Hati-hati membaca Index Persepsi Korupsi (Bagian 1)

Akhir Januari lalu (27/1/2016), Direktur Program Transparency International Indonesia meluncurkan hasil indeks persepsi korupsi atau Corruption Percetion Index (CPI) 2015 yang menempatkan Indonesia di peringkat 88. Satu prestasi tersendiri karena score yang diperoleh meningkat dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 34 menjadi 36 hingga mampu menggeser 19 negara dari posisi 107 tahun lalu. Hal ini tentu juga berarti bahwa persepsi masyarakat terhadap tata kelola pemerintahan kita sudah membaik.

 Meski begitu, angka 88 masih terasa begitu pahit. Apalagi kalau melihat secara lebih mendetail tabel yang dipublikasikan oleh Transparency International. Seperti tahun-tahun sebelumnya negara yang tergabung dalam OECD menempati urutan teratas dengan Denmark sebagai juaranya. New Zealand menempati urutan ke 4 dengan skor 88. Australia, dengan keempat kotanya yang masuk dalam 10 besar daftar the most livable city in the world, menempati ranking ke 13 dengan skor 79.

 Di sisi lain, hasil survey tersebut memunculkan rasa penasaran. Khususnya jika kita cermati Yunani, Irlandia, Chile, Rwanda dan Botswana. Yunani, Chile, dan Irlandia memang termasuk dalam negara-negara OECD. Bisa jadi wajar kalau ketiga negara tersebut berada di papan atas. Bagaimana dengan Rwanda dan Botswana? Apa rahasia kedua negara yang berada di Afrika tersebut mampu berada jauh di atas Indonesia? Mari kita cermati satu per satu.

 Yunani menempati urutan ke 52 dengan skor 46. Tahun lalu negara tersebut dikabarkan mengalami colaps hingga memaksa pemerintah menutup semua bank setidaknya enam hari kerja. Bahkan, dalam satu hari transaksi penarikan dibatasi maksimal sebesar 60 euro atau sekitar sembilan ratus ribu rupiah.  Hutang pemerintah yang begitu besar, tahun 2014 mencapai 177,10 dari total pendapatan domestik bruto.

 Sebelum krisis 2008, Yunani sebenarnya sudah memiliki hutang yang cukup besar. Hanya saja, pemerintah Yunani berhasil memalsukan jumlah hutang dalam laporan keuangannya. Selain hutang yang tinggi, salah satu penyebab deficit anggaran yang cukup besar adalah tingginya tingkat penggelapan pajak. Dalam paper yang berjudul Bank Credit: Evidence from Greece, Nikolaos T. Artavanis, Adair Morse, dan Margarita Tsoutsoura menyatakan bahwa diperkirakan 43-45% self-employed income tidak dilaporkan. Atas penghasilan ini, pajak yang digelapkan diperkirakan mencapai 28.8 milyar euro. 

 Irlandia, yang dua tahun lalu disebut-sebut sebagai negara yang paling Islami berdasarkan survey Islamicity index, menempati urutan ke 18. Di sisi lain, di antara negara-negara Eropa Irlandia termasuk negara yang paing menderita akibat krisis 2008 selain Yunani. Irlandia juga termasuk negara pengutang yang cukup besar. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Bloomberg, rasio hutang terhadap pendapatan domestik bruto atau Gross Domestic Product (GDP) Irlandia mencapai 138,9%. Hutang yang tinggi ini tak lepas dari dampak krisis. Sebagai akibatnya, gelombang eksodus generasi muda ke negara-negara lain, termasuk Australia, sangat tinggi.

 Dari sisi performa pendidikan, Irlandia memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sangat tinggi. Negara ini menggratiskan biaya pendidikan untuk warga negaranya hingga sarjana (S1). Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh perusahaan-perusahaan besar yang menanamkan modalnya di sana. Irlandia sempat dijuluki sebagai Celtic Tiger karena prestasinya dalam meninggkatkan pertimbuhan ekonomi.

