Hati-hatilah Membaca Hasil Survey Islamicity Index!!!

Pertengahan Juni 2014 beberapa media cetak memberitakan hasil riset guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, AS. Saya yakin banyak diantara anda sudah membacanya. Hasil survey sang peneliti, Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari, menobatkan Irlandia sebagai negara yang paling Islami.

Entah mengapa saya tergoda untuk membaca komentar berita yang ditulis di http://internasional.kompas.com/read/2014/06/10/2151008/Studi.Irlandia.Negara.Paling.Islami.di.Dunia. Berita yang dimuat kompas tersebut memang menempati urutan pertama di mesin pencari jika anda mengetikan ‘’Irlandia negara paling Islami’’. Tak heran kalau saat saya membaca berita tersebut, 3 Oktober 2014, komentarnya mencapai 155 komentar dari 88 komentator. Dalam survey tersebut Indonesia ditempatkan dalam urutan ke 140. Menyesakkan juga membaca tulisan tersebut.

Terus terang saya cukup shock membaca komentar-komentarnya. Banyak komentator yang justru menggunakan tulisan tersebut sebagai alat untuk melegitimasi pernyataan bahwa penerapan syariah Islam tidak diperlukan. Terbukti, menurut sang peneliti, 32 posisi teratas tidak ditempati oleh negara-negara Islam. Baru pada urutan ke 33 muncul Malaysia. Saling serang, saling hujat, saling caci tersaji dalam komentar. Prihatin. Ah..semoga hal itu hanya terjadi di media sosial. Semoga juga hal itu bukan representasi kondisi bangsa kita yang sedang terpecah belah (atau sedang dipecah belah?). Semoga saja tidak.

Baiklah, kembali kepada hasil penelitian. Berita tersebut membuat saya sangat penasaran. Kabarnya hasil survey sudah diterbitkan di salah satu jurnal ilmiah internasional. Segera saya berlari ke google scholar. Ketemulah judul jurnal hasil penelitian. Lagi-lagi beruntung pula saya bisa mengakses full-text jurnal dari library kampus. Tapi, anda pun bisa mendapatkan artikel lain sang peneliti yang memuat hasil survey Economic Islamicity Index melalui google secara full-text. Coba anda ketikkan: An Economic Islamicity Index (EI2).

Jurnal yang berjudul How Islamic are Islamic countries tersebut diterbitkan oleh The Barkeley Economic Press. Tahukah anda bahwa jurnal tersebut terbit tahun 2010. Lha kok baru 2014 hebohnya ya? Entahlah. Mungkin karena minimnya fasilitas perpustakaan negeri kita untuk mendapatkan akses ke jurnal internasional. Rupanya berita-berita tersebut dilansir dari the Telegraph di sini:

http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/ireland/10888707/Ireland-leads-the-world-in-Islamic-values-as-Muslim-states-lag.html

Untuk singkatnya, saya kutipkan dulu dari kompas ya:

Dari studi itu, Askari mendapatkan Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru sebagai negara lima besar yang paling Islami di dunia. Negara-negara lain yang menurut Askari justru menerapkan ajalan Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.

Lalu, bagaimana dengan negara-negara Islam? Malaysia hanya menempati peringkat ke-33. Sementara itu, negara Islam lain di posisi 50 besar adalah Kuwait di peringkat ke-48, sedangkan Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar ke-111.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Askari mengatakan, kebanyakan negara Islam menggunakan agama sebagai instrumen untuk mengendalikan negara. “Kami menggarisbawahi bahwa banyak negara yang mengakui diri Islami tetapi justru kerap berbuat tidak adil, korup, dan terbelakang. Faktanya mereka sama sekali tidak Islami,” ujar Askari.

