MUNGGUR

Pernahkan anda mendengar kata munggur sebelumnya?

Saya yakin, hanya anda yang berasal dari Jawa lah yang mungkin pernah mengenal kata tersebut. Atau, bisa jadi meski anda dibesarkan di Jawa pun belum paham arti kata tersebut.

Jangan kuatir, anda tidak dikenakan denda satu rupiah pun kalau anda belum tau. Ya..tiba-tiba kata tersebut muncul begitu saya berfikir tentang ciri khas ke-Indonesiaan. Baiklah, munggur adalah kata lain dari pohon trembesi. Aha…ini ji ternyata artinya. Pohon trembesi tak hanya tumbuh di Pulau Jawa. Di mana saja pohon tersebut bisa di jumpai di negeri ini.

Pemahaman saya tentang munggur baru saja terevisi hari ini saat saya coba cari referensi tentang munggur. Saya fikir munggur adalah biji buah pohon trembesi. Ternyata munggur artinya sama dengan pohon trembesi itu sendiri. Ingatan saya tentang munggur adalah saat dimana sekitar 32 tahun yang lalu saya punguti buah pohon trembesi alias munggur yang tumbuh di pinggir jalan atau di kebun tetangga. Bersama sahabat karib saya kumpulkan buah tersebut kemudian kami keringkan. Sembari bermain petak umpet kami menunggu hingga munggur-munggur tersebut mengering agar bisa diambil biji buahnya. Lalu, kami pun menyangrai munggur-munggur warna hitam sebesar biji kedelai yang telah kami kumpulkan disebuah tungku. Munggur kami anggap matang ketika kulit bijinya sudah mulai terbelah hingga terlihatlah warna kecoklatan isi kulit buahnya. Hmmmm..serasa lezat dan gurih sekali saat kami santap bersama-sama sambil berceloteh ke sana ke mari. Sayang sifat munggur sebangsa dengan petai maupun jengkol. Jadi bersiaplah menjauh dari orang lain jika anda selesai mengkonsumsi munggur. Anda mempunyai pengalaman yang sama?

 

Beberapa puluh tahun kemudian saya menemukan kembali buah pohon trembesi di sebuah kota nun jauh dari tanah kelahiran saya. Ah…serasa mengalami De Ja Vu. Kenangan indah berburu munggur seperti terhampar di depan mata. Saat itu saya ceritakan kisah masa kecil saya kepada seorang kawan yang saat itu berada di tempat yang sama. Dia hampir tidak percaya. Masak sih dimakan? Begitu tanyanya.

Kisah perburuan munggur sama dengan kisah pencarian mlanding ataupun laron.  Sama halnya dengan munggur, mlanding juga bahasa Jawa yang berarti biji buah pohon lamtoro atau petai cina. Semasa kecil buah lamtoro muda selalu menjadi incaran saya dan sahabat-sahabat saya. Buah yang berisi biji-biji mlanding tersebut jika ditumbuk bersama gedang kluthuk alias pisang batu yang masih muda, jambu biji serta ditambah dengan cabe, sedikit garam dan gula merah….wah…rasanya super lezaaat. Biasanya kami menikmatinya dibawah pohon jambu biji  di belakang rumah tetangga yang baru saja kami ambil buahnya. Tak hanya buahnya, biji buah pohon lamtoro atau mlanding tersebut menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Jawa. Saya sendiri saat ini sedang merindukan masakan yang dinamakan bothok mlanding super lezat.

 

Bagaimana dengan laron? Setali tiga uang dengan munggur ataupun mlanding saya pun mempunyai kisah dengan laron-laron yang biasa muncul di musim hujan. Setiap malam sehabis hujan kami, para anak-anak, biasanya berkumpul di halaman berlarian bermain ‘betengan’ ataupun sekedar petak umpet sambil menunggu laron-laron yang ‘dijebak’ oleh para orang tua kami dengan sebuah baskom besar berisi air yang disampingnya menyala sebuah teplok (lampu minyak). Laron-laron itu biasanya akan terkapar di baskom setelah kelelahan berterbangan mengitari teplok yang cahayanya tak begitu terang. Kami pun tetap asyik bermain sambil sesekali kegirangan melihat hasil ‘tangkapan’ orang tua kami. Ya..buat kami laron adalah hidangan lezat sebagaiman munggur. Laron yang sudah terlepas sayapnya biasanya digoreng begitu saja atau dijadikan rempeyek. Wah..apalagi kalau disantap dengan nasi jagung ya? Jadilah lagunya trio macan: iwak peyek nasi jagung…he..he..

