Bagaimana TV Australia dukung program sekolah?

Sepertinya saya harus meminjam jempol anda untuk saya acungkan stasiun TV ABC. Pertama, TV tersebut sudah turut membantu Ayla lancar membaca. Kedua, kalau anda sempat membuka video Amira yang saya posting beberapa hari lalu, maka sesungguhnya video itu adalah bagian dari kegiatan pembelajaran yang didukung oleh stasiun TV tersebut.


Jadi kalau dulu atau bahkan hingga saat ini banyak yang mengatakan bahwa TV is not good for kids tidaklah terlalu benar. Benar dalam konteks Indonesia, dan bisa jadi keliru dalam konteks Australia. Dan, kali ini saya ingin bercerita untuk alasan kedua. Yaitu bagaimana Stasiun TV tersebut turut mendukung kegiatan belajar anak grad 4.

Awalnya saya tidak begitu menaruh perhatian saat Amira meminta bantuan untuk menjawab PR-nya. Saat itu ia perlihatkan tayangan BTN atau Behind the News dari laptopnya. Perlu diketahui bahwa sejak grade 3 ia mendapat kesempatan untuk membawa pulang laptop sekolah yang dilease-kan kepada siswa.

Behind the news adalah salah satu program pendidikan yang diproduksi oleh stasiun TV ABC. Australian Broadcasting Corporation atau ABC sendiri adalah perusahaan milik pemerintah Australia yang tidak hanya memproduksi siaran-siaran TV, tapi juga radio, dan media online. Menurut mbah wiki ABC disebut :”….is well regarded for quality and reliability as well as for offering educational and cultural programming that the commercial sector would be unlikely to supply on its own”. Katanya ABC menawarkan program pendidikan dan budaya yang berkualitas dan dapat diandalkan. Terus terang setiap kali melihat tayangan ABC saya merasa lebih cerdas. Selalu saja ada pengetahuan baru yang saya dapatkan. Sebagaimana yang disebutkan oleh mbah Wiki, program-programnya berkualitas.

Behind the News merupakan salah satu program berita yang ditayangkan melalui ABC TV dan ditujukan untuk anak usia sekolah (8-13 tahun). Tujuannya, membantu mereka untuk memahami isu-isu dan peristiwa terkini di dunia. Program ini dikemas sesuai dengan selera usia anak, termasuk dalam hal penggunaan bahasa dan music juga disesuaikan. Tentu saja, agar lebih menarik.

Jika anda penasaran, silakan klik langsung ke sini: http://www.abc.net.au/btn/index.htm.
Untuk saat ini tema terkininya migration crisis, happiness survey, queen record, future jobs, dan mars experiment.

Bagaimana program ini terintegrasi dengan program sekolah?

Sebagai informasi tambahan, secara garis besar kegiatan dan tugas-tugas anak sudah di unggah di website sekolah. Jika penasaran, anda juga bisa menengok apa saja yang dipelajari selama satu tahun dari jenjang prep hingga grade 6. Dengan demikian, orang tua pun bisa memantau dari rumah. Termasuk, kegiatan-kegiatan sekolah seperti yang baru saja dilaksanakan terkait fathers day dan book week day dapat di lihat melalui newsletter versi online. Silakan lihat link website sekolah di sini http://morelandps.vic.edu.au/. Anda dapat melihat apa yang diajarkan untuk setiap grade dan mengakses newsletter untuk melihat kegiatan di sekolah tersebut.

Untuk tugas BtN atau behind the news, guru akan memilih topik yang akan di jadikan tugas setiap hari selasa. Pada hari itu pula, guru akan mengunggah beberapa pertanyaan yang harus di jawab.

Misalnya, tema beberapa minggu lalu adalah Ocean Rubbish. Anak-anak diminta memilih lima pertanyaan dari sepuluh pertanyaan berdasarkan video tayangan Behind the News. Seperti tugas-tugas lainnya, jawaban harus dibuat seindah mungkin.
Kok seindah mungkin?