Sebelum saya uraikan lebih jauh, perlu saya sampaikan bahwa sang peneliti menulis dua artikel yang beda-beda tipis. Yang satu berjudul How Islamic is Islamic Countries (HI3C) dan An Economic Islamicity Index (AEI2). AEI2 terbit sebelum HI2C. AEI2 khusus membahas tentang economic Islamicty index, sementara dalam tulisan HI3C peneliti memasukkan instrument lain sebagai dasar penilaian. Dalam HI3C sang peneliti menyebut indexnya sebagai Overall Islamicity Index (OI2). Indeks ini terdiri dari Economic Islamicity Index (EI2) ditambah Legal and Governance IslamicityIndex (LGI2), Human and Political Rights IslamicityIndex (HPI2), dan International Relations IslamicityIndex (IRI2). Berdasarkan EI2 Irlandia menempati urutan pertama. Sedangkan berdasarkan overall islamicity index New Zealand berada di urutan pertama. Data yang dikutip oleh peneliti dalam lansiran kompas tersebut adalah data berdasarkan Economic Islamicity Index, bukan overall islamicity index.

Mari kita lanjutkan. Berita yang jumlah kata-kata-nya hanya 354 tentu tidak memuat secara detail apa saja instrument penilaian hingga mendapatkan hasil seperti di atas. Sayangnya, keterbatasan informasi ini justru memicu polemik. Khususnya, tentang alat ukur yang dipakai oleh peneliti untuk men-cap sebuah negara telah menerapkan ajaran Islam. Jangan khawatir, nanti akan saya share kriteria penilaian yang ada di full-text jurnal. Tapi tunggu dulu. Coba perhatikan table ranking hasil penelitian yang saya copy paste dari jurnal.

Islamic index1 (2)

Islamic index2 (2)

islamicity index2 (3)

Nama-nama negara yang di arsir tersebut adalah negara yang dianggap oleh sang peneliti sebagai negara Islam. Alat ukur yang dipakai adalah mereka yang tergabung dalam Organization of Islamic Countries (OIC). Jumlahnya ada lima puluh tujuh negara. Yang masuk dalam kategori ini adalah negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, negara yang mayoritas penduduk muslimnya, negara yang menjadikan Islam sebagai agama utama dan negara yang mendeklarasikan diri menjadi negara muslim.

Coba fokuskan pandangan anda pada area yang di arsir. Apa yang terbersit dalam fikiran anda? Negara-negara yang berada di papan atas adalah negara yang tergolong maju dan non-muslim. Bisa jadi anda pun berkesimpulan sama dengan para komentator: kegagalan penerapan syariah Islam. Atau, negara-negara Islam identik dengan keterbelakangan. Jadi, buat apa harus menerapkan syariah kalau hasilnya justru negara nonmuslim yang justru maju? Begitu pandangan sebagian para komentator. Toh mereka tidak menerapkan syariat Islam. Toh mereka bahkan banyak yang atheis. Buktinya malah maju dan islami. Cukup logis bukan?

Sebelum saya lanjutkan, mari kita lihat sejenak apa tujuan riset Scheherazade S. Rehman and Hossein Askari. Saya kutipkan abstract-nya ya:

In the post 9/11 era, there is growing interest in the complex relationship between religion, economics, finance, politics, law, and social behavior. This has brought with it a disagreement on how to investigate the impact of religiosity, whether religion affects the economic, political, and social outlook of countries or whether these factors affect religiosity? In other words, should religion be viewed as a dependent or an independent variable? In this paper we ask what we believe to be the precursor question to such linkages, namely, do self-declared Islamic countries, as attested by membership in the OIC (Organization of Islamic Conference), embrace policies that are founded on Islamic teachings? We believe that only once this question is addressed can one begin to estimate how Islam adherence to Islam may affect economic, political and social behavior.

Jadi pertanyaan riset yang hendak dijawab adalah untuk melihat bagaimana negara anggota organisasi negara Islam, menerapkan ajaran Islam. Harapan sang peneliti, melalui survey tersebut akan dapat memberikan titik terang atas jawaban pertanyaan yang lebih besar sebagaimana kalimat sebelumnya yang saya bold. Bagaimana pengaruh keberagamaan terhadap ekonomi, politik dan social atau sebaliknya?

