Diplomasi Nabi Musa dengan Fir’aun

Kisah-kisah dalam Al Qur’an akan terasa hidup ketika kita mampu memvisualisasikannya. Untuk itu, dalam pembacaannya dibutuhkan imajinasi agar visualisasi itu bisa hadir sehingga kita bisa merasakan kedahsyatannya. Sayannya, saya sendiri sering gagal melakukannya. Membaca Al Qur’an terasa garing karena dibaca begitu saja.

Tulisan berikut adalah hasil simakan kajian Nouman Ali Khan tentang dialog menarik antara Nabi Musa dengan Fir’aun yang termaktub dalam surat As Syuara.

Upaya Melemahkan Mental Nabi Musa

Ketika Nabi Musa mengatakan bahwa mereka berdua (bersama Nabi Harun) adalah Rasul Allah dan meminta agar Bani Israil dilepaskan, Fir’aun mencoba melemahkan mentalnya dengan mengungkit kebaikannya di masa lalu. Fir’aun juga memojokkan Nabi Musa dengan menyebutkan kesalahannya dan menganggapnya sebagai orang yang tidak tau terima kasih.

Pernyataan Fir’aun ini kalau kita tempatkan pada konteks masa kini sepertinya sah-sah saja. Bayangkan, ada seorang bayi yang baru lahir terhanyut di sungai. Atas permintan sang istri, bayi itu dibawa ke kerajaan, diasuh dan dididik hingga dewasa. Suatu ketika dia melarikan diri karena membunuh seseorang. Sekian tahun kemudian ia kembali lagi dan langsung mengaku bahwa dia adalah rasul utusan Tuhan semesta alam.

Sementara, sang bapak angkat adalah seorang raja dan mengaku bahwa dia adalah tuhan. Ketika kita berada di posisi Fir’aun, mungkin jawaban kita tak akan jauh berbeda dengan jawaban di atas, mempertanyakan rasa terima kasih.  

Bukankah ini trik yang sering juga kita jumpai di masa kini? Ketika seseorang gagal berargumentasi, ia akan menyerang sisi personal lawan.

Counter Argumen yang Cerdas

Tapi lihatlah, betapa cerdas Nabi Musa menjawab pertanyaan politis Fir’aun ini. Nabi Musa berkata, “Aku telah melakukannya, dan ketika itu aku termasuk orang yang khilaf. Lalu aku lari darimu karena aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku menganugerahkan ilmu kepadaku serta Dia menjadikan aku salah seorang diantara rasul-rasul. Dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku, (sementara) itu engkau telah memperbudak Bani Israil.”

Narasi jawaban Nabi Musa diawali dengan pengakuan kekhilafannya. Lalu, Nabi Musa pun bercerita apa yang ia lakukan setelahnya, berlari dari Fir’aun, lalu dianugerahi ilmu oleh Allah dan dijadikan sebagai seorang rasul. Meski Fir’aun mencoba membelokkan topik pembahasan, Nabi Musa mampu mengembalikan topik pembicaraan kepada misi yang dibawanya. Misi pertama berhasil ia tunaikan: mengatakan bahwa ia dan Nabi Harun adalah rasul Tuhan semesta alam.

Jawaban yang tak kalah menarik juga dia sampaikan ketika Nabi Musa meminta Fir’aun untuk melepaskan Bani Israil. Di satu sisi, Nabi Musa mengakui kebaikan yang dia terima semenjak bayi, di sisi lain Nabi Musa juga mengingatkan Fir’aun akan kekejaman yang telah dilakukan terhadap Bani Israil. Dalam surat As Syuara dikatakan, “Dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku (sementara) itu engkau telah memperbudah Bani Israil.”

Lagi-lagi Nabi Musa berhasil mengembalikan dialog ke topik awal, menyampaikan misi dari Allah untuk melepaskan Bani Israil. Nabi Musa seolah hendak mempertanyakan, apakah cukup yang dilakukan Fir’aun terhadapnya di masa lalu dibandingkan dengan kekejamannya terhadap Bani Israil?