Munggur, mlanding dan laron sesungguhnya adalah simbol ketangguhan sekaligus simbol kreativitas para orang tua di masa lalu sehingga mereka mampu menghadirkan penganan lezat ditengah sulitnya ekonomi. Saat itu jelas, roti, ayam, daging, ikan dan semacamnya adalah makanan yang sangat mewah yang barangkali hanya disantap saat lebaran atau saat ada tamu jauh yang datang. Namun, ketiadaan itu tak membuat para orang tua dan anak-anak meratapi nasib yang tak pernah mengenyam hidangan yang hanya bisa dinikmati beberapa kali dalam satu tahun. Kami, para anak-anak tetap ceria dan  tertawa riang menikmati hari-hari kami. Setiap hari bagi kami adalah petualangan yang begitu seru untuk dikenang.

Saya yakin buat anda menjalani masa kecil di desa era 70an-80an pasti mempunyai pengalaman yang mirip dengan saya.

Lalu, apa hubungannya dengan simbol ketangguhan? Apalagi simbol kreativitas?

Bagaimana tidak tangguh kalau dengan sumber dana yang seadanya kita tak hanya bisa bertahan hidup, tapi juga menikmati hidup seperti menjalani sebuah kisah dengan jalan cerita yang sangat dahsyat? Ah..saya masih ingat kakak-kakak kami yang terkadang setiap malam berburu kodok tau belut di sawah untuk kemudian disantap bersama-sama. Atau suatu ketika saat saya bersama teman-teman bergelantungan di atas pohon jambu depan rumah saudara saya..sungguh hidup serasa begitu sempurna.

Ketangguhan ini juga bisa kita lihat pada eksistensi para pedagang kaki lima. Di negara maju, permerintah mampu menyediakan lapangan kerja bagi warga negaranya. Dengan pergerakan ekonomi yang tinggi membuat perusahaan-perusahaan tumbuh sehingga kebutuhan tenaga kerja mampu menyerap angkatan kerja. Nah, gimana dengan kita? Meski telah diguncang dua kali krisis ekonomi Indonesia terbukti tangguh. Siapakah mereka yang membuat ekonomi kita tetap bergerak? Ya itu tadi mereka golongan UMKM alias usaha mikro, kecil dan menengah. Bahkan usaha-usah mikro ini lah yang paling tahan terhadap gempuran. Saat ini sejak dua tahun krisis ekonomi melanda Amerika terbukti kita tak begitu terpengaruh. Lagi-lagi karena basis ekonomi kita adalah basis ekonomi ketangguhan para kalangan bawah yang menganggap hidup adalah sebuah petualangan yang disediakan Sang Pencipta untuk dinikmati.

Bagaimana dengan simbol kreatifitas?

Bagaimana tidak kreatif kalau dari sebatang pohon yang hanya dianggap peneduh itu lahirlah produk makanan lezat. Bahkan konon saat ini munggur dikembangkan menjadi tempe. Lalu, bagaimana tidak kreatif kalau dari sebatang pohon lamtoro tidak hanya bisa dijadikan lauk pauk tapi juga obat untuk beragam penyakit. Tak heran, kalau di Indonesia menjadi surga tumbuhan obat-obatan karena keragaman hayati yang dilimpahkan kepada kita. Tak hanya itu, kalau anda cermati ragam penganan saat ini sungguh sangat mencerminkan inovasi-inovasi baru dalam hal pengolahannya. Coba sesekali anda hitung berapa macam keripik/kerupuk yang ada di Indonesia. Keripik bayam, ceker, belut, nangka, semangka dan seratus macam lainnya. Dalam hal olah mengolah bahan bekas kita juga bisa lihat bagaimana plastik bungkus-bungkus makanan bisa diciptakan menjadi tas-tas yang sangat menarik.

Jadi?

Bangsa kita sesungguhnya jauh lebih kreatif dari pada bangsa-bangsa barat. Hanya sayangnya kreatifitas dan ketangguhan yang dimiliki oleh masyarakatnya belum didayagunakan menjadi sebuah kekuatan kolektif.