Jika pernyaan tersebut yang hendak di jawab, kesimpulan yang dilansir oleh media-media bahwa banyak negara OIC yang belum menerapkan ajaran Islam bisa jadi benar. Nama-nama negara yang diarsir tersebut cukuplah bisa digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa banyak negara islam yang belum menerapkan ajaran Islam. Justru negara non-Islam yang menerapkan nilai Islam. Meski tentu perlu dilihat terlebih dahulu kriteria-kriterianya. Hanya saja, coba anda perhatikan kembali research questionnya? Do self-declared Islamic countries embrace policies that are founded on Islamic teachings? Jika ini pertanyaannya, mengapa harus memasukkan negara-negara non self-declared Islamic countries? Relevankah menurut anda?

Terlepas dari masalah relevansi ada hal lain yang justru menarik dari table di atas. Coba kali ini fokuskan pandangan pada area tanpa arsiran. Apa kesimpulan anda ketika memfokuskan pandangan pada daerah tanpa arsiran? Negara-negara tersebut bukan anggota OKI. Bukan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Bukan negara yang pemerintahannya berdasarkan Islam. Apalagi negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara Islam. Mereka adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, Katholik, Budha, Hindu, atheis dan agama lainnya.

Perhatikan baik-baik. Apa kesimpulan anda? Masih kah anda mendapat kesimpulan yang sama?

Coba perhatikan sekali lagi. Masihkan kesimpulan anda sama dengan saat anda melihat daerah arsiran. Syukurlah jika sudah berubah. Negara-negara tanpa arsiran tersebut ranking-nya bervariasi. Memang, 37 teratas ditempati oleh negara tanpa arsiran. Tapi lihatlah, banyak juga daerah tanpa arsiran di posisi bawah.

Jujur, sebenarnya saya ingin sekali melakukan riset kecil-kecilan. Mencari mayoritas pemeluk agama di seluruh negara dalam penelitian Rehman dan Askari. Kemudian, menyandingkannya dengan hasil penelitian mereka. Sayang, saya tidak punya waktu. Sekelumit informasi yang saya dapat dari ensiklopedi mbah Wiki sebagai berikut:

Table Country Non Muslim (2)

Tabel yang saya olah dari mbah wiki dan transparansi.org di atas ternyata memaparkan fakta bahwa negara-negara non muslim berada di dua posisi, ranking atas juga ranking bawah. Demikian halnya negara Islam. Tingkat persepsi korupsi atau Corruption perception index (CPI) menunjukkan hal yang sama. Non-Muslim countries tingkat korupsinya juga merata. Tak hanya di ranking atas tapi juga di ranking bawah. Jadi, masihkah anda berkeyakinan bahwa Islam menghambat kemajuan?

Selain itu, dengan peringkat Malaysia yang berada di posisi 38 yang notabene diatas negara-negara non-muslim lain apakah itu juga menegasikan arti ke-Islam-an? Distribusi hasil survey atas indikator-indikator penilaian penerapan ajaran Islam sepertinya belum bisa menjelaskan adanya variasi hasil survey. Bisa jadi ada factor lain yang justru sangat berpengaruh terhadap kemajuan negara yang nota bene justru menerapkan ajaran Islam.

Dalam ilmu statistic data dengan distrubusi hasil tersebar bisa dianggap tidak dapat diandalkan untuk mengambil kesimpulan. Untuk lebih jelasnya mungkin gambar terkait dengan teknik untuk menilai keadalan dan validitas data yang digunakan dalam pengambilan kesimpulan.

reliable valid

Oya, perlu saya tambahkan informasi pula bahwa dalam penelitian tersebut Rehman dan Askari tidak melakukan regresi yang biasa digunakan untuk melakukan uji hubungan sebab akibat dalam ilmu statistik. Penelitian hanya sebatas melakukan penilaian atas Islamicity Index. Jadi, peneliti tidak melakukan test hubungan antara agama dengan Islamicity Index.

