual. Atau, kisah perjuangan Raeni anak seorang tukang becak dengan indeks prestasi 3,9 yang layak diapresiasi. Myelin juga berlaku untuk level perusahaan ataupun institusi, atau bahkan negara, yang berhasil mencapai kesuksesan. Adakah ini sekedar keberuntungan karena individu dalam organisasi memiliki otak yang encer? Untuk mencapai kesuksesan, kata Rhenald Kasali, ada sebuah nilai yang selalu diinternalisasi melalui proses bergerak sebagaimana seorang atlit yang sehari-harinya melatih ototnya hingga ia menjadi mahir melakukan atraksi yang membahayakan dirinya sekalipun. Contoh yang paling mudah adalah Ade Rai. Mungkinkah ototnya terbentuk jika ia jarang berlatih?

Mengapa mereka bisa? Karena mereka melakukan apa yang dikatakan oleh Daniel Coyle sebagai deep practice. Ia mengatakan deep practice X 10.000 hours = World Class Skill. Tentang hal ini, Malcolm Gladwell juga menggambarkan bahwa kaidah 10.000 hours ini menjadi kunci rahasia kesuksesan Bill Joy, The Beatles, Bill Gates termasuk Steve Jobs. Orang-orang tersebut telah menghabiskan waktunya selama lebih dari 10.000 jam hingga mereka menapaki tangga kesuksesan. Mozart yang kita kenal sebagai komponis luar biasa pun karya-karya awalnya biasa-biasa saja. Bahkan karya awalnya ini lebih banyak ditulis oleh ayahnya. Karya hebat Mozart yang hingga kini dikenang baru diciptakannya pada usia dua puluh satu tahun di mana pada saat itu Mozart sudah menciptakan berbagai concerto selama puluhan tahun lamanya.

Hal yang sama juga dialami The Beatles. Lagu-lagu mereka menjadi hits di Amerika pada tahun 1964. Tapi, apa yang terjadi pada tahun 1960? The Beatles diungang ke Hamburg Jerman. Dalam permainan selama itu mereka berjuang untuk membuat penonton tertarik. Berbeda dengan saat di Liverpool yang hanya satu jam mereka bermain musik. Di kota tersebut mereka bermain musik selama tujuh jam sepanjang selama 270 malam selama rentang waktu 1960-1962. Ketika mereka meraih kesuksesan tahun 1964 diperkirakan mereka telah naik panggung sebanyak seribu dua ratus kali.

Ah..jadi ingat eksperiment saya dua puluh tahun silam. Saat itu saya masih duduk di semester tiga. Karena hasil ujian sebelumnya cukup lumayan, sayapun berniat menguji diri sendiri: apakah saya termasuk orang cerdas. Caranya, saya memutuskan untuk tidak belajar diluar jam kuliah. Dengan kata lain, saya hanya mengandalkan proses penerimaan materi dari dosen di kelas. Selama satu semester saya melarang diri saya belajar sama sekali di asrama. Persepsi saya saat itu, orang yang cerdas adalah orang yang mampu menyerap pelajaran sekali ia menerimanya. Sebagai gantinya, saya memuaskan diri membaca buku-buku lain diluar buku pelajaran. Tahukah anda hasilnya? Juuuuueeeeblok sodara-sodara. Indeks prestasi saya turun drastis dan harus mengakui bahwa saya bukanlah orang yang cerdas. Lha gimana gak jeblok kalau di kelas sering terkantuk-kantuk hehehe….Bagaimanapun saya harus mengakui bahwa untuk memahami sesuatu, saya butuh membaca dan latihan berulang-ulang. Ya…sudahlah, ditrimak-trimakno wae lah kalau memang itu jalan saya.

Akhiru kalam, terima kasih untuk rekan saya atas obrolan kita pagi hari itu…..Engkau telah membangkitkan kesadaran saya: kesadaran akan generasi seperti apa yang akan saya bentuk…….

*Ups….lupa, kaitannya dengan gagasan siklus negara versi Ibnu Khaldun akan saya tulis dalam episode berikutnya, Gagasan Ibnu Khaldun memberikan gambaran tentang generasi apakah yang seharusnya kita lahirkan.

*Terima Kasih buat Mbak Heni Kurniasih atas inspirasinya……

Link tulisan:

https://anasejati.wordpress.com/2012/05/08/outliers-vs-negeri-5-menara/

https://anasejati.wordpress.com/2011/04/13/mobilisasikan-intangibles-anda-menjadi-kekuatan-perubahan/