Surga

Suatu ketika seorang kawan mengatakan begini, “Itu di Al Qur’an kok gambaran surganya menurutku justru membosankan ya. Makanan dan minuman enak-enak, bidadari cantik, sungai-sungai yang mengalir, dipan-dipan. Kalau buatku malah nggak asik. Lha aku sukanya diskusi, apa ada ya nanti?”


Mendengar pertanyaannya, jujur saya hanya terperangah dengan pertanyaan kritisnya. Kok bisa dia berfikir seperti itu. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepala saya tentang gambaran surga kecuali yang pernah saya dapatkan dalam pelajaran agama di sekolah sekian puluh tahun yang lalu. Dalam pemahaman saya, meski tidak digambarkan sejara detil, apapun bisa kita dapatkan di surga. Hanya saja definisi apapun dalam otak saya lebih pada kebendaan, permen, mainan, rumah. Persis seperti gambaran surga dalam diri anak-anak. Gambaran surga yang teramat lugu, bukan?


Sampai sekarang saya masih belum menemukan jawabannya. Saya juga belum sempat bertanya apakah teman tersebut sudah mendapatkannya. Berdasarkan pembacaan saya terhadap teks Islam yang teramat sempit, kata-kata yang digunakan oleh para penghuni surga adalah kalimat toyyibah atau kalimat-kalimat yang baik. Nah, kalau semua sudah baik apakah masih ada lagi yang perlu didiskusikan?


Memahami Ayat dengan Konteks
Waktu pun berlalu hingga saya menemukan video kajian-kajian tafsir Nouman Ali Khan yang mengajarkan bagaimana memahami Al Qur’an. Ayat-ayat yang terasa biasa ketika saya baca sendiri, terasa begitu menakjubkan setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan Nouman. Dia berhasil membawa imajinasi saya ke masa lalu, masa ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.


Misalnya bagian akhir surat Al Waqiah berikut.


Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui, dan (ini) sesungguhnya Al Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Apakah kamu menganggap remeh berita ini (Al Qur’an)? (Al Waqiah 75-81)


Dalam pembacaan saya, tak pernah terlintas tanya, mengapa Allah menggunaka tempat peredaran bintang-bintang dalam sumpahnya? Mengapa sumpah tersebut dianggap sebagai sumpah yang besar? Lalu, kenapa tiba-tiba Allah menyebut Al Qur’an?


Ketiadaan tanya di kepala saya bisa jadi karena cara pembacaan saya yang salah, sambil lalu tanpa melalui proses berfikir. Orientasi pembacaan saya sepertinya masih sebatas pada kuantitas jumlah ayat yang dibaca, bukan kualitas pemahaman. Bukankah lebih baik sedikit tapi berkualitas, dari pada banyak tapi tidak memahami sama sekali?


Bagian akhir surat Al Waqiah pada prinsipnya menekankan kemuliaan Al Qur’an. Untuk menjelaskan kepada manusia, menurut Nouman Ali Khan, Allah menggunakan sumpah dengan tempat peredaran bintang-bintang. Mengapa harus dengan benda-benda tersebut?


Bagi kita yang hidup di masa kini, bintang-bintang bisa jadi jauh kalah menarik dibanding layar HP. Saya sendiri lupa entah kapan terakhir menatap bintang-bintang di langit. Mungkin sudah berbilang bulan, atau malah tahun saya tidak menikmati kilaunya. Bintang, di masa kini bisa jadi hanya sekedar penghias langi di malam hari.

Bagi kita yang hidup di masa kini, bintang-bintang bisa jadi jauh kalah menarik dibanding layar HP. Saya sendiri lupa entah kapan terakhir menatap bintang-bintang di langit. Mungkin sudah berbilang bulan, atau malah tahun saya tidak menikmati kilaunya. Bintang, di masa kini bisa jadi hanya sekedar penghias langit di malam hari.


Namun, tidak demikian dengan bangsa Arab empat belas yang lalu. Di dunia yang belum ada listrik, belum ada radio, tv, telepon, apalagi internet, memandang bintang gemintang merupakan satu-satunya hiburan di malam hari.


Tak kalah penting, bintang-bintang juga menjadi penunjuk arah di tengah malam gulita di tengah gurun pasir. Kepada benda-benda langit inilah para pedagang berpedoman pada rasi bintang melintasi malam berhari-hari untuk membawa barang dagangannya dari satu kota ke kota lainnya, seperti dari Yaman ke Syiria.


