Pagi itu seperti pagi-pagi yang lain tepat pukul 06.15 ia sudah berdiri di depan rumah. Hanya berdiri dan hanya berdiri dengan memakai seragam kebanggaan kami putih biru tanpa sepatah kata pun memanggil nama saya. Tapi, seperti pagi-pagi yang lainnya pula saya pun sudah mahfum bahwa saya harus segera bergegas menyelesaikan sarapan dan segera berlari mengambil tas dan memakai sepatu kets. Petualangan pagi itu pun dimulailah….
Bersama sang sahabat ini setiap pagi kami menyusuri jalanan yang untunglah meski saat itu baru menginjak pertengahan tahun 1980an sudah diaspal. Sebagaimana daerah tepi gunung, kami pun harus melewati jalanan yang mendaki hingga terkadang cukup membuat kami terengah-engah. Tak mengapa, udara pagi yang dingin membuat badan kami yang kurus ini tetap tangguh tak menghiraukan lelah untuk mencapai sekolah kami yang saat itu cukup bisa dikatakan jauh dari kota. Sesekali, ditengah perjalanan beberapa kawan yang kebetulan bersepeda balap menyapa sambil menuntun sepeda karena tak sanggup mengayuh di jalan yang mendaki. Begitulah, hari-hari kami lalui.
Tapi, bukan lah si bolang kalau lebih suka melewati jalan-jalan mulus yang beraspal. Demi menghemat waktu, kami mencoba menyusuri jalan setapak yang suatu ketika kami pernah mengamati beberapa orang melewatinya. Sepi, bagaikan membelah belukar kami melewati kebun-kebun singkong. Terkadang, kami pun terpaksa merelakan sepatu belepotan tanah liat karena harus mendaki jalan tanah yang jika hujan tiba tinggi badan kami seperti naik beberapa sentimeter karena tebalnya tanah yang menempel di sepatu. Di satu sisi kami cukup senang dengan ‘keberhasilan’ melakukan potong kompas, di sisi lain rasa bersalah atau lebih tepatnya khawatir karena pastilah lantai ruang kelas kami akan penuh dengan tanah liat akibat sepatu ajaib kami.