Bisakah Anda bayangkan bagaimana suasana saat itu. Ibarat kena skak mat. Telak. Fir’aun seolah langsung diam, mak klakep, begitu kata orang Jawa.

Setting Dialog Nabi Musa dan Fir’aun

Dalam dialog selanjutnya, Fir’aun mulai terbawa alur dialog Nabi Musa. Dia bertanya, “Siapa Tuhan seluruh alam itu?” Nabi Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan pada yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu memercayai-Nya.” Narasi berikutnya Fir’aun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengar (apa yang dikatakannya)?

Selain memperlihatkan kepanikannya, pernyataan Fir’aun di atas juga memperlihatkan adanya fakta yang menarik untuk di cermati. “Fir’aun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya”, berarti dialog tersebut tidak hanya melibatkan tiga orang: Nabi Musa, Nabi Harun, dan Fir’aun. Tetapi, banyak orang. Ibarat sebuah tontonan, maka episode ini tentu merupakan episode yang paling seru, paling klimaks. Seandainya kita adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa langka tersebut, gimana rasanya ya? Menunggu-nuggu adegan berikutnya, sekaligus deg-degan, atau khawatir membayangkan apa yang akan terjadi kalau Fir’aun murka?

Fir’aun Gagal Berargumen

Saat itu, orang-orang melihat fakta kekalahan Fir’aun dalam berargumen. Fir’aun sudah terkalahkan dihadapan publik, dihadapan para pengikutnya. Nabi Musa menjalankan misi dengan sangat baik, sebagaimana dinyatakan di ayat ke-11, bahwa Allah tidak hanya mengutusnya untuk mendatangi Fir’aun, tapi juga kaumnya.

Dialog selanjutnya semakin memperlihatkan bagaimana Fir’aun gagal mematahkan argumenn Nabi Musa, hingga yang bisa dia lakukan adalah menghina dan mengancam dengan mengatakan bahwa Nabi Musa adalah orang gila. Fir’aun juga mengancam akan memasukkannya ke penjara.

Di ayat berikutnya, adegan semakin seru. Nabi Musa memperlihatkan mukjizat Allah yang diberikan kepadanya. Nabi Musa melemparkan tongkatnya, lalu tiba-tiba tongkat itu menjadi ular. Kemudian, Nabi Musa mengeluarkan tangannya (dari dalam bajunya), tiba-tiba tangan itu menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya.

Bisakah Anda bayangkan suasana saat itu? Mungkin orang-oran berlari ketakutan karena tiba-tiba melihat ada ular. Atau mungkin wajah Fir’au pucat pasi ketakutan melihat ular dan tangan Nabi Musa yang berubah menjadi putih.

Ular adalah binatang yang ditakuti banyak orang, mungkin hanya pawang ular yang berani. Sama halnya ketika ada ular yang tiba-tiba masuk rumah, kita tak akan tinggal diam dan tetap duduk manis. Paling tidak, kita akan menyingkir sembari dada terus berdegup jangan sampai digigit. Fir’aun semakin panik dan ketakutan.

Untuk mencari dukungan Fir’aun mencoba menempatkan orang-orang dalam posisi terancam seperti dirinya dengan mengatakan, “Dia hendak mengusir kamu dari negerimu dengan sihirnya.” Fir’aun menggunakan kata ganti kamu, bukan aku atau kita. Dalam hal ini dia hendak menunjukkan bahwa Musa akan membahayakan orang-orang yang saat itu sedang menyaksikan dialog tersebut. Fir’aun mencoba meyakinkan bahwa ancaman itu juga ditujukan untuk mereka, mereka akan terusir dari negerinya.

Selalu saja ada cara bagi Fir’aun untuk berkelit. Tapi, di kisah berikutnya, Anda akan tahu bagaimana propaganda Fir’aun gagal total. Sebaliknya, atas izin Allah, Nabi Musa justru diuntungkan dari skenario yang sudah dirancang oleh Fir’aun.

Wallahu A’lam

Leave a comment