100 ribu kata dalam setahun

Menulis itu pada dasarnya sama dengan memasak. Kesimpulan itu tiba-tiba melintas saat saya mengaduk-aduk terigu untuk menggoreng pisang dini hari sebelum makan sahur. Bisa jadi kesimpulan itu muncul setelah tiga minggu berlalu saya hanya bisa menulis 2000 kata untuk thesis saya.

Saya pun membayangkan, seandainya semua bahan makanan yang akan saya masak sudah dipotong-potong dan bumbu sudah tersedia dan sudah dihaluskan, paling saya hanya butuh kurang dari satu jam untuk menyelesaikannya. Semua tinggal cemplung-cemplung. Done….bau harum pun akan segera tercium.

Sebaliknya, meskipun sudah terbayang dikepala menu-menu yang menggugah selera, kalau sayuran belum dikupas dan dipotong-potong, ikan masih belum dibersihkan sisik dan isi perutnya, serta kelapa belum diparut, hhhhhh…..pasti butuh minimal dua jam untuk menyajikannya di atas meja. Apalagi kalau yang lebih parah lagi: Isi kulkas sudah mulai menipis. Butuh waktu lagi untuk belanja. Atau, bisa juga semua bahan sudah siap. Giliran mau dimasak baru teringat garam sudah habis. Jadilah rencana memasak satu jam molor lagi.

Begitu juga dengan menulis. Saat semua bahan sudah bisa divisualisasikan alurnya di kepala, menulis 1000 kata bisa dilakukan dalam satu jam. Sebaliknya, target dua minggu 2000 kata bisa tidak tercapai kalau semua ide belum tertancap di kepala. Butuh waktu untuk ‘belanja’ terlebih dahulu. Caranya, ya perlu banyak membaca jurnal yang relevan.

Untuk ‘belanja’ pun butuh ketelitian, memilah bahan yang cocok di lidah agar rasanya maknyus. Justru dalam banyak hal waktu banyak tersedot di aktivitas shopping. Butuh kesabaran hingga benar-benar yakin bahwa bahan tersebut tidak hanya memuaskan lidah tapi juga memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.

Terkadang kita tak perlu menunggu semua bahan tersedia hingga empat sehat lima sempurna bisa langsung tersaji. Ada kalanya ya…cukuplah nasi dan lauknya dulu lah. Artinya, saat berbelanja perlu difokuskan dulu untuk nasi dan lauk. Sayuran nanti dulu. Setidaknya kalau sudah ada nasi dan lauk cukuplah untuk mengganjal perut yang lapar.

Dalam proses menulis, saya sering melupakan proses ini. Kelamaan ‘belanja’ hingga akhirnya saya tidak memasak sama sekali. Jika sudah demikian, kepala biasanya langsung nyut-nyutan karena rasa lapar mulai naik kepal. Dan dalam kondisi ini saya pun cemas karena seperti yang saya sebutkan diatas, tiga minggu hanya bisa menulia 2000 kata. Penyebabnya: kebanyakan window shopping. Parahnya lagi kadang shoppingnya tersesat di media sosial.

Tulisan ini sekedar mengingatkan diri sendiri karena saat ini saya sedang membuat target menulis 100 ribu dalam satu tahun. Kalau di breakdown lagi berarti sebulan sekitar 8 ribu, seminggu 2 ribu, sehari 400 kata. Hanya saja kalau target dibuat harian akan sangat susah karena seperti proses memasak, butuh waktu untuk belanja dan mempersiapkan bahan. Ada kalanya dalam satu atau dua hari tidak menghasilkan satu kata pun. Ada proses membaca, memahami, menganalisa . Tapi, dalam satu minggu harus ada santapan yang harus bisa saya suguhkan. Setidaknya, agar cukup percaya diri ketika bertemu supervisor.

Bismillah…

15 Juli 2015

Yuk Belajar Sejarah

Ternyata mempelajari sejarah itu sangat menarik. Tidak percaya?

Saya sendiri baru menyadari beberapa bulan terakhir. Sudah lama sebenarnya keinginan untuk belajar sejarah itu muncul. Beberapa kali pernah mencoba membaca buku-buku sejarah. Sayang, lebih sering gagal paham. Akhirnya bisa ditebak. Buku ditutup dan dilupakan. Malah waktu sekolah lebih sering mengantuk saat guru menerangkan.

Baru beberapa bulan ini niat itu kembali muncul. Untung, dengan bantuan Youtube, belajar sejarah bisa dilakukan sembari nguleg sambel atau membakar pisang. Narasi dan visualisasi kejadian pada masa itu sangat memudahkan untuk memahami sejarah. Alur kisah dan juga sepak terjang sang aktor menjadi lebih mudah dipahami.

Keinginan mempelajari sejarah sebenarnya tak lepas dari PR utama saya di sini. Ketakjuban saya dengan segala keteraturan dan kemajuan Barat, terlebih khusus Australia, memaksa saya untuk mencari jawaban: kok bisa ya mereka mencapai kemajuan seperti ini. Giman ceritanya? Sejak kapan mereka mulai membangun?

Entah bagaiman ceritanya hingga sayapun menemukan link video youtube tentang the golden age of Islam atau masa kejayaan Islam. Dalam hal ini, anda bisa melihat tulisan saya sebelumnya tentang house of wisdom.

Ah, ya..sejak saya sadar status saya sebagai PhD student. PhD: doctor of philosophy. Keren ya. Dalam banyak hal saya justru tidak percaya diri menyandang status tersebut. Masalahnya sederhana, saya tidak begitu memahami teori-teori secara mendalam dan juga tidak mengenal para filosof. Untunglah, saya sempat bertemu senior dikampus yang menyadarkan bahwa level analisis thesis saya harus menyentuh sampai dasar filosofinya. Sejak itulah saya sedikit demi sedikit berkenalan dengan para filosof dan pemikiran mereka.

Hingga akhirnya, ya itu tadi saya ‘terjerumus’ lebih dalam ke dunia sejarah dan para pemikir kala itu. Ketakjuban terhadap masa golden age of Islam justru semakin membuat penasaran hingga ingin menelusur hingga masa sebelumnya, masa yunani kuno.

Kok sepertinya makin jauh ya dari riset saya. Saya sendiri juga tidak tau kemana rasa ingin tahu ini akan berujung. Saya hanya merasa seperti sedang bermain puzzle. Menata potongan-potongan cerita revolusi industri, kejatuhan byzantium, alexander the great, khalifah Harun al Rashid, aristoteles, great depression, umar bin abdul aziz, ibnu khaldun, perang dunia renaisance, hingga sampai pada Frederik Taylor, Mayo, Robert Kaplan dan Klitgaart.

Sebenarnya sederhana saja yang saya inginkan. Atau barangkali anda bisa membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya:

  1. Bagaimana tata kelola pemerintahan pada masa yunani kuno?
  2. Bagaimana tata kelola pemerintahan pada masa kekhalifahan umar bin abdul azi, harun al rashid dan al ma’mun, hingga pada masa dinasti usmaniyah?
  3. Sejak kapan barat mulai membangun? Apakah mereka juga pernah mengalami fase seperti yang dialami negara-negara berkembang?

Ya…itu saja..cukup tiga pertanyaan.