PENGHAFAL QUR’AN

Pernah membaca buku One Small Step Can Change Your Life karya Robert Maurer? Jangan Khawatir, saya juga belum. Beberapa minggu lalu saya menemukan reviu buku tersebut dalam sebuah video di channel Youtube. Penjelasan yang singkat, padat dan mudah dipahami membuat buku itu berkesan dan yang pasti cukuplah memberikan petunjuk tentang how-nya, step-step bagaimana melakukan perubahan hidup.

Prinsip Kaizen

Buku ini sebenarnya didasarkan pada gagasan lama yang diinisiasi oleh Edward Deming dalam memperbaiki manajemen Toyota pada paska perang dunia kedua. Bagi Anda yang memiliki latar belakang ekonomi, terutama akuntansi pasti mengenal prinsip Kaizen. Prinsip inilah yang diadaptasi Maurer dalam menyelesaikan banyak hal pada level individu.

Pada intinya, Kaizen menekankan adanya continuous improvement atau perbaikan secara terus menerus. Alih-alih menawarkan perubahan radikal, Kaizen justru sebaliknya. Perubahan tak harus fundamental, justru dimulai dari hal-hal yang sangat biasa dan terkesan remeh temeh.

Prinsip inilah yang dipercayai oleh Maurer ketika dia memberikan saran-saran kepada kliennya. Sebagai seorang psikolog, dalam memberikan advice, Maurer menyarankan klien untuk melakukan sesuatu yang terkadang terdengar menggelikan, saking ringannya saran tersebut untuk dilakukan. Pada kasus obesitas, misalnya, Maurer tak menyarankan kliennya untuk pergi ke gym dan menghabiskan waktu beberapa jam dalam satu minggu. Tapi, cukup berjalan selama satu menit dalam sehari saat mereka sedang santai menonton TV. Teramat mudah bukan?

Pasti akan terbetik tanya, sebagaimana pertanyaan saya, kalau cuma begitu kapan turunnya berat badan? Yup, pasti butuh waktu yang tak hanya lama, tapi luuuuuaaammmmaa.

Nyatanya, apa yang terjadi tidak demikian. Prinsip perubahan dalam Kaizen adalah membentuk habbit. Jika yang disarankan oleh Maurer adalah perubahan yang berat, seperti melakukan latihan fisik selama satu jam, secara otomatis otak akan menolak. Mungkin saja di awal nampak bersemenagat tapi biasanya tidak akan bertahan lama dan pada akhirnya berakhir di tengah jalan. Dalam banyak hal ini sering terjadi. Saya sendiri beberapa kali menerapkan target pribadi yang muluk-muluk, akhirnya ya tinggal target, tdak pernah dilaksanakan.

Berbeda dengan prinsip Kaizen yang disarankan oleh Maurer, dengan memilih hal-hal yang sangat ecek-ecek semua menjadi terasa mudah dilakukan. Bahkan, jika hal-hal tersebut selalu dilakukan akan timbul kesadaran untuk meningkatkan sedikit demi sedikit hingga tanpa terasa latihan fisik selama satu jam sehari menjadi suatu kebiasaan.

Hal yang sama juga dicontohkan oleh Maurer bagi mereka yang ingin mengurangi konsumsi gula. Dia tidak menyarankan untuk stop, tapi mengurangi secangkir softdrink dalam setiap harinya. Mudah bukan?

Ujicoba Kaizen

Beberapa minggu ini saya mengujicobakan saran Maurer ini untuk menata kembali hafalan-hafalan juz amma saya yang sudah bertahun-tahun kocar kacir, mreteli satu per satu. Alasan klasik, sibuk kerjaan dan mengurus anak sehingga kalau sholat selalu memilih surat-surat pendek.

Saya mulai dengan memilih surat yang saya sukai. Lalu, dalam satu hari saya menargetkan untuk menghafal lima ayat. Aktifitas ini sangat mudah karena saya pernah hafal. Hanya saja karena jarang dilafalkan sering terbalik-balik dan beberapa sering salah bacaan. Apalagi, surat-surat dalam juz amma pendek sehingga mudah untuk dihafal kembali.

Meski menghafal lima ayat bisa cepat dilakukan, saya mencoba bertahan untuk tidak tergoda melanjutkan ke ayat berikutnya. Saya memilih mengulangnya kembali sampai benar-benar lancar dengan bacaan yang benar. Atau kalau masih ingin berlama-lama, saya memilih membaca terjemahan sembari berusaha memahami arti ayat-ayat dalam satu surat. Jika masih penasaran lagi, saya segera ke celiktafsir.net untuk membaca rangkuman tafsir ayat-ayat yang sudah saya hafal. Kalau masih penasaran juga, saya mencari video kajian tafsirnya.