Perhatikan pula kesimpulan kedua peneliti dalam Jurnal:

Given our results, one can surmise that the lack of economic, financial, political, legal, and social development can be attributed to age-old problems of developing countries, such as inefficient institutions, bad economic policies, corruption, underdeveloped rule of law and equity, economic and social systems failing woman and children, and other traditional developing country diseases. It is, in fact, the shortcomings of the governments and their respective policies, not religion, that account for the dismal economic, financial, political, legal, and social developments and progress in the Middle East (even those blessed with oil). This is further reinforced by the Islamic economic, financial, political, legal, and social principles represented by 67 proxies used in the IslamicityIndex. If examined closely, all 67 proxies of the Index are standard practices of good governance and good economic, financial, political, legal, and social policies, applicable to any country regardless of religious orientation.

Mereka berdua mengatakan bahwa masalah pembangunan ekonomi, keuangan, hukum dan social adalah masalah klasik yang dihadapi seluruh negara berkembang. Dan perhatikan kalimat kedua yang saya bold: not religion. Ya, bukan agama yang berpengaruh terhadap kegagalan pembangunan ekonomi, keuangan, hukum dan social di Timur Tengah.

Hanya memang perlu disayangkan pernyataannya yang yang dikemukakan sang peneliti bukan kesimpulan yang di jurnal tapi justru pernyataan:

“Kami menggarisbawahi bahwa banyak negara yang mengakui diri Islami tetapi justru kerap berbuat tidak adil, korup, dan terbelakang. Faktanya mereka sama sekali tidak Islami,” ujar Askari.

Padahal secara jelas dalam kesimpulan bahwa masalah keterbelakangan adalah masalah semua negara berkembang.

Satu lagi, ada hal-hal menarik yang patut kita cermati bersama. Coba anda lihat table berikut. Negara dalam table yang saya kutip dari hasil penelitian Rehman dan Askari di bawah ini adalah table negara Islam yang overall Islamic index dan economic Islamicity index-nya di bawah 100, kecuali Qatar dan Saudi Arabia. Pertama, coba perhatikan Qatar dan Uni Emirat Arab. Terlebih khusus Qatar. Corruption perception index kedua negara tersebut masuk ranking 30 besar. Bukan kah itu fantastis. Itu di satu sisi. Di sisi lain, overall Islamic index dan Economic Islamic Index-nya jeblok. Qatar ranking 28 untuk CPI, tapi ranking 112 dalam hal OI2. Kok bisa begtu njomplang? Uni Arab Emirat masih mending, selisihnya hanya 30. Demikian juga Saudi Arabia selisih 28. Bahkan, untuk Saudi Arabia sendiri cukup menarik untuk dicermati. OI2 Saudi 131 sedangkan EI2 91, atau selisih 40 points. Saudi pun memiliki Index Persepsi Korupsi cukup bagus yang menempatkannya di ranking 63.

Table islamic country (2)

Kok bisa? Ya, apa lagi kalau bukan factor kriteria penilaian yang digunakan. Kriteria dalam Overall Islamicity Index terdiri dari , EI2 ditambah Legal And Governance IslamicityIndex (LGI2), Human and Political Rights IslamicityIndex (HPI2), dan International Relations IslamicityIndex (IRI2). Penjelasan akan pertanyaan tersebut InsyaAllah akan saya ulas pada bagian kedua yang khusus menyoroti masalah indikator yang menjadi penilaian Overall Islamicity Index.

Masih sanggup meneruskan membaca?

Baiklah. Pada prinsipnya saya setuju dengan kesimpulan dalam Jurnal sang peneliti. Seandainya kita melihat table di atas tanpa ada arsiran dengan mudah kita akan mendapatkan kesimpulan yang sama. Menurut saya, jika pertanyaan riset yang akan dijawab adalah bagaimana penerapan Islam di negara-negara Islam, memasukkan negara non Islam ke dalam survey menjadi tidak relvan. Dari sini lah kemudian seharusnya akan menjadi dasar analisis untuk menggali kenapa Malaysia lebih maju dibanding Somalia atau Sudan. Jika analisis seperti ini yang dilakukan justru banyak hal yang bisa di gali terkait faktor-faktor yang mendukung dan menghambat penerapan ajaran Islam.