Ya, guru meminta anak-anak menuangkan jawaban di scrap book, atau buku tulis tak bergaris, dalam bentuk gambar dan tulisan. Plus diperindah dengan warna-warni spidol atau pensil warna. Anak-anak diharapkan menjawab pertanyaan dengan bahasa mereka sendiri, meskipun dalam web disediakan transcript. Harapannya, anak dapat memahami berita tersebut dengan baik. Kata Amira, hasilnya akan di ‘show’ di dinding kelas. Setiap minggu, ada sekitar 20 karya yang di show. Tapi, guru juga menekankan agar jawabannya ‘gramatically correct’. Akhir-akhir ini, Amira sering meminta bantuan saya untuk memastikan jawabannya. Meski conversationnya termasuk lancar, namun dalam hal grammer Amira masih butuh pendampingan.

Sempat ia katakan bahwa dari 6 tugas BtN yang sudah ditugaskan, belum parnah ada satu hasil pekerjaannya yang di ‘show’. Saya coba lihat-lihat lagi jawaban-jawaban sebelumnya. Wajar, karena ternyata selain kurang ‘meriah’, beberapa jawaban grammernya kurang pas dan beberapa juga jawabannya kurang mengena. Saya katakan: Kalau mau bagus, sekarang coba kerjakan dulu pakai pensil, setelah itu didiskusikan bersama. Saya mencoba untuk tidak mengatakan jawabannya. Kalau ada jawaban yang kurang pas, saya minta untuk memutar kembali video beberapa kali hingga ia paham maksudnya dan bisa menangkap jawabannya. Demikian halnya juga untuk grammer. Bahkan kabarnya untuk grammar sendiri native speaker juga banyak salah. Bisa jadi. Karena untuk pelajaran bahasa indonesia, tidak semua anak juga bisa mendapatkan nilai di atas 9.

Dan hari ini, ia katakan dengan riang bahwa hasil pekerjaannya untuk BtN seri Ocean Rubbish dipajang didinding. Ah..ternyata hal-hal yang terlihat kecil seperti memasang hasil karya siswa bisa juga menjadi sumber motivasi.
Rupanya, cerita tentang BtN belum usai.

Video Amira yang saya posting di wall beberapa hari lalu adalah salah satu tugas untuk anak-anak grade 3/4. Sebagai informasi, di sekolah Amira grade 3 dan 4 ditempatkan dalam satu ruangan dan dipandu oleh beberapa guru. Dalam beberapa kesempatan mereka bersama-sama, namun lebih sering terbagi menurut grup. Amira, misalnya, dia di 4A.

Kebetulan, tema dalam pelajaran integrated study saat itu adalah tentang living things. Masing-masing anak diminta untuk mencari informasi tentang binatang tertentu. Amira mendapatkan tugas mencari berbagai informasi tentang jerapah. Anak lain, ada yang tentang capung, katak, dan lainnya.

Awalnya, seluruh informasi disimpan dalam file word. Setelah informasi diperoleh, barulah diolah dengan Imovie. Saat itu sempat saya perhatikan bagaimana dia mencari gambar via google dan mengedit. Setelah dikotak-katik slide informasi tentang jerapah terlihat menawan dan kemudian dia susun menjadi sebuah video pendek. Rupanya, tak sampai disitu. Esok harinya, ia harus merekam suaranya. Katanya, we have to make the information report it like on the BtN.

Sempat juga ia katakan bahwa seluruh video akan di putar di depan kelas. Beberapa temannya sudah mendapat giliran. Tak hanya itu, katanya lagi beberapa video juga akan di ‘show’ saat assembly atau upacara setiap hari senin. Saya sempatkan untuk menyaksikan assembly senin harinya. Dan, Wow…kereeen ternyata anak-anak sangat kreatif. Ada yang serius, ada yang ekspresif, dan ada yang lucu. Yang jelas, presentasi video mereka membuat para guru, orang tua dan tentu saja sang anak bangga dengan hasil karya mereka.

Jadi?