Keesokan harinya baru saya lanjutkan ayat keenam hingga kesepuluh. Kalau ada yang agak sulit, saya kurangi target, disesuaikan dengan kemampuan hafalan saya yang memang payah. Tapi yang pasti, dalam satu hari harus ada yang saya hafal. Jika tidak hafal, saya biarkan saja, yang penting proses menghafal tetap berjalan. Proses ini tak memakan waktu panjang, paling lama seperempat jam. Kecuali kalau sudah penasaran tanpa sengaja bisa sampai hampir satu jam.

Prinsip yang saya coba tanamkan bukan target kapan bisa menghafal sebanyak-banyaknya. Saya mencoba mengikuti pesan Maurer bahwa yang ingin dibangun adalah habbit atau kebiasaan yang lama kelamaan akan melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Definisi Penghafal

Dalam hal ini, saya masih ingat cita-cita saya yang teramat muluk, menjadi penghafal Qur’an. Tapi, definisi saya tentang kata penghafal Qur’an ini tidak seperti apa yang sering saya dan mungkin Anda pahami selama ini. Saya mencoba membuat definisi sendiri tentang kata tersebut. Selama ini yang saya pahami, seorang penghafal Qur’an adalah seseorang yang sudah hafiz Qur’an 30 juz dan terus menjaga hafalannya. Seluruh juz telah khatam dan dijaga agar tidak ada yang terlupa.

Definisi yang saya buat sendiri, mohon dikoreksi jika salah, boleh dibilang jauh dari definisi di atas. Kalau kita masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia ketika SMP, salah satu fungsi dari imbuhan ‘pe’ yang ditambah kata kerja akan membentuk kata yang mengindikasikan suatu profesi. Misalnya, pe ditambah ajar menjadi pelajar, bisa juga menjadi pengajar. Pe ditambah kerja menjadi pekerja, pe ditambah tulis menjadi penulis, pe ditambah nyanyi menjadi penyanyi, pe ditambah lawak menjadi pelawak. Demikian seterusnya.

Kaidah yang sama jika dipakai dalam kata hafal hasilnya ‘penghafal’, berarti seseorang yang profesinya menghafal. Entah apa yang dihafalkan, entah sebanyak apa yang dihafalkan, entah sudah berapa lama dia menghafal, yang jelas pekerjaanya atau profesinya adalah menghafal. Jika kata tersebut dilekatkan dengan Qur’an maka dalam definisi ini, dia bisa dilabeli sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan atau profesi menghafal Qur’an.

Di Jalan Allah

Definisi yang saya  buat ini terinspirasi dari video Nouman Ali Khan yang berjudul Road to Change, diproduksi oleh FreeQur’anEducation. Dalam video tersebut, Nouman mengutip akhir surat An Nahl (16:125) yang berarti, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.” Point yang menarik dari ayat di sini, menurut Nouman adalah bahwa ajakan tersebut tidak ditujukan pada suatu destinasi tertentu. Meksudnya begini, ketika kita mengajak seseorang, biasanya kita akan menunjuk suatu tempat, misalnya yuk maksi di rumahku, yuk ketemuan di gedung ini, yuk ngaji di masjid ini.

Destinasi tersebut mengacu pada sebuah tempat yang pasti. Sementara, merujuk pada ayat di bagian akhir surat An Nahl, Allah tidak menggunakan destinasi tertentu, tapi yang digunakan adalah sabili rabbika, jalan Tuhanmu. Ajakannya bukan akhir dari tujuan, tapi jalan. Cukup mengajak untuk menuju jalan. Tak peduli seberapa cepat seberapa lambat, seberapa jauh seberapa dekat, selama dia sudah berada di jalan tersebut, dia sudah dianggap on the right track, berada di jalan yang benar.

Dalam upaya menghafal Qur’an, terutama bagi saya yang sudah berusia hampir setengah abad dengan kapasitas memori yang sudah hampir penuh, rasanya cukup puas dengan definisi ‘penghafal’ yang berarti profesi, yang mengindikasikan suatu proses yang akan dijalani hingga kelak usia berakhir. Tak peduli berapa juz, tak peduli berapa surat, tak peduli berapa ayat, selama aktivitas itu tetap dilakukan, sesuai dengan An Nahl 125, maka sudah berada dalam kategori di jalan Tuhanmu.

All in all, bukankah prinsip kaizen ini sebenarnya juga sejalan dengan salah satu hadits yang menyatakan bahwa, amalan yang sedikit tapi dilakukan terus menerus lebih disukai Allah dibandingkan dengan amalan yang besar tapi hanya sekali?