Di sisi lain, memasukkan non-muslim ke dalam survey mengantarkan kita pada banyak hal yang menarik untuk digali. Misalnya, mengapa Chile dan Uruguay bisa jauh lebih unggul dibandingkan negara tetangganya di Amerika Latin. Atau, mengapa Botswan bisa merubah dirinya dari negara miskin menjadi middle income countries dengan ranking indeks persepsi korupsi di ranking 30 dan Islamicity Index ranking 51? Apa yang membuat Botswana bisa memiliki Human Development Index jauh melampaui negara afrika lainnya? Tentu akan lebih menarik untuk menggali bagaimana karakteristik kebijakan-kebijakan yang disusun oleh negara-negara yang berada di urutan atas. Sebaliknya, hal ini juga akan mengungkap berbagai factor yang menghambat para poor performers.

Hal kedua yang menjadi perhatian adalah bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenturkan antara muslim dan nonmuslim. Tapi, lebih kepada bagaimana kita bisa melihat permasalahan bangsa ini sebagai masalah bersama yang dihadapi seluruh negara berkembang tanpa melihat agama mayoritas penduduk atau agama resmi negara. Mencermati hasil penelitian ini seharusnya bisa menjadi informasi yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan untuk menyusun strategi bersama untuk Indonesia yang lebih baik. Dan bagi kita…..tentu saja kita bisa menjadi potongan-potongan puzzle yang menyusun potret indah Indonesia tercinta dengan segenap yang bisa kita perbuat.

Silakan baca link terkait:

https://anasejati.wordpress.com/2017/05/15/hati-hati-membaca-index-persepsi-korupsi-bagian-1/  Dalam tulisan ini dikupas bagaimana survey-survey semacam ini, Indeks persepsi korupsi misalnya, digunakan oleh organisasi internasional untuk ‘memaksakan kebijakan’ di negara-negara berkembang

https://anasejati.wordpress.com/2017/06/06/hati-hati-membaca-indeks-persepsi-korupsi-bagian-2/ Dalam tulisan ini dibahas bagaimana definisi korupsi sangat mempengaruhi persepsi. IPK hanya dibatasi pada korupsi di sektor publik. Padahal di negara maju justru korupsi merambah sektor privat yang akhirnya berdampak pada masyarakat luas

 

29 thoughts on “Hati-hatilah Membaca Hasil Survey Islamicity Index!!!

  1. Kalau membaca artikel atau dapat referensi dari pihak non muslim kemudian bicara tentang non muslim, memang begitu kejadiannya mba.. bikin jantungan dan gregetan.. 🙂

    1. Setuju Ari, hanya saja kita juga butuh ‘kecerdasan’ untuk mengungkapkan gregetan karena jika tidak justru akan menjadi bumerang yang justru menyudutkan kita

    2. http://global.islamicity.tv : Kalau dilihat dari sisi positifnya dan kita mau mendengarkan peneliti Islamicity Performance Index maka Penjajahan yang dialami oleh negara negara Islam yang tergabung dalam OIC menyebabkan banyak kehancuran dari sendi sendi Islam termasuk semua index kemajuan pedoman, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta tokoh tokoh alim ulama yang banyak dihabisi. Dilain sisi penghadangan oleh oknum oknum mafia tersembunyi yang tidak ingin Islam maju atau memimpin kembali dunia sebagai khalifah juga menyebabkan negara negara Islam belum bisa sehat sembuh apalagi maju, makmur dan sejahtera. Mungkin semoga dibutuhkan 100 Tahun untuk bangkit, berdiri tegaknya umat dan ulama …

  2. Sy setuju ada kekurang adilan dalam penilaian. Tetapi memang harus diakui banyak negara mayoritas penduduknya muskim yg justru tidak islami, kl menurut saya karena pemerintahannya tidak menjalankan hukum islam dengan benar. Bahkan arab saudi pun berbentuk kerajaan, bentuk pemerintahan yg tidak disukai Nabi Muhammad..