 Kalau Irlandia menempati urutan ke 18 dalam survey CPI, Chile berada di urutan ke 23 dengan score 70. Terlepas dari tingginya CPI Chile, negeri yang pernah di pimpin oleh Augusto Pinochet ini memiliki kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Data World Bank tahun 2013 mencatat index gini sebesar 50.8.  Secara nasional tingkat pertumbuhan ekonomi memang tinggi. Hanya saja menurut Andres Zahler, cendikiawan dari Harvard Center for International Development dan professor di Diego Portales University di Chile, kabarnya 20% dari penduduk Chile mempunyai penghasilan sebagaimana penduduk di negara maju. Menurut informasi yang dirilis oleh Council on Hemispheric Affairs ini, sisanya (80%), berpenghasilan tak lebih dari penduduk negara middle dan low income countries.

 Lain Chile, lain lagi Rwanda yang menempati urutan 44 dengan skor 54. Rwanda menjadi menarik mengingat sejarah kelam  genocide dan tragedi kelaparan. Ya, bagaimana negara tersebut bias memperoleh skor yang tinggi? Sebelum menelusur pertanyaan tersebut, perlu juga diketahui bahwa indeks kesenjangan di Rwanda juga tinggi, lebih tinggi dari Chile, yaitu sebesar 50.8 menurut data world bank tahun 2011.

 Ada beberapa hal yang menarik yang perlu dicatat tentang indeks  persepsi korupsi di Rwanda ini. Khususnya terkait dengan kondisi social politik yang terjadi di negara tersebut. Interview dengan contributor AntiCorp, lembaga yang riset anti korupsi, Alessandro Bozzini, mengungkapkan bahwa informasi tentang korupsi sulit diperoleh. Dari sisi masyarakat, mereka cenderung enggan untuk membicarakan isu-isu politik dan korupsi.  Alessandro juga menambahkan bahwa Rwanda memang menempati urutan tertinggi dalam pencapaian indikator pengendalian korupsi, namun indikator akuntabilitasnya rendah. Menurutnya, Rwanda telah berupaya untuk mengendalikan korupsi, sayangnya tidak didukung dengan adanya transparansi, kebebasan media, dan tidak adanya sistem peradilan dan masyarakat sipil yang independen. Dengan keterbatasan tersebut, ditambah dengan psikologi masyarakat yang cenderung tertutup membuat pengumpulan data terkait dengan persepsi korupsi menjadi bias.

 Bagaimana dengan Botswana? Negara yang memiliki populasi sekitar 2 juta ini menempati urutan ke 28 dengan skor 63 dalam survey CPI. Menurut World Bank (http://www.worldbank.org/en/country/botswana/overview), Botswana dengan penduduk dua juta jiwa yang merdeka sejak tahun 1966 telah menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyamai para upper-middle income countries. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi rupanya digerakkan oleh ekspor berlian. World Bank menyebutnya: Botwsana is a development success story.

 Namun demikian, Botswana juga tidak lepas dari permasalahan lain. Seperti halnya dengan Chile dan Rwanda, indeks ketimpangan di Botswana sangat tinggi, yaitu  60. Masih menurut World Bank, Botswana memiliki angka kemiskinan yang tinggi  dan indeks pembangunan manusia yang rendah. Di sisi lain, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan termasuk tinggi , mencapai 9% dari GDP. Pemerintah membebaskan biaya pendidikan di tingkat dasar. Namun demikian, Botswana belum mampu menciptakan tenaga kerja terdidik. Angka pengangguran cukup tinggi, mencapai 17,89%.  Demikian halnya dengan prevalensi HIV/AIDS yang mencapai 22%.

 Membandingkan prestasi anti-korupsi hasil survei CPI di antara negara-negara di atas memperlihatkan suatu paradox.   Yunani, Irlandia, Chile, Rwanda, dan Botsawan memang menempati urutan jatas, jauh di atas prestasi Indonesia. Di sisi lain, fakta juga menunjukkan bahwa negara-negara tersebut juga dililit permasalahan akut.  Kondisi ini tentu memunculkan banyak pertanyaan: mengapa Yunani bias menempati urutan ke 52 sementara memikul hutang  dan kasus tingkat penggelapan pajak  yang tinggi. Irlandia, mungkin tidak separah Yunani. Namun dengan tingkat hutang yang tinggi tentu menimbulkan pertanyaan tentang dampak ekonomi di masa depan.