Tidak salah kan kalau saya ingin meminjam jempol anda untuk saya acungkan kepada TV ABC? Jujur saja saya sering dibuat kagum dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam hal ini terlihat bahwa hasil pendidikan tidak hanya bertumpu pada institusi sekolah dan guru tapi juga perlu dukungan pihak lain seperti televisi.

Mengad’o’psi cara Australia dalam meningkatkan kualitas pendidikan sebagaimana cerita di atas tentu membuat kita putus asa. Bayangkan saja, kalau bukan sinetron, gosip, ya berita gaduhnya politik yang mewarnai pertelevisian kita. Tak heran kalau kemudian banyak diantara kita yang memutuskan untuk tidak hidup bersama TV. Jadi tayangan TV yang mana yang bisa kita acu?

Hanya saja, mungkin kita bisa meng’a’daptasi kegiatan yang mereka lakukan. Hari gini, mungkin hanya beberapa gelintir, dari mereka yang tinggal di kota besar di Indonesia, yang tidak memiliki smartphone. Bahkan, beberapa bulan lalu saat saya ke salah satu kabupaten di Sulsel saya dibuat terheran-heran oleh pernyataan rekan saya. Katanya, anak-anak sekolah di kabupaten tersebut rata-rata memiliki HP yang canggih-canggih. Katanya lagi, mereka rela untuk tidak jajan demi untuk membeli pulsa. Wajar mungkin ya, keberadaan media sosial membuat mereka menganggap smartphone sebagai salah satu simbol yang memungkinkan mereka untuk selfie.

Di sisi lain, bukankah ini satu potensi? Marc Prenscky sempat mengatakan bahwa efek yang ditimbulkan oleh teknologi informasi bagi para digital native adalah sulitnya mereka memfokuskan perhatian pada pelajaran. Digital native, sebagaimana istilah native speaker, adalah mereka yang lahir dan dibesarkan pada era digital. Maka, mungkin menjadi tugas para digital imigrant, kebalikan dari digital native, untuk mengintegrasikan kebiasaan mereka bergedget dengan sistem pendidikan.

Bagaimana cara adaptasinya?

Tenang saja. Selayaknya kita wajib menghaturkan terima kasih kepada youtube karena telah menyediakan buanyak materi yang bisa digunakan sebagai media pembelajaran. Saya sendiri akhir-akhir ini lebih sering belajar dari youtube tentang sejarah dunia. Tak hanya materi dari para profesor dari belahan dunia lain, tapi juga kita bisa mempelajari teknik terbaik dalam menyampaikan gagasan, sebut saja Tedx. Pun demikian halnya untuk segmen anak sekolah.

Nah, mungkin kita bisa mengambil materi dari youtube yang sesuai dengan tema pembelajaran. Memang tidak banyak video edukatif dalam bahasa Indonesia. Tapi, bukankah ada google translate yang bisa membantu mereka untuk memahaminya?. Plus bukankah ini juga sekaligus mengasah bahasa Inggris mereka. Dari situ lah kemudian para pendidik bisa mengasah daya kritis mereka dengan memberikan pertanyaan atau meminta mereka menulis summary dan komentar atas video-video tersebut.

Model pembelajaran yang mengadopsi constructivism, dengan mengajak anak aktif dalam pemecahan masalah, ini kabarnya dapat meningkatkan semangat anak dalam belajar. Saya sendiri mendapatkan informasi tentang hal ini di link video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=Xa59prZC5gA. Dalam video ini dikatakan bahwa: learning is more meaningful to students when they are able to interact with a problem or concept. Metode pembelajaran melalui BtN yang mengintegrasikan konsep dan masalah juga melalui pengalaman menjawab, menulis, merekam, mempresentasikan akan memudahkan anak untuk memahami materi.

Ya, mungkin sudah saatnya untuk mengajarkan para digital native ini untuk mulai ber-selfie dengan hasil karya dan kreativitas mereka. Saya yakin, dengan gedgetnya, mereka bisa melakukan lebih banyak hal yang lebih bermanfaat. Dari pada, hanya membiarkan mereka menghabiskan waktu untuk berpose dengan berbagai gaya dan mengunggahnya di media sosial.

Leave a comment