Dengan bintang-bintang dan tempat peredarannya yang begitu penting bagi bangsa Arab di masa itu, Allah hendak menjelaskan hal yang sama tentang Al Qur’an. Dalam memandang Al Qur’an pun kita tidak bisa melihatnya sebagaimana sebuah kitab yang lihat saat ini.


Untuk dapat memaknai konteks historinya, kita juga perlu membawa fikiran kita kembali ke masa lalu. Yaitu, masa di mana kesusastraan menjadi kebanggaan bangsa Arab dan para penyair mendapatkan kedudukan yang tinggi di masyarakat.


Jika kemudian Allah menurunkan AlQur’an dengan bahasa yang begitu indah, tentu hal ini menarik perhatian, sekaligus memancing kemarahan banyak pihak karena pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dianggap mengancam kedudukan mereka.


Surga bagi Bangsa Arab

Kembali pada pertanyaan kawan saya di atas, logika yang sama mungkin bisa menjadi jawaban. Maksud saya begini, untuk memaknai surga sebagaimana yang tergambar dalam Al Qur’an, kita perlu memahami kondisi masyarakat kala itu. Sebagaimana yang juga disebutkan oleh Allah dalam surat Yusuf ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti”.


Meski Al Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia, tapi perlu diingat bahwa audiens pertemanya adalah masyarakat Arab kala itu. Merekalah pendengar sekaligus sasaran ayat-ayat tersebut. Sehingga, bahasa yang digunakan pun juga bahasa sehari-hari mereka, bahasa Arab. Sebagaimana dalam surat Yusuf, tujuannya agar dapat dimengerti.


Dengan demikian, gambaran surga pun juga mengikuti nalar yang sama, sesuai dengan kondisi masyarakat kala itu. Jika yang disebut buah-buahan di surga di antaranya adalah kurma, delima, tin, dan zaitun, hal itu karena buah-buahan tersebut yang dikenal oleh masyarakat di sana kala itu. Jika yang disebut semangka, salak, duku, durian apalagi, tentu tidak akan menumbuhkan semangat untuk meraih surga.


Hal yang sama juga berlaku untuk sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Bagi masyarakat yang hidup di gurun pasir yang panas, air tentu memiliki nilai yang lebih dibandingkan kita yang tinggal di negara tropis dengan curah hujan yang tinggi. Menemukan sumber air yang dekat dengannya adalah suatu keberkahan.


Berbeda dengan masyarakat di Indonesia yang bisa menemukan banyak sungai di sekitar tempat tinggal mereka. Kuantitas air yang begitu banyak justru bisa mendatangkan bencana, sebagaimana yang terjadi di awal tahun ini, banjir terjadi di mana-mana.


Dalil tentang Surga
Dalam serial kajian the Description of Jannah, Yasir Qadhi mengutip hadist qudsi yang diriwayatkan dari Abu Huraira RA, “Aku (Allah) telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh suatu balasan (surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di dalam hati.” (HR Bukhari).


Meski di dalam Al Qur’an disebutkan gambaran tentang surga, makanan, buah-buahan, perhiasan, pemandangan alam, bidadari, menurut Yasir Qadhi surga yang sebenarnya jauh malampaui pikiran dan imajinasi manusia. Hal ini mengacu pada hadist qudsi di atas: belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati.

Kalaupun penggambarannya menggunakan benda-benda yang ada di bumi maka itu adalah kesamaan nama. Misalnya tentang kurma dan sungai yang selama ini kita nikmati dan lihat di dunia, maka kita juga akan menemukannya, hanya saja kita tidak pernah bisa membayangkan seperti apa. Mengutip pernyataan Yasir Qadhi, beyond human description.


Epilog
Jika demikian, apakah di surga masih ada aktivitas diskusi? Entahlah, saya belum bisa menemukan jawaban pasti. Saya masih percaya bahwa apapun yang kita inginkan akan kita dapatkan di surga, termasuk aktivitas diskusi.


Labih dari pada itu, yang tak kalah penting adalah untuk dilakukan adalah bagaimana kita bisa masuk surga. Itu pun buat saya masih begitu mewah, cukuplah bagaimana agar dijauhkan dari neraka.

Leave a comment