  3. Saya sependapat atas kesimpulan riset ini :
    “Mereka berdua mengatakan bahwa masalah pembangunan ekonomi, keuangan, hukum dan social adalah masalah klasik yang dihadapi seluruh negara berkembang. Dan perhatikan kalimat kedua yang saya bold: not religion. Ya, bukan agama yang berpengaruh terhadap kegagalan pembangunan ekonomi, keuangan, hukum dan social di Timur Tengah.”

    Menurut hemat saya, riset ini sebenarnya bermanfaat untuk meneliti perbedaan perilaku penduduk antara negara maju dengan negara berkembang atau terbelakang. Saya berpendapat bahwa hasil untuk Bosnia yang mbak catat, itu dalam statistik seharusnya dianggap error, dan saya sangat tidak yakin atas keshahihan data dan pengambilan datanya. Satu lagi adalah Hongkong, itu juga pasti error. Semua orang yang pernah ke Hongkong pasti tahu bahwa penduduk Hongkong itu, tidak ramah, licik, cenderung suka menipu, kasar dsb, bagaimana mereka dapat rangking sedemikian tinggi.

    Saya pernah tinggal di Canada, yang harus diakui memang secara umum masyarakatnya sangat penuh disiplin, menghormati hak hak orang lain dan banyak perilaku sehari-hari yang patut dicontoh. Akan tetapi dengan masuknya imigran asal Hongkong, maka situasi, khususnya yang tampak dalam berlalu lintas, berubah. Banyak pengemudi yang tidak sabaran, tidak mau antri dengan teratur, tidak mau menghormati hak hak penyeberang jalan, yang ditandai dengan perilaku suka menekan klakson mobil, dan semua orang asli Canada akan bilang, “Itu pasti pengemudinya orang Hongkong”.

    Saya berpendapat data ini hanya valid pada waktu dilakukan pengambilan datanya. Saya yakin jika negara seperti Canada, semakin banyak dimasuki oleh orang orang dari negara berkembang atau bahkan dari Hongkong, yang menurut pendapat saya punya perilaku dasar yang buruk, maka cepat atau lambat Islamicity Indexnya pasti akan turun. jika diukur dengan ukuran yang sama.

    Kesimpulan, sebenarnya periset ini MENGAKUI BAHWA NILAI NILAI YANG TERKANDUNG DALAM AJARAN ISLAMLAH YANG TERBAIK, karena itu mereka coba mengukur perilaku penduduk suatu negara dibandingkan dengan AJARAN ISLAM. Saya sangat setuju dengan mbak, hasil ini dapat kita jadikan salah satu panduan/referensi untuk mengukur perilaku masyarakat kita sehari-hari. Contoh yang paling sederhana adalah kemampuan dan kemauan kita untuk mengantri dalam segala hal sangatlah memprihatinkan, khususnya justru sejak era reformasi.

    Marilah kita masing masing introspeksi apakah kita sudah mampu manjalankan semua ajaran berperilaku dalam Islam, jika belum, mari kita mulai mamperbaikinya, tanpa menunggu aturan atau panduan pemerintah, karena kita tahu bahwa mereka terlalu sibuk mengejar pencitraan diri sendiri, yang tidak berdampak positif pada kemajuan negara ini.

    1. Makasih atas komentarnya Deekay McKay. Saya sepakat, mulai dari kita sendiri untuk berubah dan mulai mempraktekkan nilai-nilai Islam. Dan, kalau mungkin memiliki akses untuk melakukan perubahan dalam skala yang lebih luas alangkah baiknya dapat dimanfaatkan dengan memberikan pengaruh pada masyarakat sekitar dan para pengambil keputusan.

