Mengapa perlu belajar menulis: Belajar dari NAPLAN

“Kenapa ini seperti home schooling?”.

Begitu protes Amira saat saya coba menuliskan rencana aktivitas hari itu. Terlihat senyum keberatan karena masih masanya school holiday. Sebaliknya, saya pun membalas kembali dengan senyuman sembari berlalu untuk kemudian menggantungkan whiteboard jadwal harian tersebut dikamarnya.

Terhitung sejak pertama datang,  hingga saat ini Amira sudah 2,5 tahun bersekolah di sini. Baru semester terakhir ini kami melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam proses pembelajaran di rumah. Bukan tanpa alasan. Pertama, Amira  masuk grade 5 tahun ini. Jadi harus dibiasakan belajar tiap hari. Harapannya, ketika pulang ke Indonesia kebiasaan belajar di rumah sudah terbangun. Kedua, fokus dan teknik pembelajaran di sini berbeda. Jadi, apa yang diperoleh Amira di sini, sangat mungkin tidak akan diperoleh di Indonesia. Jadi, mumpung di sini hal-hal yang menarik sepertinya wajib dikuasai.

Sejak awal liburan, target yang akan dicapai adalah berkenalan dan mencoba berlatih NAPLAN atau the National Assessment Program – Literacy and Numeracy. Menurut website resmi penyelenggara, NAPLAN adalah test yang dilakukan untuk menilai kemampuan siswa dalam literasi dan numerasi setiap tahun untuk grade 3, 5, 7, dan 9. Literasi sendiri mencakup reading, writing, spelling. Sebagaimana namanya, test ini dilakukan secara nasional dan dilaksanakan pada minggu kedua bulan Mei.  Jika anda penasaran, silakan lihat langsung ke http://www.nap.edu.au.

Dua tahun lalu, saat grade 3, Amira mendapat pengecualian karena belun cukup satu tahun ia bersekolah di sini. Jadi, saya juga kurang memperhatikan seperti apa model test NAPLAN. Tahun ini, kembali ia akan menghadapi test tersebut.

Tidak seperti UN di negeri kita, NAPLAN tidak digunakan untuk menentukan kelulusan. Dalam website tersebut dinyatakan: NAPLAN provide the measure through which governments, education authorities and schools can determine whether or not young Australians are meeting important educational outcomes. Jadi, tujuannya adalah untuk mengukur sampai sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pendidikan.

Menurut beberapa rekan, orang tua murid sempat di beritahu oleh guru untuk tidak mengkhawatirkan test tersebut. Just relax. Kata sang guru, anak-anak di sekolah sudah terbiasa dengan semua yang akan diujikan. Bahkan, ketika hasilnya tidak terlalu memuaskan menurut orang tua, guru masih menenangkan bahwa penilaian siswa tidak didasarkan atas hasil NAPLAN yang dilaksanakan tapi dari hasil pembelajaran sehari-hari.

Namun demikian, menurut berita dari abc.net.au (27 Nov 2012), hasil survey yang dilakukan pada 8.000 guru dan kepala sekolah oleh University of Western Sydney’s Whitlam Institue menunjukkan bahwa: lebih dari setengah dari seluruh guru yang dinilai mengatakan mereka mengalokasikan waktu khusus untuk test tersebut. Tiga puluh sembilan persen responden menyatakan bahwa mereka melakukan latihan test setiap minggunya untuk meningkatkan hasil NAPLAN. Mereka juga menyatakan bahwa tingkat stress siswa juga meningkat yang terlihat dari anak-anak yang menangis, mengalami sulit tidur, bahkan bersembunyi di mejanya saat test sudah hampir menjelang. Menanggapi hasil test tersebut Menteri Pendidikan saat itu Peter Garrett menegaskan kembali bahwa NAPLAN bukanlah test untuk menentukan kegagalan atau keberhasilan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh John Polesel, Suzanne Rice dan Nicole Dulfer yang dimuat dalam Jurnal of Education Policy juga menyatakan hal yang tak jauh berbeda. NAPLAN memaksa guru untuk menekankan pembelajaran pada materi test. Menurut hasil survey yang dilaksanakan terhadap 8000 pendidik, NAPLAN telah mendistorsi proses pembelajaran, membatasi kurikulum, dan menyebabkan siswa hanya berfokus pada test tersebut.  

Saya sendiri sempat mendengar kontroversi NAPLAN ini. Hanya saja, mengingat tantangan yang dihadapi Amira jauh lebih berat ketika pulang ke Indonesia nanti, dengan adanya UN, rasanya tak ada salahnya kalau saya mulai membiasakannya dengan test seperti ini.

Buku NAPLAN pertama yang saya beli adalah writing. Dari hasil pengamatan terhadap tugas-tugas sekolah Amira, di mata pelajaran ini lah yang menurut saya perlu ditingkatkan selain numerasi. Mungkin juga karena persepsi dan harapan saya agar dia memiliki kemampuan menulis yang baik.

