MUALAF

Selama bekerja sepuluh tahun sebagai PNS, belum pernah saya merasakan adanya semangat yang selalu membara seperti saat saat ini setiap kali berangkat ke tempat kerja. Kerinduan saya berangkat ke tempat kerja sama halnya dengan semangat saya untuk segera pulang bertemu dengan Amira dan bermain bersamanya.

 

Bukan..bukan karena kehadirnya seseorang yang istimewa yang membuat saya selalu ingin datang tepat waktu. Bukan pula lingkungan kerja yang bersahabat dan menyenangkan yang menghadirkan kerinduan itu. Ataupun tambahan penghasilan jika saya lebih mendedikasikan seluruh jiwa saya untuk bekerja secara lebih profesional. Semangat itu tidaklah sama dengan semangat yang saya miliki saat saya masih duduk di bangku sekolah. Memang benar, saat itu, bagi saya sekolah adalah candu dimana saya selalu ingin agar malam segera lelap digantikan pagi. Dan untuk kemudian, saya bersiap menyambut hari berikutnya dengan tawa canda riang melewati hari-hari dengan sahabat-sahabat dan dengan semangat untuk bersaing mendapatkan nilai lebih dari yang lain.

 

Kalau beberapa tahun yang lalu saya menjalani hari-hari di kantor ibarat air yang mengalir. Dalam arti, tergantung dengan volume pekerjaan. Dengan kata lain, kalau sedang tidak ada penugasan, saya sama sekali tidak mempunyai kesibukan, tidak ada tanggung jawab sama sekali. Kesibukan yang utama pada saat-saat seperti ini yang biasa saya lakukan dahulu adalah nge-game di komputer kantor. Kehadiran saya dikantor, saat itu, lebih dimotivasi oleh ketidakrelaan saya akan dipotongnya tunjangan karena terlalu banyak absen. Dengan kondisi itu, saya tidak pernah merasa bersalah. Saya selalu berapologi bahwa, keadaan ini bukan saya yang menginginkan. Kondisi ini terjadi karena memang tidak ada kewajiban-kewajiban saya sebagai PNS yang harus saya laksanakan. Saya fikir, kondisi ini juga banyak dialami oleh rekan-rekan PNS lain. Menjalani kehidupan sebagai PNS dengan mengikuti filosofi air.

 

Mualaf, ya.. meminjam istilah Dr. Salim Said yang pernah dilontarkan dalam suatu diskusi di salah satu stasiun televisi, saat ini saya adalah mualaf. Menurutnya, mualaf bukan hanya seorang yang baru masuk Islam. Lebih jauh lagi, mualaf bisa dimaknai lebih luas. Dia adalah seseorang yang baru saja menemukan jalan yang baru, menemukan ilmu-ilmu baru, pengetahuan-pengetahuan baru ataupun ideologi-ideologi baru. Dan dengan segala ke-baru-annya itu, dia mempunyai semangat yang menyala-nyala dan berkobar seolah ingin menghanguskan apa saja untuk merubah kemapanan yang dianggapnya bertentangan dengan idealisme barunya.

 

Semangat saya saat ini sepertinya sama dengan semangat ’mualaf’ yang didefinisikan oleh Dr. Salim Said. Banyak hal yang ingin saya lakukan hingga saya kebingungan dalam memanage waktu saya. Salah satu hal yang ingin saya lakukan tentunya adalah memperbaiki performance saya agar menjadi profesional sebagaimana Lisa telah memahami profesionalisme  dengan hatinya. Caranya, mempelajari dan mendalami pekerjaan saya. Ya.. semenjak instansi saya, BPKP, merubah paradigmanya dari auditor pemerintah menjadi katalisator tata pemerintahan yang baik, banyak hal yang harus dipelajari. Sangat banyak ilmu-ilmu baru yang sangat berbeda dengan akuntansi yang dulu dipelajari di kampus. Perubahan ini juga mengharusan saya untuk memahami peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah daerah. Di sisi lain, saya juga masih menyimpan keinginan untuk kembali lagi ke negeri Kangguru. Implikasinya, saya harus terus meng-update bahasa Inggris dan mendalami metodologi penelitian. Research project yang saya lakukan tahun lalu telah memberikan banyak pelajaran bagi saya. Memang, saya tidak berhasil mendapat High Distinction (HD) untuk pelajaran ini. Tapi saya bersyukur karena telah mengambil research project. Ya, ruh dari research project ini telah menuntun fikiran saya untuk selalu mengembara mencoba memahami fenomena-fenomena kehidupan hingga akhirnya memicu saya untuk mencari alternatif2 solusi dari permasalahan2.

 

Setiap hari, fikiran saya selalu meloncat-loncat ke sana ke mari. Semangat saya selalu mendesak-desak otak saya dan akhirnya memaksa jari-jemari dan mata saya untuk membuka buku ataupun menulis.  Hingga akhirnya membuat saya kebingungan: mana yang harus saya lakukan lebih dahulu……

(Makassar, 17 April 2008)