  4. kalau kita ambil positif poin dari nilai islam apa saja kah yang belum kita amalkan dalam kehidupan sehari ? maka insya Allah muslim sebagai umat terbaik yang senantiasa mengajak kebajikan dan senatiasa mencegah kemunkaran seharusnya sebagai main islamicityindexnya qs 3:110 … semoga sehat sukses selamat bahagia dunia akhirat … Aamiin

    1. Terima kasih atas komentarnya Pak Bejo Budiman….benar. Saya juga sangat setuju bahwa banyak hal yang harus kita benahi sebagai umat Islam. Hanya saja sepertinya pemahaman atas konteks yang lebih luas juga dibutuhkan untuk dapat melihat secara komprehensif permasalahan kita dalam tataran isu2 internasional. Tulisan terkait indeks-indeks seperti ini rupanya juga menjadi perhatian banyak peneliti di barat. Silakan simak tulisan saya terkait indeks persepsi korupsi berikut http://www.warungkopipemda.com/hati-hati-membaca-hasil-survey-indeks-persepsi-korupsi/…smoga bermanfaat

  5. Sy justru berpandangan hasil ini terkait dg karakter dr msg2 ras manusia, mohon maaf kl misal agak rasis. Kaukasian sampai saat ini menurut sy masih lebih unggul. Agama tidak salah, yg perlu diperbaiki adalah karakter penganutnya.

    1. makasih komentarnya bro Kukuh. Sepakat..agama tidak salah, karakter penganutnya yang bermasalah. Pernyataan bahwa kaukasian unggul sebenarnya bisa di gali lagi, mengapa mereka unggul? bagaimana latar belakang historis mereka unggul? karena dalam sejarah pun mereka pernah memiliki sejarah hitam, baik pada masa era abad kegelapan maupun pasca renaissance hingga mereka melebarkan sayap untuk meraih kemakmuran melalui proses imperialisme. Menggeneralisasikan ras dengan karakter menurut saya juga kurang fair. Faktanya, di negara2 yang dianggap maju pun ada juga orang jahatnya. sebaliknya, di Indonesia yang dianggap korup pun banyak orang baiknya.

    1. Boyanders, thanks dah mampir….Alat ukurnya Islami yang digunakan peneliti tersebut tidak memasukkan kriteria tentang kejahatan seksual. Tapi, menarik untuk ditelusuri tentang kejahatan tersebut.

  6. Maaf, (1) Anda salah menafsirkan gambar statistik yang Anda tampilkan untuk mendukung argumen Anda. Gambar itu kan yang benar untuk menjelaskan Karakteristik Instrumen (alat ukur: Validitias dan Reliabilitas) yang diuji coba, bukan untuk menyimpulkan data penelitian, apalagi penelitian deskriptif. (2) Penelitian itu adalah memang penelitian deksriptif, jadi tidak ada hubungannya dengan analisis Regresi. Analisis Regresi itu untuk penelitian inferensial. Mengapa Anda mempertanyakan hal tsb. sekedar untuk memperkuat argumen Anda? (3) Dengan sangat prihatin, saya sebagai salah 1 umat muslim memang mengakui ada benarnya juga bagian kesimpulan penelitian itu, bahwa Indonesia negara mayoritas muslim, tapi masih jauh dari perilaku Islami, baik dari masyarakat bawah, apalagi oknum-oknum tokoh masyarakatnya. Juga saya jadi prihatin juga dengan argumen2 Anda yang masih terasa kurang bijak. Maaf, diri saya juga berusaha introspeksi.

  7. Semoga kita semua dihindarkan dari … sibuk mencari kelemahan orang lain, jadi lupa memperbaiki diri. Apalagi orang lain sudah bantu menunjukkan kelemahan kita, tak bijaklah kita mencari pembelaan dengan mencari kelemahannya.