17 thoughts on “MUNGGUR

  1. muantabb….. sedikit tambahan, mlanding atau lamtoro kalau di Tingkir (daerah dimana masa-masa kecilku ku lalui) dikenal dengan nama ‘metir’. Mengenai laron, sampai saat ini masih belum berani untuk mengkonsumsi. Bukan karena soal enak atau tidaknya, lebih dari masalah halal atau haram…..

    1. iyo tut, mlanding ki boso daerah sukoharjo-klaten. solotigo ketoke yo nyebute metir. tapi sekarang klo kutau klo laron itu adalah bentuk dewasanya rayap kok yo geli juga ya. Klo bayi2 lebah pernah makan gak? itu enak juga lho. lagi2 aku juga tidak tau halal haramnya yang jelas jaman dulu aku sering makan. he..he…termasuk omnivora nih aku tut

  2. Munggur itu lw didaerah’q nma’y mindik ,. hehe
    q kelahiran 1992, tp q msh sempet mkan makanan yang d’sebut penulis munggur, enak ciy,. trz ada perjuangan tersendiri saat makan munggur,, mkasih bwt info’y kkak ,. sukses sll 🙂

    1. betul, nofi asalnya dari mana? di daerah purwodadi juga namanya mindik. tul perjuangannya saat membuka munggur yang terkadang kuku jadi hitam dan tertusuk2 kulitnya. sama2 sukses slalu nofi

  3. Munggur itu daerahku di Enrekang, pohonnyasih ada cuma ndak perna liat buahnya tapi baru tau kalau itu dimakan. Kalau mlading itu di daerahku namanya cambaniki, itu juga kami makan sewaktu kecil, namun sekarang sudah sangat jarang di jumpai, soalnya daunnya sudah jadi makanan kambing, jadi kalau kita makan buahnya orang sering mengejek jadi kambingnya haa.. haa… Kalau laron kami juga makan waktu kecil dan di daerah kami namanya podong, memang enak dan bergizi, Namun sayang sekarang sudah langka.

    1. wah ternyata masa kecil kita hampir sama ya..cuma klo munggur itu klo dimakan akan menghasilkan gas buang yang aromanya mematikan he.he.. klo laron kadang masih ada di rumah sy cuma setelah besar begini sadar klo laron itu asalnya dari rayap jadi geli2 klo ingat dulu makan laron

  4. klo yg dipahamkan oleh org2 tua di tempat saya dulu. Sebenernya Munggur tu nama buahnya, Pohonnya dibilang Trembesi, munggurnya klo udah dimasak (digoreng sangan) dinamakan Godril.
    Tp mmg sdh jd kaprah jg klo pohonnya pun umum dibilang wit munggur. Bukan benar, tp kaprah/lumrah.

  5. hehe,, asyik tenan kojah panganan jaman biyen..
    intine>> semua bisa tergantikan atau tak ada yang abadi, satu yang tak pernah bisa terganti yaitu “waktu”.. karena “waktu” adalah mesin terdahsyat di jagad raya.
    semoga orang-orang yang berpikir tidak terdegradasi akan kejamnya jaman,, wahh jeruu tenan nek ngene iki.

    1. setuju…waktu juga merupakan obat paling mujarab. Makasih dah mampir. klatennya dimana? mbah saya dan kelairan sy jg di klaten

  6. He he he…pengalamannya sama mbak Nur, saya dari Boyolali Jateng, saya lahir th 1975…itulah gambaran tahun 80an di desaku kecamatan mojosongo boyolali….di awal th 90 sambil denger sandiwara radio tutur tinular makan munggur….sebuah hiburan yang sangat menyenangkan pada masa itu…terimakasih mbak Nur sudah mengigatkan masa kecil saya..Salam sukses..

  7. he he he ….mlanding neng desaku (Kel. Tambak, Kec. Mojosongo, Boyolali) jenenge metir mbak…podho karo solotigo…tulisan mbak Nur ngelingake aku wetu cilik…aku lahir tahun 1975 dadi ngalami koyo mbak Nur….hiburan siang/sore hari saat itu yg ada hanya sandiwara radio tutur tinular, saur sepuh, nini pelet….masa yang selalu teringat…

    1. sama mas sriyono. masa kecil kita tidak jauh berbeda. sandiwara radio menjadi hiburan yang selalu ditunggu-tunggu…masa-masa indah tahun 80an

Leave a comment