 Demikian halnya dengan Chile yang menempati ranking ke 23 dengan skor 70. Mengapa negara dengan CPI yang tinggi memiliki ketimpangan pendapatan yang juga tinggi? Atau Botswana, mengapa dengan skor CPI 63 juga tidak mampu menurunkan angka pengangguran, kemiskinan, dan HIV/AIDS? Atau Rwanda yang justru memancing tanya terkait dengan validitas hasil pengukuran CPI?

 Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari pembenar atas rendahnya hasil CPI Indonesia. Jelas, korupsi adalah PR yang harus diselesaikan. Namun demikian, perlu kiranya untuk tidak menjadikan CPI sebagai satu-satunya indikator dalam menilai kualitas suatu negara hingga membuat kita kehilangan kepercayaan diri di dunia internasional.

Judith Kelley dan Beth A Simon dalam artikelnya yang berjudul Politics by Number: Indicators as Social Pressure in International Relations mengatakan bahwa performance indicators atau indikator kinerja, dari indikator korupsi hingga indikator kebahagiaan, adalah salah satu bentuk social pressure yang semakin mengglobal. Dalam artikel tersebut, Kelley dan Simon juga mengatakan bahwa indeks-indeks untuk mengukur kinerja tersebut cenderung menyederhanakan fakta-fakta yang begitu kompleks. Indeks Persepsi Korupsi Yunani, Irlandia, Chile, Rwanda dan Botswana tentu bisa merepresentasikan argumen mereka berdua.

Hal senada juga dikatakan oleh Oded Lowenheim dalam artikel yang berjudul Examining the State: A Foucauldian Perspective on International Governance Indicators. Menurut Lowenheim, penilaian atau perankingan seperti IPK tidak bisa dilepaskan dari power yang pada akhirnya akan membentuk dan mengarahkan kebijakan-kebijakan di negara-negara. Lowenheim menyatakan alasan mengapa organisasi internasional melakukan penyelenggarakan perankingan skala internasional adalah bahwa indikator-indikator tersebut dapat digunakan pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan atas kebijakan-kebijakannya. Namun, Lowenheim juga menekankan pentingnya memahami relasi power dan knowledge yang tak bisa dilepaskan dalam penilaian. Lanjutnya, perankingan adalah upaya construction of truth atau konstruksi kebenararan atas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai alat untuk melegitimasikan suatu kebijakan.

Kritik terhadap indeks persepsi korupsi juga dikemukakan oleh Barry Hinders yang mengaitkannya dengan agenda neoliberalisme. Berbeda dengan liberalisme, ia katakan, ‘neoliberalism differ from earlier forms of liberalism in bringing such indirect government into areas of public life which has previously been organised in other ways’. Point utama Hinders tentang neoliberalsm sebagaimana yang dikatakan ‘indirect government’. Dalam hal ini IPK difungsikan sebagai alat untuk melakukan ‘indirect government’ atau melakukan tanpa harus turun tangan secara langsung.

Social pressure dan stigmatisasi atas negara-negara dengan IPK rendah termasuk Indonesia memaksa mereka untuk menyesuaikan kebijakan-kebijakan yang diambil secara suka rela. Lihat saja, dalam road map reformasi birokrasi, peningkatan IPK juga menjadi target yang ingin dicapai.

Jadi?

Indonesia adalah Indonesia. Indonesia bukanlah New Zealand, FInlandia, Norwegia, atau Singapura. Indonesia adalah negara yang menempati posisi ke empat dengan jumlah penduduk terbesar setelah China, India, dan Amerika Serikat. Indonesia memiliki 17 ribu pulai dengan 300 kelompok etnis yang masing-masing memiliki warisan budaya. Perbedaan tersebut tentu juga bukan berarti bahwa kita harus mengabaikan hasil survei ini. Namun, pemahaman atas konteks sangatlah diperlukan dalam melihat dan memaknai capaian Indeks Persepsi Korupsi ataupun capaian dalam skala internasional lainnya. Hal ini selayaknya juga harus dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan agar tidak sekedar menerima tanpa mengkritisi ‘resep-resep’ yang di berikan oleh organisasi-organisasi internasional. Dan, dengan memahami konteks, baik dari sisi demografi dan sejarah, smoga bisa mengusir rasa rendah diri dan lebih mencintai Indonesia kita.

Leave a comment