    1. Sepakat, hal ini juga sudah saya tekankan di paragraf terakhir: Hal kedua yang menjadi perhatian adalah bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenturkan antara muslim dan nonmuslim. Tapi, lebih kepada bagaimana kita bisa melihat permasalahan bangsa ini sebagai masalah bersama yang dihadapi seluruh negara berkembang tanpa melihat agama mayoritas penduduk atau agama resmi negara. Mencermati hasil penelitian ini seharusnya bisa menjadi informasi yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan untuk menyusun strategi bersama untuk Indonesia yang lebih baik. Dan bagi kita…..tentu saja kita bisa menjadi potongan-potongan puzzle yang menyusun potret indah Indonesia tercinta dengan segenap yang bisa kita perbuat.

  8. Salah satu kesimpulan sy : nilai-nilai Islam adalah universal, berguna untuk seluruh umat manusia.
    Maka……
    Harus digiatkan untuk menerapkan nilai-nilai Islam itu ke dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa perlu menunggu adanya status “negara Islam” atau “negara bersyariat” dan sejenisnya.

    1. Benar mas Chandra…sepakat. dan…Maka, tak perlu menunggu pemerintah, tak perlu menunggu tokoh masyarakat..bisa dimulai dari diri sendiri:)

  9. Luar biasa tulisannya Mbk Nur Ana, semoga dapat menjadi bahan renungan, kajian dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga masih ingat dengan saya Herry kita sama sama di perwakilan Sulsel dahulu. Thanks.

    1. Alhamdulillah..smoga bermanfaat mas…Wah..kita dipertemukan lagi di sini.. masih ingat mas kita dulu pernah sama2 mbak ketut dan mbak ramlah di lumpia lasinrang:)

  10. Dr riset trsb saya mengartikan bahwa penulis hendak menyampaikan mengenai apakah populasi penduduk islam berpengaruh terhadap dijalankannya nilai-nilai islam (yg universal spt saling menghargai, disiplin, jujur, tanggung jawab, cerdas, dst).
    Bukan untuk menjelaskan “Apakah penting menerapkan syariat islam atau tidak”.

    1. Sepakat Irzabelle, hanya saja perdebatan dalam komentar tulisan tentang islamicity index malah arahnya ke sana. Mempertanyakan penetapan syariat Islam atau tidak. Kalau tentang hal itu, perlu pembahasan lain lagi

  11. Sedikit tertawa ketika melihat komentar,

    Salah satu kesimpulan sy : nilai-nilai Islam adalah universal, berguna untuk seluruh umat manusia.
    Maka……
    Harus digiatkan untuk menerapkan nilai-nilai Islam itu ke dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa perlu menunggu adanya status “negara Islam” atau “negara bersyariat” dan sejenisnya.

    Harus sedikit diketahui, bahwa indikator yang dilakukan dalam survei islamicity tersebut hanya hubungan atau relasi antar manusia saja, dimana tentu terdapat nilai-nilai yang universal di dalam ruang publik. Tidak perlu ribut apakah ini islam sekali atau tidak, karena yang dibahas dalam survei tersebut hanya nilai-nilai universal yang tentu dimiliki oleh manusia. Yang nanti akan dikenal dengan istilah Ruang Publik

  12. Bismillaah

    Jazaakillaahu khairaa atas tulisannya.. ada jurnal yang me-“refute” jurnal tahun 2010 tersebut dan berkesimpulan bahwa indikator yang digunakan untuk membuat Islamicity Index tersebut adalah indikator dari Barat (World Bank, dst.)

    Misalnya, menggunakan indikator Tax, padahal jika ingin meneliti mengenai Islam, maka indikator yang digunakan seharusnya adalah Zakat.

    Jadi indikator yang digunakan bukan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, seperti misalnya yang berdasarkan Maqashid Asy-Syariah.

    Untuk lebih lengkapnya bisa buka di sini:

    https://www.researchgate.net/publication/323604408_The_Economic_Islamicity_Index_between_Islamicity_and_Universality_Critical_Review_and_Discussion

    Baarakallaahu fiik

Leave a comment