Wow….saya dibuat takjub saat membaca sekilas isi buku bimbingan writing NAPLAN. Canggih…mengingatkan saya pada peristiwa 11 tahun lalu saat saya menjalani masa EAP (English for Academic Purpose) di Bali selama 9 bulan. Atau ketika saya mengambil test IELTS. Persis sekali. Ternyata anak-anak SD sudah diajarkan test semacam ini. Namun demikian, buku tersebut justru membuat saya begitu bersemangat untuk mendorong Amira belajar menulis. Tentu juga untuk menambah pemahaman saya tentang teknik-teknik menulis.

Buku tersebut dibagi dalam empat bagian: persuasive writing, recount writing, narrative writing, discussion writing, dan procedural writing. Menurut buku tulisan Julienne Laidlaw, Persuasive writing tujuannya adalah untuk meyakinkan atau mengajak pembaca. Dalam tulisan jenis ini, penulis menyajikan argumen pro dan kontra terhadap sebuah topik atau tema. Recount writing  adalah tulisan yang menceritakan kembali kisah sang penulis. Narrative writing adalah jenis tulisan yang menceritakan sesuatu dengan tujuan untuk menghibur atau berbagi pengalaman kepada pembaca. Novels, cerpen, puisi, cerita rakyat, legenda, dan mitos masuk dalam kategori ini. Discussion writing lebih sering digunakan dalam menulis tugas-tugas essai. Masih menurut Julienne, discussion writing merupakan tulisan yang menyajikan dua sisi argumen atau issue, pro atau kontra terhadap suatu topik. Terakhir, procedural writing adalah tulisan yang menyajikan prosedur atau cara. Contoh sederhananya adalah resep, bagaimana membuat risoles, bagaimana membuat mie ayam, dll.

Pada prinsipnya, Amira sudah diajari menulis kelima jenis tulisan tersebut di sekolah. Saya sendiri masih ingat saat ia kelas dua Amira sempat menceritakan bahwa ia diminta untuk menulis tentang: which one do you choose, cat or dog? 

Untuk grade 4 ini tema tugas writing-nya: Should home learning be banned?; Books are better than TV; Seal Pup; If you won 1 Million Dollars, what will you do?; the mystery delivery (narrative writing-cerpen); My holidays (recount); Food Pyramid (Persuasive); dan How to swim (procedure).

Terlepas dari pro kontra NAPLAN, saya sendiri berkeyakinan bahwa anak-anak (saya) wajib memiliki kemampuan menulis. Tak harus menjadi penulis. Tapi, saya sendiri sudah merasakan manfaat yang begitu banyak dari proses menulis. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib, r.a yang pernah mengatakan: Ikatlah ilmu dengan menuliskannya, menulis cukup ampuh untuk mempertahankan apa yang saya pelajari. Menulis juga memaksa saya untuk membaca-dan-membaca yang kemudian mengantarkan untuk menemukan hal-hal baru yang jauh lebih menarik. Menulis juga cukup membantu untuk lebih ‘menstrukturkan’ bahasa lisan. Hal ini sangat saya butuhkan ketika mendapatkan tugas-tugas kantor baik untuk menjelaskan sesuatu atau ‘membujuk’ seseorang. Yang terakhir dan paling penting, menulis cukup ampuh untuk menghilangkan rasa kantuk. Diantara teman-teman yang pernah satu kelas dengan saya, pasti tau kebiasaan saya: sering terkantuk-kantuk di kelas. Kegiatan menulis dalam arti yang sebenarnya benar-benar menyelamatkan saya dari rasa malu karena tertidur di kelas.

Kalau anda masih ingat tulisan yang lalu tentang alokasi waktu yang cukup banyak untuk reading, untuk writing juga demikian. Selama seminggu anak grade 5/6 di sekolah Amira mendapatkan alokasi waktu tiga jam selama seminggu khusus writing. Hanya writing. Berbeda lagi dengan reading, yang dalam tugas-tugasnya juga tak lepas dari tugas menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana dalam tulisan tentang reader respond theory yang lalu.

Jadi?

Writing dan reading, yang merupakan bagian dari literasi, mendapatkan perhatian yang penting dalam pendidikan di Australia. Dengan adanya NAPLAN yang digunakan untuk mengetahui kemampuan dasar siswa menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap literasi. Ketidaksetujuan NAPLAN menurut saya bukan pada point ketidaksetujuan mata pelajaran literasi dan numerasi, tapi lebih kepada efek dari standarisasi atau pengukuran kinerja sekolah yang didasarkan pada test yang dilaksanakan selama beberapa hari saja.

Alokasi waktu yang cukup banyak untuk reading dan writing ini juga mengingatkan kembali kegiatan-kegiatan dalam the House of Wisdom pada masa the Golden Age of Islam.  Dimana di kala itu para ilmuan bersama sang Khalifah berkumpul di tempat tersebut membaca, berdiskusi, dan menulis menghasilkan maha karya yang masih bisa kita nikmati hasilnya hingga saat ini.

 

Leave a comment